Dikisahkan bahwa Kerajaan Luwu memiliki seorang putri yang cantik bernama putri We Taddampali. Silih berganti pangeran dari berbagai kerajaan lain datang untuk melamar sang putri, termasuk pangeran dari kerajaan Bone.
Lamaran pangeran Bone itu belum disetujui oleh raja Luwu, sebab menurut adat luwu, putrinya hanya boleh menikah dengan orang Luwu juga. Suatu hari, putri Taddampali terserang penyakit kusta.
Khawatir penyakit sang putri menular, ia bersama beberapa pengikutnya kemudian dihanyutkan hingga masuk daerah Tosora, ketika sampai di daratan itu, pengikutnya memungut buah pohon bajo, dari nama buah itu kemudian putri Taddampali memberi nama wilayah itu dengan sebutan Wajo.
Sementara kawasan tempat sang putri bermukim kemudian disebut Majauleng, berasal dari kata dalam bahasa Bugis, yaitu kata maja yang berarti jelek dan kata uli’ yang berarti kulit.
Baca juga: Masuknya Agama Islam di Kerajaan Luwu
Konon kabarnya putri Taddampali dijilati kerbau belang hingga penyakit kustanya pulih dan sembuh, tempat sang putri dijilati kerbau itu kemudian disebut Sakkoli, berasal dari kata dalam bahasa Bugis, yaitu sakke yang berarti pulih dan uli’ yang berarti pulih.
Saat putri Taddampali sembuh, ia beserta pengikutnya yang setia membangun pemukiman baru di wilayah itu. Hingga suatu saat, datang seorang pangeran dari Bone yang berburu dan beristirahat di dekat perkampungan putri Tadampali.
Tanpa disangka-sangka, mereka kemudian bertemu. Pangeran Bone kemudian datang ke Luwu untuk menemui dan mengabari raja Luwu. Singkat cerita mereka kemudian menikah dan menurunkan raja-raja Wajo.
Rumah hunian salah satu penguasa lokal di Wajo tahun 1900an. Foto: Wereldculturen. |
Terlepas dari kisah dongeng tersebut. Dari mana sebetulnya nama Wajo ini berasal dan bagaimana sejarah awal mula kerajaan Wajo berdiri? Beberapa pendapat mengatakan bahwa nama Wajo berasal dari kata bahasa Bugis yaitu wajo-wajo yang berarti bayangan atau bayang-bayang.
Baca juga: Ternyata Beginilah Sejarah Awal Berdirinya Kerajaan Soppeng
Hal itu merujuk pada peristiwa ikrar atau kontark sosial pada tahun 1399, antara rakyat serta pemimpin adat dengan La Tenribali, di bawah bayang-bayang pohon bajo, bersepakat mendirikan kerajaan Wajo. Perjanjian itu diadakan di Tosora yang kemudian menjadi ibu kota kerajaan Wajo.
Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain di Sulawesi Selatan yang pada umumnya memulai kerajaannya dengan kedatangan To Manurung. Sejarah awal Wajo menurut kronik Bugis yang disebut Lontara Sukkuna Wajo dimulai dengan pembentukan komunitas masyarakat di pinggir Danau Lampulung.
Disebutkan bahwa orang-orang dari berbagai daerah penjuru mata angin, utara, selatan, timur dan barat, berkumpul dipinggir sebuah Danau, danau itu kemudian dikenal dengan nama Danau Lampulung, berasal dari kata bahasa Bugis, sipulung yang berarti berkumpul.
Kelompok masyarakat di pinggir danau itu dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui namanya, ia hanya disebut dengan gelar Puangnge Ri Lampulung. Puang ri Lampulung dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui tanda-tanda alam dan tatacara bertani yang baik.
Komunitas Lampulung terus berkembang dan memperluas wilayahnya hingga ke Saebawi. Setelah Puang ri Lampulung meninggal, komunitas bubar. Hingga tiba seseorang yang memiliki kemampuan sama dengannya, yaitu Puang ri Timpengeng ri Boli. Tokoh ini kemudian mendirikan komunitas masyarakat di Boli.
Baca juga: Inilah Asal Usul Gelar Andi di Sulawesi Selatan
Komunitas Boli terus berkembang hingga meninggalnya Puang ri Timpengeng. Setelah itu, datang putra mahkota kedatuan Cina (kedatun Cina yang dimaksud adalah kerajaan yang pernah berdiri di Pammana, Wajo) dan kerajaan Mampu, yaitu La Paukke mendirikan kerajaan Cinnotabi di bekas wilayah komunitas masyarakat Boli.
Kerajaan Cinnotabi terus berkembang sampai pada masa pemerintahan Arung Cinnotabi ke-IV, La Patiroi. Sepeninggal La Patiroi, Dewan Adat Cinnotabi mengangkat La Tenribali dan saudaranya La Tenritippe sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V.
Kemudian tiga orang sepupu dari La Tenribali, yaitu La Tenritau, La Tenripekka, dan La Matareng, ketiganya diangkat menjadi penguasa di tiga tempat yang berbeda. La Tenritau menguasai wilayah Majauleng, La Tenripekka menguasai wilayah Sabbamparu dan La Matareng menguasai wilayah Takkalalla.
Makam La Taddampare Puang ri Maggalattung, Arung Matowa Wajo ke-IV. Foto: Dian Suhardiman Sunusi/PECINTA SEJARAH SULAWESI SELATAN (FANS OF SOUTH SULAWESI HISTORY) – Facebook. |
Akan tetapi dalam pemerintahannya, La Tenritippe sering berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya sehingga mereka berdua diturunkan dari jabatannya. Karena alasan itu, maka La Tenribali mengasingkan dirinya. Setelah itu, kerajaan Cinnotabi bubar, warga serta dewan adatnya berkumpul di Boli dan membentuk komunitas masyarakat baru lagi yang disebut Lipu Tellu Kajurue.
La Tenribali sendiri setelah meninggalkan Cinnotabi membentuk kerajaan baru yang disebut Akkarungeng ri Penrang dan menjadi Arung Penrang pertama (berlokasi di sebelah Timur Tosora, bukan Kabupaten Pinrang yang sekarang). Ketiga sepupunya kemudian datang meminta La Tenribali agar bersedia kembali menjadi raja Lipu Tellu Kajurue di Boli.
Baca juga: Sejarah Parepare: Dari Asal-usul Nama hingga Menjadi Kotamadya
La Tenribali menerima permintaan itu, kemudian diangkat menjadi raja dengan gelar Arung Mata Esso. Pada upacara pelantikannya dibawah pohon bajo pada tahun 1399, diucapkan ikrar atau perjanjian sosial antara rakyat dan La Tenribali. Perjanjian itu dikenal dengan nama Assijancingenge ri Majauleng.
Berdasarkan perjanjian tersebut, maka diubahlah istilah Arung Mata Esso menjadi Batara Wajo, sementara Kerajaan Boli atau Lipu Tellu Kajurue juga diubah menjadi Kerajaan Wajo.
Ketiga sepupu La Tenribali juga berganti gelar menjadi Paddanreng yang menguasai wilayah bawahan Wajo. La Tenritau menjadi Paddanreng ri Majauleng, yang kemudian menjadi Paddanreng Bettempola. La Tenripekka menjadi Paddanreng Sabbamparu, yang kemudian menjadi Paddanreng Talotenreng. La Matareng menjadi Paddanreng ri Takkalalla yang kemudian menjadi Paddanreng Tuwa.
Kerajaan Wajo terus berkembang hingga mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Posisi Batara Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa yang bersifat monarki konstitusional.
Masa keemasan Wajo adalah pada pemerintahan La Tadampare Puang ri Maggalattung. Wajo menjadi anggota persekutuan Tellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama Bone sebagai saudara tua dan Soppeng sebagai saudara bungsu.
Tuliskan Komentar