Negara Indonesia Timur adalah negara bagian RIS yang meliputi wilayah Sulawesi, Sunda Kecil (Bali & Nusa Tenggara) dan Kepulauan Maluku, ibu kotanya Makassar.
Negara ini dibentuk setelah dilaksanakan Konferensi Malino pada tanggal 16-22 Juli 1946 dan Konferensi Denpasar dari tanggal 7-24 Desember 1946 yang bertujuan untuk membahas gagasan berdirinya negara bagian tersendiri di wilayah Indonesia bagian timur oleh Belanda.
Pada akhir Konferensi Denpasar 24 Desember 1946, negara baru ini dinamakan Negara Timur Raya, tetapi kemudian diganti menjadi Negara Indonesia Timur pada tanggal 27 Desember 1946. Satu-satunya presiden yang pernah menjabay di Negara Indonesia Timur adalah Tjokorda Gde Raka Soekawati.
Selain presiden Soekawati, pemerintahan di Indonesia Timur juga dibantu oleh Perdana Menteri yang dijabat oleh Najamuddin Daeng Malewa, serta Ketua Dewan Perwakilan Rakyat yang dijabat oleh Tadjoeddin Noor. Ketiganya dianggap sebagai tokoh kunci atau trio pemimpin Negara Indonesia Timur.
Tjokorda Gde Raka Soekawati
Tjokorda Gde Raka Soekawati lahir pada 15 Januari 1899 di Ubud, Gianyar, Bali dan wafat pada tahun 1967. Soekawati adalah satu-satunya Presiden Negara Indonesia Timur dari tahun 1946 hingga pembubarannya pada tahun 1950.
Gelar Tjokorda Gde pada namanya menunjukkan bahwa Soekawati termasuk dalam ksatria tertinggi yang merupakan salah satu dari empat kasta bangsawan di Bali.
Baca juga: Mengorbankan Jiwa Raga Pada Perang Jagaraga
Istri Soekawati bernama Gusti Agung Niang Putu, mereka memiliki seorang anak laki-laki yang bernama Tjokorda Ngurah Wim Sukawati. Pada tahun 1933 Tjokorda Raka menikah dengan seorang wanita Perancis bernama Gilberte Vincent dan memiliki dua orang putra.
Di masa mudanya, Soekawati bersekolah di sekolah pejabat Indonesia. Pada masa Hindia Belanda, tahun 1918 Soekawati adalah seorang calon resmi Indonesia yang ditunjuk oleh auditor Bandung.
Di penghujung tahun yang sama, ia menjabat sebagai mantripolitie yang merupakan sebutan untuk pejabat adat di Denpasar, Bali. Pada tahun 1919, Soekawati memiliki ambisi politik dan dipromosikan menjadi Punggawa distrik tempat kelahirannya di Ubud.
Pada tahun 1924 ia terpilih menjadi anggota Dewan Rakyat yang dipegangnya hingga tahun 1927. Kemudian, pada tahun yang sama, ia menjadi anggota dewan delegasi Dewan Rakyat. Pada akhir tahun 1931 ia melanjutkan studi ke Eropa. Pada tahun 1932 ia melanjutkan perjalanannya ke Belanda untuk belajar pertanian dan peternakan.
Baca juga: Ternyata Makna Filosofis Gedung DPR-RI Serta Monas Melambangkan Alat Vital Wanita dan Pria
Antara tanggal 18 dan 24 Desember 1946, ia menghadiri konferensi di Denpasar dan terpilih sebagai presiden sementara Negara Indonesia Timur. Konferensi tersebut juga mengarah pada pembentukan Parlemen Sementara Indonesia Timur.
Pada tanggal 21 April 1950, ia berhasil merundingkan integrasi Indonesia Timur menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan mengindahkan dukungan mayoritas untuk negara kesatuan.
Najamuddin Daeng Malewa
Najamuddin Daeng Malewa adalah seorang politikus dan tokoh birokrat Indonesia. Malewa pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Negara Indonesia Timur (NIT) yang pertama, pada tahun 1947. Posisinya kemudian digantikan oleh Semuel Jusof Warouw.
Nadjamuddin Daeng Malewa dilahirkan pada tahun 1907 di Buton, Sulawesi Tenggara. Dia dibesarkan di dalam lingkungan keluarga pengusaha kapal yang tinggal di Buton. Malewa memiliki darah Bugis dari orangtuanya.
Malewa menikah dengan Siti Khodijah binti Daeng Mudhinun. Mereka memiliki 10 orang anak, beberapa anaknya diantaranya adalah Enny Djausah, Corry Sarsinah, Abdul Rahman Najamuddin, Siti Hamida, Aisyah, Siti Aminah Najamuddin, dan Juwandi Abdulkarim.
Pada akhir tahun 1920-an, saat kembali ke Makassar, Malewa bergabung dengan Perserikatan Selebes, sebuah organisasi massa pemuda dari berbagai daerah di Sulawesi. Kemampuan berorganisasi yang baik, membuat Malewa dipercaya memimpin Perserikatan Selebes cabang Makassar.
Baca juga: Ibrahim Yaacob, Orang Bugis yang Memperjuangkan Konsep Negara Indonesia Raya
Bersama pengurus lainnya, dia mengembangkan Perserikatan menjadi organisasi massa bercorak lokal. Karena latar belakang politik yang sangat beragam dan nilai sosial-budaya daerah perwakilan di dalam organisasi, memunculkan konflik antara “Utara” dan “Selatan”.
Malewa yang menjadi pemimpin cabang Makassar kemudian mengambil alih, dan mengganti namanya menjadi Partai Selebes. Partai Selebes kemudian bergabung dan menjadi anggota Partai Indonesia Raya (Parindra).
Pada November 1935, Malewa juga membentuk Roekoen Pelayaran Indonesia (Roepelin) sebagai upaya menyaingi Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) yang memonopoli perdagangan laut di Indonesia. Dia juga mendirikan koperasi, salah satunya yang berhasil adalah Minasa Badji di Makassar.
Malewa kemudian keluar dari Parindra karena tidak mendapatkan dukungan untuk menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) utuk periode tahun 1935 hingga 1939. Dia kemudian mendirikan Persatuan Selebes Selatan, dengan sikap loyal pada pemerintah dan bersedia bekerjasama dengan pihak Belanda.
Setiap kali berpidato, Daeng Malewa mengungkapan bahwa kedaulatan rakyat Indonesia harus sama rata dan pembangunan negeri sebaiknya dilakukan secara federasi. Gubernur Jenderal Van Mook menyambut baik ide tersebut.
Baca juga: Andi Mattalatta, Dari Pejuang Kemerdekaan Hingga Tokoh Olahragawan
Van Mook kemudian mengadakan Konferensi Malino pada tanggal 25 Juli 1946 yang diikuti oleh sekitar 70 orang perwakilan dari berbagai daerah, termasuk dari Kalimantan dan beberapa daerah di Indonesia bagian timur.
Pada tanggal 24 Desember 1946, Negara Indonesia Timur (NIT) dideklarasikan. Pemilihan presiden NIT dilakukan dengan pemungutan suara anggota delegasi.
Para calon terdiri dari Tjokorda Gde Raka Soekawati (Bali), Tajoeddin Noer (Sulawesi Selatan), dan Daeng Malewa (Sulawesi Selatan). Perolehan suara Daeng Malewa yang kecil pada putara kedua membuatnya tidak berhasil menjadi presiden.
Soekawati pada akhirnya terpilih sebagai presiden NIT dan Malewa sebagai perdana menteri merangkap Menteri Perekonomian. Dia kemudian menjabat perdana menteri dalam dua periode, dari 13 Januari hingga 2 Juni 1947 untuk periode pertama, dan 2 Juni 1947 hingga 11 Oktober 1947 untuk periode kedua.
Pada tanggal 20 September 1947, Malewa diberhentikan sebagai perdana menteri karena dituding telah melakukan penggelapan anggara. Dia diadili dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara.
Pada tanggal 24 September 1947, melalui surat keputusan Residen Zuid-Celebes, dia tidak dapat bermukim di daerah kekuasaan NIT, khususnya daerah yang diberlakukan darurat militer seperti Sulawesi Selatan.
Baca juga: Andi Azis dan Pemberontakan Tanpa Korban Jiwa
Tadjuddin Noor
Tadjuddin Noor lahir pada 16 April 1906 di Pagetan, Kalimantan Selatan. Tajuddin Noor adalah seorang politikus dan nasionalis Indonesia. Tajuddin Noor pernah menjadi wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sementara antara tahun 1950 dan 1956, dan pernah memimpin badan legislatif Negara Indonesia Timur (NIT).
Di masa mudanya, Tajuddin Noor menempuh pendidikan dan belajar hukum di Universitas Leiden, Belanda. Setelah lulus dari Leiden, Noor mulai bekerja sebagai pengacara di Banjarmasin. Ia bekerja di sana antara 1936 dan 1939. Mulai Juli 1939 hingga invasi Jepang ke Hindia Belanda, ia menjadi anggota Volksraad.
Dalam Volksraad, dia adalah anggota faksi Nasionalis yang dipimpin oleh Mohammad Husni Thamrin. Setelah Jepang menyerah, Noor kembali menjadi pengacara untuk beberapa lama di Makassar.
Setelah penangkapan Gubernur Sulawesi, Ratulangi oleh pasukan Belanda yang kembali ingin menjajah Indonesia, Tajuddin Noor menjadi pemimpin politik gerakan pejuang kemerdekaan Indonesia di Sulawesi. Ia juga pernah menjadi ketua Partai Nasional Indonesia di Makassar.
Baca juga: Peranan Letkol M. Saleh Lahade pada Pemberontakan Permesta
Selama Konferensi Denpasar tahun 1946 yang dihadiri Noor, ia dianggap sebagai tokoh kunci dalam perjuangan republik. Belakangan bulan itu, Noor mencalonkan diri sebagai salah satu dari dua calon kepala negara dari Negara Indonesia Timur yang baru dibentuk, tetapi kalah tipis dari Tjokorda Gde Raka Soekawati setelah tiga putaran pemungutan suara.
Setelah kekalahannya, Noor mencalonkan diri sebagai ketua legislatif negara bagian yang baru, kali ini mengalahkan kapten KNIL Ambon Julius Tahija.
Beberapa bulan setelah penunjukannya sebagai Ketua, Tajuddin Noor diberhentikan dari jabatannya pada tanggal 27 Mei 1947, dan ia digantikan sebagai Ketua oleh Sultan Muhammad Kaharuddin III.
Tajuddin Noor kemudian diusulkan agar diangkat menjadi menteri di bawah Nadjamuddin Daeng Malewa. Pertama Noor diajukan sebagai Menteri Sosial dan kemudian sebagai Menteri Kehakiman. Namun kedua usulan tersebut ditolak oleh Malewa.
Pada tahun 1950, setelah pembubaran bentuk Negara Indonesia Serikat, Negara Indonesia Timur kemudian dilebur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tajuddin Noor kemudian diangkat sebagai salah satu dari tiga wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sementara.
She borrowed the book from him many years ago and hasn’t yet returned it. -Yareli Chen