Kuno Sulsel

Kisah Pemberontakan Orang-Orang Makassar di Ayutthaya

Kedatangan orang Makassar di Ayutthaya (sekarang Thailand) menurut Pelras dimulai sekitar pada tahun 1674. Sebuah rombongan kecil yang terdiri atas 250 orang pria, wanita dan anak-anak datang dari Pulau Jawa dipimpin seorang Pangeran Makassar yang mengasingkan diri dari Makassar tiga tahun sebelumnya.

Gervaise melukiskan kedatangan mereka di sambut baik oleh Raja Ayutthaya yang bernama Raja Narai dan bahkan mereka diberi pemukiman di pinggir sungai bertetangga dengan perkampungan orang Melayu. Kebetulan orang Melayu dan Makassar sama-sama memeluk agama Islam.

Meskipun awalnya hubungan orang-orang Makassar sangat baik dengan warga pribumi di Ayutthaya, sebuah konflik kecil pada tahun 1686 terjadi. Konflik tersebut kemudian melahirkan sebuah pemberontakan orang Makassar terhadap raja Narai. Konflik tersebut di awali oleh keinginan Orang Makassar mempertahankan kehormatan mereka. Saat itu, Orang Melayu dan Campa merencanakan pemberontakan terhadap Raja Narai. Rencana pemberontakan ini diketahui oleh Pangeran Makassar.

Rencana pemberontakan tersebut kemudian bocor ketelinga Raja Ayutthaya. Meskipun bukti kongrit keterlibatan orang Makassar di pemberontakan tersebut tidak ada tetapi oleh Raja Narai, ketiga suku tersebut di panggil bersama-sama untuk meminta maaf kepada Raja.

Maklumat dari Raja Narai tersebut ternyata di patuhi oleh orang-orang Campa dan orang Melayu tetapi tidak demikian halnya oleh orang Makassar. Pangeran Makassar menolak meminta maaf kepada Raja Narai.

Tentang penolakan meminta maaf ini, Pelras menjelaskan bahwa hanya pangeran Makassar yang menolak meminta maaf. Alasannya, dia tidak pernah mau memberontak. Hanya saja kesalahannya adalah bahwa dia tidak melaporkan rencana pemberontakan orang Melayu dan Campa kepada Raja Ayutthaya. Alasan sang pangeran karena dia juga tidak mau mengkhianati kedua sahabatnya dengan membuka rahasia yang telah di percayakan kepadanya. Bagaikan buah simalakama.

Pemberontakan Orang Makassar

Tetapi Pangeran Makassar tetap konsisten pada sikapnya, bahwa mereka sama sekali tidak bersalah, karena itu mereka tidak akan memenuhi maklumat Raja Narai, sebab tidak wajar bagi mereka datang meminta ampun dan merendahkan diri kepada raja untuk kesalahan yang tidak mereka lakukan. Penolakan tegas ini, semakin mempertegang hubungan orang Makassar dengan pihak kerajaan Ayutthaya yang dibantu oleh pasukan Inggris-Perancis.

Pemicu pemberontakan dimulai ketika suatu hari sebuah kapal dagang dari Makassar tiba di Ayutthaya membawa bingkisan raja Gowa untuk Pangeran Makassar. Kedatangan mereka ini kemudian di gunakan oleh pihak Raja Ayutthaya untuk menahan semua awak kapal karena di khawatirkan akan bergabung dengan kelompok pangeran Makassar yang tidak mau memohon ampun.

Dengan siasat licik, patroli kerajaan Ayutthaya berpura-pura memeriksa surat jalan nakhoda kapal Makassar ketika mereka berniat kembali. Pemeriksaan ini sesungguhnya hanyalah alasan agar semua awak kapal ditahan secara halus. Tatkala nakhoda dan awak kapal mengetahui siasat licik ini, mereka yang hanya berjumlah 6 orang mengamuk di ruang pertemuan pasukan kerajaan. Seorang perwira dan penerjemah perancis berhasil di bunuh.

Pergolakan di kapal ini terus berlanjut. Awak kapal lain yang berada di luar gedung serentak maju menggunakan sarung mereka sebagai perisai. Mereka dengan keberanian mengagumkan menerobos pasukan Ayutthaya dan perancis dan membunuh siapa saja yang mereka jumpai. Menurut Pelras banyak pasukan Ayutthaya yang lari kocar-kacir mencari perlindungan meskipun mereka menggunakan senjata api dan meriam.

Raja Narai. Foto: wikipedia.org

Peperangan di kapal tersebut kemudian menjalar sampai di perkampungan Makassar tempat dimana Daeng Mangalle dan 120 orang Makassar telah siap dengan badik mereka. Beberapa hari kemudian pertempuran sengit terjadi antara orang Makassar yang berjumlah 120 orang melawan armada gabungan Perancis, Inggris, dan Ayutthaya yang berjumlah 4000 orang.

Berselang 3 minggu, pemberontakan ini berhasil dipadamkan setelah semua laskar Makassar tewas. Forbin, salah seorang komandan pasukan beberapa tahun kemudian menceritakan tentang keberanian orang-orang makassar yang disaksikannya dengan mata kepalanya sendiri, ia mengatakan, “seumur hidup saya, tidak pernah bertemu dengan lawan yang begitu berani. Semasa kecil mereka telah dibekali dengan perasaan harga diri yang tinggi sehingga pantang bagi mereka untuk menyerah.”

Meskipun sudah tertembak, mereka terus melangkah maju, siap menusuk lawan mereka. Seorang Makassar yang di dapati masih hidup keesokan harinya meskipun terkena 17 tusukan tombak masih berusaha merampas senjata prajurit yang sedang memeriksanya dan berusaha membunuhnya sebelum mati.

Pelras juga mengutip pendapat Edwar Udall, saudara sekandung Kapten Henry Udall, perwira Inggris yang tewas oleh tusukan keris orang Makassar di Ayutthaya. Bahwa meskipun mereka bersenjatakan keris, mereka berani maju sampai kemuka lubang bedil.

Peristiwa Ayutthaya nampaknya masih perlu dikaji oleh sejarawan. Sebab menurut Pelras, tragedi ini masih sangat kurang dibahas termasuk oleh sejawaran Sulawesi Selatan sendiri. Tetapi yang jelas, tragedi Ayutthaya meninggalkan kesan khusus akan keberanian orang-orang Makassar yang lebih baik mati daripada hidup terhina.

Dikutip dari buku Kisah-Kisah Bijak Orang Sulsel karangan A. Shadiq Kawu.

Tuliskan Komentar