Barru Raya Modern Tokoh

Peranan Letkol M. Saleh Lahade pada Pemberontakan Permesta

Letkol Muhammad Saleh Lahade, adalah seorang tokoh militer Indonesia yang pernah menjadi salah satu pimpinan dalam pemberontakan Permesta di Sulawesi. Saleh Lahade, bersama dengan Panglima Besar Permesta Ventje Sumual, mendapatkan julukan “Dwitunggal Permesta.” Saleh termasuk salah satu penandatangan Piagam Permesta yang dikeluarkan pada bulan Februari 1957.

Letkol H.N Ventje Sumual dan Letkol M. Saleh Lahade merupakan dua tokoh paling menentukan dalam melahirkan gerakan pembangunan semesta Indonesia Timur. Di antara keduanya, Saleh Lahade yang paling lama dan kontinu berada di Sulawesi.

M. Saleh Lahade dilahirkan di Barru, ia adalah putra dari seorang guru sekolah. Saleh bersekolah di Sekolah Menengah Belanda (AMS) di Yogjakarta dan menempuh pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor (IPB) di Bogor. Istri pertamanya adalah anak perempuan dari Ki Hadjar Dewantara, dan kemudian menikah untuk yang kedua kalinya dengan putri dari seorang keluarga Bangsawan di Sikapa, Tanete-Barru, Sulawesi Selatan.

Setelah menyelesaikan tugas sebagai kepala staf Komisi Militer di Makassar, awal 1948, Saleh memegang berbagai jabatan tinggi dalam staf pimpinan Wirabuana. Mula-mula sebagai Perwira Menengah Teritorial (PMT) yang menangani masalah-masalah wilayah dan masyarakat, pemerintahan lokal, dan sebagainya.

Baca juga: Orang Barru yang Terseret ke Dalam Perang Dunia II di Eropa

Waktu Kolonel A.E. Kawilarang dimutasikan  menjadi Panglima Siliwangi, pada bulan September 1951, Kepala Staf Letkol R.A. Kosasih mengambil oper Komando TT VII Wirabuana  sebagai pejabat panglima sambil menunggu kedatangan Kolonel Gatot Subroto. Untuk menjalankan pekerjaan sehari-hari, Letkol Kosasih menunjuk perwira tertua, Mayor Saleh Lahade, sebagai pejabat kepala staf merangkap PMT.

Dari kiri ke kanan: Gubernur Sulawesi Selatan Andi Pangerang Petta Rani, Letkol Ventje Sumual, dan Letkol Saleh Lahade. Foto: historia.id

Hal itu berlangsung selama tiga setengah bulan di tengah-tengah operasi terhadap Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku Tengah. Januari 1952, Kolonel Gatot Soebroto tiba di Makassar dan mengukuhkan Mayour Saleh Lahade menjadi Staf V Teritorial merangkap “juru bicara” Panglima.

Tugas teritorial sebenarnya telah ditanganinya sejak Komisi Militer itu melekat pada dirinya pada masa-masa berikutnya sampai 1956. Ketika itu kontra aksi Presiden Soekarno atas Perwira 17 Oktober 1952  menjalar ke Makassar, M. Saleh Lahade termasuk di antara beberapa perwira yang bersama Kolonel Gatot Soebroto dikenakan tahanan rumah.

Pada bulan Januari 1953, Panglima Warouw, yang mendaulat pimpinan TT VII Wirabuana dari Gatot Soebroto itu, menugaskannya sebagai perwira yang mengurus masalah transmigrasi. Pada Februari, Saleh Lahade mendapat tugas penting sebagai Perwira Opsir Pekerjaan Istimewa (OPI) X TT VII.

Baca juga: Sejarah Pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia

Dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut, Saleh banyak berhubungan dengan berbagai masalah yang biasanya ditangani pihak-pihak sipil. Landasan kerja yang diberikan Panglima bersama Gubernur Sulawesi. Dalam kedudukan ini, Saleh Lahade sangat menyadari, betapa berkaitannya masalah militer dengan masyarakat luas, seperti misalnya, pembangunan.

Letkol M. Saleh Lahade. Foto: Buku Ayam Jantan Tanah Daeng (Nasaruddin Koro).

Ini tampak, umpamanya dalam kegiatan suatu badan yang diciptakan bersama antara Panglima dan Gubernur yaitu Panitia Pembentuk Dana Keamanan dan Pembangunan Propinsi Sulawesi, yang dipimpin Andi Burhanuddin (Residen diperbantukan pada Gubernur) dan Saleh Lahade sebagai salah seorang anggotanya.

Dalam kedudukan itu, Saleh Lahade berhubungan luas dengan berbagai tokoh politik dalam masyarakat. Ketika pemilihan umum pertama 1955, ia dicalonkan Partai Kedaulatan Rakyat (PKR) sebagai anggota parlemen. PKR berdiri sejak 1947, sebuah partai lokal yang revolusioner dalam perjuangan di Sulawesi. Para pemimpinnya adalah kader-kader Gubernur Sulawesi pertama, Sam Ratulangi (1945).

Partai yang dipimpin Henk Rondonuwu dan Andi Burhanuddin itu mendambakan modernisasi (pembangunan) menyeluruh Sulawesi. Sekalipun kalah dalam Pemilu, peranan partai ini tidak kurang penting setelah itu. Dalam kedudukannya sebagai perwira dengan tugas-tugas khusus tersebut, Saleh Lahade pun mengenal permasalahan yang berkisar pada perdagangan kopra.

Baca juga: Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi dan Konferensi Paccekke

Sejak 1954, wilayah Sulawesi Utara (Minahasa, Sangir Talaud, Bolaang Mongondow, dan Gorontalo) telah mengambil alih peranan Yayasan Kopra yang dikelola Kementerian Perekonomian di wilayah-wilayah itu dan membentuk Yayasan Kelapa yang terlepas dari pusat. Yayasan Kopra di Jakarta. Perkembangan serupa terjadi pula di Makassar sejak April 1955.

Saleh Lahade mendapat kepercayaan Pejabat Gubernur untuk menanganinya. Yayasan Kelapa Sulawesi, yang dibentuknya di Makassar, berusaha mengkoordinasi seluruh perdagangan kopra di pulau itu. Namun usahanya untuk mendapat izin pemerintah pusat, awal 1959, untuk perdagangan barter bagi Yayasan Kopra Sulawesi (YKS) dengan pembagian hasil 30% untuk pusat dan 70% untuk daerah ternyata tidak ditanggapi secara memuaskan.

Tidak disangsikan lagi, pengalaman bertahun-tahun dalam permasalahan pembangunan dan ekonomi itu menyebabkan M. Saleh menjadi salah seorang tokoh di TT VII Wirabuana yang memahami benar persoalan pembangunan serta berbagai aspeknya.

Pada saat Proklamasi Permesta. Dari kiri ke kanan: Letkol HNV Sumual, Mayor Gerungan, Mayor Dolf Runturambi, Letkol Saleh Lahede. Foto: Permesta Information Online.

Karena alasan itu, ketidak puasan dalam hal pembagian alokasi biaya pembangunan dari pemerintah pusat, serta demi mendukung pembangunan daerah yang bebas dari pengaruh Komunis, maka pada tanggal 2 Maret 1957, beberapa tokoh penting dari Sulawesi menandatangani deklarasi Perjuangan Rakyat Sulawesi Semesta (Permesta) di Makassar.

Saleh Lahade termasuk sebagai salah satu tokoh yang ikut menandatanganinya. Ia kemudian menerima jabatan sebagai Wakil Ketua Permesta, sementara yang menjabat sebagai ketua adalah Ventje Sumual. Itulah sebabnya mereka berdua dijuluki “Dwitunggal Permesta.”

Baca juga: Inilah Peserta Pemilihan Umum Pertama di Indonesia Tahun 1955

Tidak hanya di Timur Indonesia, kekecewaan terhadap pemerintah pusat juga terjadi di Barat. Pada bulan Februari 1958, juga dideklarasikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang, Sumatra Barat, sebagai bentuk kabinet Tandingan pemerintah pusat.

Baik Permesta maupun PRRI sama-sama didirikan karena kekecewaan terhadap pemerintah pusat. Keduanya kemudian bekerja sama dan dikenal sebagai PRRI-Permesta. Pada saat ini, M. Saleh Lahade juga diangkat menjadi Menteri Penerangan PRRI.

Pemerintah pusat kemudian melakukan berbagai upaya dalam menghentikan beberapa pemberontakan, termasuk dengan melakukan operasi militer, diantaranya, operasi tegas, operasi sadar, operasi merdeka, dan operasi saptamarga I.

Gatot Subroto, pimpinan AD di Jakarta yang mengenal dekat Saleh Lahade berusaha menemuinya untuk menyampaikan sesuatu yang amat sangat penting, namun urung karena Saleh Lahade berada di Sikapa, Tanete-Barru, kampung istrinya.

Demikian juga J. Muskita tidak berhasil menemui Saleh Lahade. Karena itu, pemerintah pusat memberi ultimatum 3×24 jam. Oleh Saleh Lahade tidak dijawab, Saleh kemudian ditangkap dan dimasukkan ke penjara dua tahun lebih tanpa dialdili. Akhir tahun 1961, ia dibebaskan dengan amnesti/abolisi.

(Sumber: R.Z. Leirissa; PRRI PERMESTA Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis) – Dikutip dari Permesta Information Online:
http://web.archive.org/web/20130202010731/http://permesta.8m.net/tokoh/saleh_lahede.html

Koro, Nasaruddin. Ayam Jantan Tanah Daeng, Siri & Pesse, Dari Konflik Lokal ke Pertarungan Lintas Batas. 2006. Ajuara: Yogyakarta.

Tuliskan Komentar