Modern Nasional

Mencoba Membunuh Jenderal A.H. Nasution

Sekitar pukul 03.45 dini hari, pada tanggal 1 Oktober 1965, Nasution dan istrinya Sunarti terbangun karena banyak nyamuk di dalam kelambu. Beberapa menit, sebelum pukul 04.00, ia mendengar bunyi banyak kendaraan dari depan rumahnya. Kemudian terdengar pintu masuk menuju kamar dan kamar kerja dibuka secara paksa.

Mendengar kegaduhan itu, istri Nasution segera membuka pintu kamar tidur. Ia melihat keluar tapi segera menutup dan mengunci pintu kembali seraya memberitahu bahwa ada pasukan Cakrabirawa. Nasution diminta supaya tetap dalam kamar. Waktu itu anak Nasution, Ade Irma Suryani Nasution terbangun dan berdiri di dekat ibunya.

Nasution kurang percaya dan berkata, “Saya akan bicara sendiri dengan orang-orang itu.” Namun Sunarti menghalang-halangi niat Nasution. Nasution memaksa dan membuka pintu. Begitu pintu dibuka, Nasution langsung berhadapan dengan anggota Cakrabirawa lebih kurang hanya berjarak satu setengah meter. Cakrabirawa terus bergerak untuk menembak. Nasution mundur seraya menutup pintu.

Beberapa rentetan peluru keluar dari senjata Cakrabirawa yang ada di depan pintu. Secara otomatis Nasution tiarap. Sunarti dengan susah payah menutup dan mengunci pintu, karena rupanya anggota Cakrabirawa memaksa hendak masuk ke kamar. Beberapa anggota Cakrabirawa menggasak pintu dengan rentetan tembakan hingga pintu retak-retak.

Baca juga: Ketika Indonesia Mendirikan CONEFO dan GANEFO Untuk Menandingi PBB dan Olimpiade

Sunarti dan adik perempuan Nasution, Mardiyah, masuk ke kamar lewat pintu samping. Mardiyah cepat-cepat meraih Ade untuk diselamatkan, tapi karena gugup ia membuka pintu di mana anggota Cakrabirawa justru sudah menunggu. Begitu pintu dibuka, tembakan berbunyi. Ade Irma Nasution terkena sejumlah tembakan.

A.H. Nasution. Foto: bartzap.com

Lantas pintu ditutup dan dikunci kembali. Tapi tembakan terus menggasak pintu itu. Sejumlah tembakan dilepaskan. Sebuah peluru menyerempet mengenai istri Nasution. Kepala dan dada Sunarti juga tergores peluru. Wanita yang kuat hati itu mengajak suaminya untuk cepat lari ke luar kamar.

Melalui kamar sebelah mereka lari ke samping rumah. Nasution naik ke atap tembok. Dari atap tembok itulah ia melihat Ade tertembak. Hampir saja Nasution turun kembali untuk menghadapi pasukan Cakrabirawa. Tapi hal itu dicegah istrinya yang meminta dengan sungguh-sungguh supaya Nasution menyelamatkan diri secepat mungkin. Sambil menggendong Ade yang berlumuran darah, Sunarti berteriak, “Kamu yang akan dibunuh bukan kami. Lari! Cepat lari!“.

Pada saat yang bersamaan, Yanti dan Suster Alpiah terbangun mendengar suara-suara tembakan. Mereka meloncat lewat jendela, terus lari ke paviliun. Mereka membangunkan Letnan Pierre Tendean dan Kapten Handam yang tidur di paviliun. Pierre segera bangun. Dengan memakai jaket dan membawa senjata ia keluar tanpa curiga. Dalam keadaan setengah gelap, anggota-anggota Cakrabirawa berteriak, “Nasution!“.

Baca juga: Kennedy Dibunuh, Soekarno Lengser, Freeport pun Deal

Saya ajudan Jenderal Nasution,” jawab Pierre Tendean.

Kemudian Pierre dipegangi oleh anggota Cakrabirawa yang bernama Jaharup dan Idris. Para penjaga rumah Nasution yang sudah dilucuti ditanya, “Apakah ini betul Jenderal Nasution?“. Para penjaga diam saja. Walaupun tahu bahwa itu adalah Pierre, ia diangkut juga ke Lubang Buaya. Yanti menyaksikan Pierre diseret ke atas truk oleh pasukan Cakrabirawa.

Saat situasi kritis itu berlangsung, Nasution meloncat ke samping rumah. Bersamaan dengan itu terdengar tembakan gencar mengarah pada Nasution dari anggota Cakrabirawa yang berada di seberang rumah jaga. Namun tidak ada satu pun peluru yang mengenainya. Nasution sembunyi di belakang drum air yang terletak di pekarangan Kedutaan Besar Irak. [Adi Prasetyo, DKK. 2002. Jenderal tanpa pasukan, politisi tanpa partai: perjalanan hidup A.H. Nasution. Jakarta: Grafitipers].

Tuliskan Komentar