Sulsel Tokoh

Muhammad Daeng Patobo, Catatan dan Kenangan

Muhammad Daeng Patobo

Muhammad Daeng Patobo merupakan salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia yang juga berperan aktif menghadapi gerombolan DI/TII.

Oleh Andyz Pabeltobo.

Muhammad Daeng Patobo, lahir di Kampung Mangkasae, Kabupaten Soppeng sekitar Tahun 1887. Dg Patobo bersama ibunya I Collo Dg Pa’ja serta ayahnya La Patau pindah ke Kampung Ta’jolo di lereng pegunungan Lapancu Desa Binuang Kec. Balusu, Kabupaten Barru.

Sangat sulit mendapatkan data yang valid tentang beliau, karena semasa hidupnya, ia sendiri melarang untuk mempublikasikan
tentang perjalanan dan kisah hidupnya terutama dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan kolonial Belanda dan pendudukan Jepang serta pasca Kemerdekaan.

Semasa kecilnya sampai menjelang dewasa tinggal di Polongbangkeng, Takalar, serta di Saile, Desa Biringngere, Kabupaten Pangkep. Di masa muda Dg Patobo, ia kerap disapa Baco Mangngolo. Ia juga gemar sekali menanam apa saja, yang bermanfaat bagi Masyarakat ketika itu.

Sekitar Tahun 1907, Dg Patobo dipenjarakan di Soppeng oleh pemerintah kolonial Belanda dengan tuduhan melawan pemerintah dan memberontak. Ia berhasil melarikan diri dari penjara dan bersembunyi di sekitar Liu Lampe, Lakepo Desa Binuang.

Baca juga: Peranan La Bandu Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di Tanete-Barru

Semasa hidupnya, hampir sepenuhnya dihabiskan waktunya melawan pemerintah kolonial Belanda, serta aktif ikut pada pasca Kemerdekaan. Muhammad Daeng Patobo dikenal sebagai pejuang pantang menyerah, ditakuti lawan dan disegani kawan.

Bersama-sama dengan Andi Mattalatta, membentuk dan membangun kelasyakaran serta bekerjasama dengan Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS) yang ada di Kabupaten Barru dan Kabupaten Soppeng.

Pada saat kontak senjata di Kampung Salessoe bersama pasukan komando TRIPS, ia sempat memberikan wejangan kepada Andi Sarifin bahwa “hari ini, janganlah dulu melawan, atau menyerang pasukan Belanda, insya Allah besok saja, karena kalau hari ini kita akan kalah“, namun tidak diihdahkan, gugurlah Andi Sarifin.

Akhirnya bersama-sama pasukan komando TRIPS di bawah pimpinan Andi Mattalatta, dan kelasyakaran yang di pimpinnya, mengungsi ke Kmapung Paddumpu. Terakhir ke Pacekke, mengikuti Konfrensi pacekke, pada tanggal 20-22 Januari 1947 bersama pasukan kelasyakaran lainnya yang sempat hadir.

Baca juga: Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi dan Konferensi Paccekke

Pembentukan Tentara Republik Indonesia Divisi Hasanuddin (TRI-DH) hasil Konfrensi pacekke ini, di pandang akan memantapkan pelaksanaan operasi militer untuk melumpuhkan kedudukan Belanda.

Namun kenyataannya menunjukkan adanya perubahan politik, karena ke dudukan Belanda telah di ambil oleh Pemerintah Negara Indonesia Timur (NIT) yang Terbentuk dari hasil Konfrensi Denpasar, dan pada tanggal 10 Januari 1947 telah membentuk kabinet Najamuddin Dg Malewa.

Selain itu pula, aksi pembersihan Westerling dengan pasukannya kian merajalela. Maka diputuskan agar Andi Mattalatta kembali ke Jawa bersama kawan-kawannya untuk melaporkan hasil Konfrensi, sekaligus minta bantuan Militer.

Pada pertengan Tahun 1947, Muhammad Dg Patobo bersama pasukan kelasyakarannya berikut keluarganya, bergerilya dari hutan kehutan di sekitar Pegunungan Kamiri, Ta’jolo, Batu Ma’bulue pada deretan Pegunungan La Pancu, bahkan masuk wilayah Kabupaten Soppeng. Mereka dikejar-kejar oleh pasukan Belanda menggunakan pasukan Pasoso yang direkrut dari orang pribumi.

Baca juga: Koleksi Foto Pembantaian Westerling di Barru

Belanda mengejar Muhammad Daeng Patobo
Pasukan Belanda berpatroli di Balisu. Foto: nimh-beeldbank.defensie.nl

Banyak sanak keluarganya dan masyarakat Kabupaten Barru diterror, diancam bahkan ditembak mati, kalau tidak memperlihatkan tempat persembunyiaannya, termasuk peristiwa di Kaerengnge, Desa Palakka. Masyarakat dikumpulkan di sebuah lapangan, lalu dihalau dengan tali untuk dibakar hidup-hidup, betapa ganasnya pasukan Westerling ketika itu.

Karena tidak tega mendengar kabar bahwa sanak keluarganya akan di bantai habis jikalau tidak turun menyerahkan diri. Maka sekitar akhir Tahun 1947, Muhammad Daeng Patobo akhirnya menyerahkan diri kepada pihak Belanda dan di penjarakan di Parepare.

Lalu di pindahkan ke Barru dan rencananya akan dieksekusi mati, dengan izin Tuhan Yang Maha Esa, dengan alasan suatu hal tidak jadi di tembak, hanya dipindahkan ke Kabupaten Soppeng dan dikembalikan lagi ke Parepare.

Pada Tahun 1949, Muhammad Dg Patobo dilepas dan keluar dari penjara setelah Indonesia kembali ke pangkuan ibu Pertiwi Negara Republik Indonesia scara utuh.

Baca juga: Andi Mattalatta, Dari Pejuang Kemerdekaan Hingga Tokoh Olahragawan

Sekeluarnya dari penjara bergabung pada Tentara Bantuan Operasional (TBO) dalam kesatuan Kombet Teru yang bermarkas di Takkalasi, Kecamatan Balusu dengan pangkat Kapten. Di bawah pimpinannya aktif berperang menumpas gerombolan Kahar Muzakkar.

Sekitar Tahun 1957, datang surat ancaman dari Kahar Muzakar pimpinan DI/TII Sulawesi Selatan, bahwa akan menduduki dan membakar Kota Barru dan sekitarnya.

Muhammad Daeng Patobo
Muhammad Daeng Patobo. Foto: Andyz Pabeltobo.

Setelah merenung dan berambut dengan anggota pasukannya, diputuskan bahwa “biarlah saya bergabung sementara dengan pasukan DI/TII untuk menghindari korban dan pertumpahan dara masyarakat Barru, kami tidak gentar dan takut melawannya demi menghindari korban rakyat yang tidak berdosa, biarlah kami masuk dan bergabung untuk sementara,” kata Muhammad Dg Patobo.

Maka berangkatlah dengan berapa orang anggota pasukannya, termasuk istri dan anaknya, pimpinan pasukan diserahkan kepada anaknya Abd. Mannan Dg Bella.
Dijemput oleh pasukan gerombolan Kahar Muzakkar di Dusun Baera, Desa Kamiri, menuju Kabupaten Bone tempat markas pasukan Kahar Muzakkar.

Baca juga: Tempo Gurilla: Masa Pemberontakan DI/TII di Wilayah Barru

Dalam perjalanannya dicegah oleh Bahar Mattaliu, salah satu komandan pasukan Kahar Muzakkar, dan disarankan untuk sampai dan tinggal saja di markasnya, yakni di Kampung Palacari Kaki, Pegunungan Tellang, Kabupaten Bone.

Tidak lama kemudian betapa marah dan geramnya Andi Mattalatta mengetahui bahwa ayah angkatnya di ambil oleh pasukan DI/TII, ketika itu menjabat sebagai Komandan Komando Militer (KDM) Wilayah Indonesia Timur.

Melalui kurir rahasia bernama Panangeang Dg Magangka yang merupakan anak Muhammad Dg Patobo sendiri, menulis surat yang intinya berisi: “Apakah Etta Tobo masuk ke hutan dan bergabung dengan pasukan Kahar Muzakar atas ke hendak sendiri atau pemaksaan dari Kahar? Jika pemaksaan, akan kuhancurkan markasnya dan nyawa taruhannya“.

Setelah membaca isi surat tersebut, dan berkatalah kepada anaknya sendiri yakni Panangeang Dg Magangka: “Kembalilah menemui beliau, dan katakan bahwa saya masuk hutan atas kemauan sendiri, demi menghindari korban yang terlalu banyak masyarakat Barru, dan katakan juga insyaAllah Kahar menyerah dalam waktu tidak terlalu lama.”

Kurang lebih setahun Muhammad Daeng Patobo tinggal bersama-sama di markas Bahar Mattaliu. Akibat dengan masuknya Muhammad Dg Patobo di hutan, ia berhasil mempengaruhi Bahar Mattaliu bersama pasukannya untuk kembali bergabung dengan Tentara Republik Indonesia.

Muhammad Dg Patobo wafat pada Hari Jumat, tahun 1988 di Makassar pada usia lebih kurang 105 Tahun, dan dikebumikan di belakang Mesjid Lapao, Desa Binuang.

Tuliskan Komentar