Kuno Nasional

Perlawanan Rakyat Minahasa Pada Dua Perang Tondano

Perjuangan masyarakat Sulawesi Utara melawan penjajahan ternyata tidak kalah hebatnya dari perjuangan-perjuangan wilayah lainnya di Nusantara. Perjuangan itu dituangkan dalam bentuk perlawanan pada dua perang yang terjadi di Tondano. Rakyat Sulawesi Utara telah melakukan perlawanan pada masa kekuasaan VOC. Kemudian perlawanan itu terjadi kembali pada masa pemerintahan Belanda.

Diawali hubungan dagang antara Orang Minahasa dengan Spanyol. Di samping itu, Spanyol juga menyebarkan agama kristen yang dipelopori oleh Fransiscus Xaverius. Mulai abad XVII hubungan dagang antara keduanya mulai terganggu dengan kehadiran para pedagang VOC.

Gubernur VOC, Terante Simon Cos waktu itu mendapatkan kepercayaan dari Batavia untuk membebaskan Minahasa dari pengaruh Spanyol. Dia menempatkan kapalnya di Selat Lembeh untuk mengawasi pantai timur Minahasa. Akibatnya, pedagang Spanyol dan Makassar mulai tersingkir.

Waktu itu Spanyol harus meninggalkan kepulauan Nusantara menuju Filipina karena sebelumnya ada Perjanjian Saragosa antara Portugis dan Spanyol yang ditandatangani pada 22 April 1529. Perjanjian ini adalah kelanjutan dari Perjanjian Tordesillas yang membagi belahan bumi barat di antara Spanyol dan Portugal.

Baca juga: Duel Laut Makassar dan Belanda Dalam Perang Ambon (1651-1656)

Dalam perjanjian Saragosa dicapai hasil yang lebih rinci dari dua belah pihak, Spanyol dan Portugis. Adapun kesepakatan yang dicapai diantaranya, Bumi dibagi atas dua pengaruh, yaitu pengaruh bangsa Spanyol dan Portugis. Wilayah kekuasaan Spanyol membentang dari Meksiko ke arah barat sampai kepulauan Filipina dan wilayah kekuasaan Portugis membentang dari Brazil ke arah timur sampai kepulauan Maluku.

Sementara saat itu VOC memonopoli perdagangan beras di Minahasa. VOC memaksakan kehendak agar orang-orang Minahasa menjual berasnya kepada VOC. Orang Minahasa jelas menentang usaha monopoli VOC itu dan melakukan perlawanan.

Akhirnya, VOC membendung sungai Temberan pada Juni 1661. Akibatnya aliran sungai meluap dan menggenangi tempat tinggal rakyat Minahasa, inilah awal dari Perang Tondano. Orang-orang Minahasa memindahkan tempat tinggalnya di Danau Tonadano dengan rumah-rumah apung. Pasukan VOC selanjutnya mengepung kekuatan orang-orang Minahasa yang berpusat di Danau Tondano.

Lukisan peperangan di Danau Tondano. Foto: historia.id

Simon Cos kemudian memberikan ultimatum yang isinya antara lain, orang-orang Tonadano harus menyerahkan para tokoh pemberontak kepada VOC, juha orang Tondano harus membayar ganti rugi dengan menyerahkan 50-60 budak sebagai ganti rugi rusaknya tanaman padi karena genangan air sungai Temberan.

Ternyata rakyat Tondano tidak peduli dengan ultimatum VOC tersebut. Simon Cos sangat kesal karena ultimatumnya tidak berhasil. Pasukan VOC akhirnya ditarik mundur ke Manado. Setelah itu rakyat Tondano menghadapi masalah dengan hasil pertanian yang menumpuk, tidak ada yang membeli.

Baca juga: Rumitnya Perang Buton-Belanda (1637-1638)

Dengan terpaksa kemudian mendekati VOC untuk membeli hasil-hasil pertaniannya. Perang tondano ini diakhiri dengan Terbukanya tanah Minahasa oleh VOC dan pindah ke perkampungan baru di Minawanua.

Memasuki abad ke-19, yakni pada masa pemerintahan Kolonial Belanda. Hubungan antara masyarakat Minahasa dengan pemerintah Belanda kembali memanas. Gubernur Hindia Belanda yang saat itu dijabat oleh Deandels ditugaskan untuk mempertahankan wilayah Nusantara dari serangan Inggris, ia memerlukan tambahan pasukan dari kalangan pribumi untuk memperkuat pertahanan, tidak terkecuali di Sulawesi Utara.

Lukisan litografi Danau Tondano. Foto: pinterest.com

Atas perintah Daendels melalui Kapten Hartingh, Residen Manado, Prediger, segera mengumpulkan para masyarakat untuk dikirim ke Jawa. Rencana itu ternyata ditolak oleh Masyarakat Minahasa. Masyarakat Minahasa justru melakukan perlawanan terhadap Residen Prediger.

Dalam suasana yang semakin kritis itu, tidak ada pilihan lain bagi Gubernur Prediger kecuali mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang-orang Minahasa di Tondano, Minawanua. Belanda kembali menerapkan strategi dengan membendung Sungai Temberan.

Baca juga: Perang Makassar dan Kerugian Besar Kesultanan Makassar

Tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran mulai berkobar. Pasukan Belanda yang berpusat di Danau Tondano berhasil melakukan serangan dan merusak pagar bambu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan Minawanua, sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di Minawanua.

Tanggal 24 Oktober 1808 pasukan Belanda dari darat membombardir kampung pertahanan Minawanua. Pasukan Prediger mulai mengendorkan serangannya. Tiba-tiba dari perkampungan itu orang-orang Tondano muncul dan menyerang pihak Belanda. Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur.

Seiring dengan itu Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga mempersulit pasukan Belanda sendiri. Dari jarak jauh Belanda terus menghujani meriam ke Kampung Minawanua. Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para pejuang Minahasa hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankannya.

Tuliskan Komentar