Budaya Sulsel

Assikalaibineng: Kamasutra Versi Bugis

Kitab Assikalaibineng
Buku Assikalaibineng.

Kitab Assikalaibineng tidak sekadar teks berisi tuntunan praktek persetubuhan, melainkan juga mengandung makna hakikat hubungan suami-istri.

Ada anggapan peradaban yang memiliki aksara kuno, biasanya memiliki manuskrip tentang seks. Seperti bangsa India yang memiliki kitab Kamasutra, bangsa Arab memiliki kitab Qurratul Uyun, bangsa Romawi memiliki literatur Ars Amatoria atau The Art of Love, sedangkan di Jawa ada Kitab Serat Centhini.

Yang paling populer adalah Kamasutra, merupakan hasil karya literatur Sanskerta yang berasal dari India, dikarang oleh Mallanaga Vatsyayana dan banyak dipakai sebagai buku acuan dalam hal percintaan atau hubungan seksual.

Sedangkan Serat Centhini merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, termasuk percintaan atau hubungan seksual, agar tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu.

Selain beberapa manuskrip di atas, terdapat pula manuskrip serupa yang berasal dari Sulawesi Selatan. Manuskrip itu disebut sebagai Kitab Assikalaibineng.

Baca juga: 8 Kitab Kuno di Nusantara yang Sering Dijadikan Sumber Penulisan Sejarah

Manuskrip buku berbahasa Bugis ini tidak jauh-jauh dari pembahasan hubungan seksual manusia dari yang paling dasar hingga tata cara berhubungan suami istri ala Bugis.

Kitab Assikalaibineng tidak sekadar teks berisi tuntunan praktek persetubuhan, melainkan juga mengandung makna hakikat hubungan suami-istri. Bukan sekadar hubungan biologis semata, tapi juga berdimensi psikologis, sosial dan spiritual. Assikalaibineng secara harfiah gabungan dua kata dalam bahasa Bugis: lai berarti laki-laki dan bineng atau bene berarti perempuan.

Data yang tercantum diketahui teks lontara Assikalabineang dalam Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Sulsel, naskah Bugis berasal dari Luwu milik Nira Ambe’na Baso yang ditulis di abad ke-18.

Muhlis Hadrawi, salah seorang filolog asal Makassar adalah orang yang berjasa dalam membukukan manuskrip kuno ini. Catatan ini berasal dari manuskrip atau lontara Bugis-Makassar. Semua dilakukan demi mengetahui bagaimana orang-orang dahulu memandang seksualitas.

Baca juga: Lontara’ Sebagai Sumber dalam Penulisan Sejarah di Sulawesi Selatan

Bukunya, Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis merupakan buah penelitian tesisnya di Universitas Indonesia (UI). Muhlis mengungkapkan jika seksualitas merupakan salah satu bagian paling penting dalam kehidupan manusia. Baginya, seks adalah kebutuhan dasar manusia.

Dalam pengantar buku Muhlis Hadrawi yang dikembangkan dari tesisnya saat menimba ilmu di Fakultas Pengetahuan Ilmu Budaya Universitas Indonesia tahun 2005 silam ini, disebutkan teks Assikalaibineng cenderung eksklusif dan lebih terkonsentrasi pada lapisan masyarakat elite: bangsawan dan agamawan. Kepemilikan teks ini menjadi simbol pengetahuan eksklusif dan hak istimewa yang terbatas pada kalangan tertentu saja.

Kitab Assikalaibineng termasuk unik karena sangat menonjolkan sisi Islam yang kental. Padahal, kitab ini asli Bugis. Isinya, ditulis dalam bahasa Bugis dan huruf lontara, sementara ada sebagian yang ditulis dalam bahasa Arab. Penjelasannya tetap dalam konteks Islam.

Baca juga: Panduan Menulis Aksara Lontara

Perpaduan antara Islam dan Bugis menyiratkan bahwa teks ditulis ketika Islam sudah datang di Nusantara. Contohnya, dalam salah satu bagian dijelaskan jika hendak berhubungan seksual, suami istri harus mengawalinya dengan berwudu, membaca ayat suci Alquran, dan berzikir.

Jauh sebelum zaman modern seperti saat ini, orang-orang Bugis sudah menemukan ilmu yang dapat menjelaskan perilaku hubungan seksual yang berkualitas. Mereka mampu menjelaskan dengan lebih detail bagian intim tubuh perempuan.

Bukan cuma itu, Assikalaibineng juga memuat panduan cara mendapatkan anak yang sesuai keinginan orang tuanya. Mau anak berkulit putih atau hitam, laki-laki atau perempuan, semua ada panduannya.

Pembahasan seksualitas dalam Assikalaibineng menyentuh bagian yang sangat kompleks. Pada bagian awal teks, bahasa dan istilah yang digunakan dibongkar terlebih dulu. Misalnya nih, menjelaskan organ seksual laki-laki yang terdiri atas tiga bagian yaitu mulut (timu), tangan (jari), dan zakar (kalamung).

Baca juga: I La Galigo: Menyelami Karya Sastra Terbesar dari Sulawesi

Ketiga organ tersebut difungsikan secara bersamaan baik dalam posisi baring, duduk, atau tubuh saling merapat. Kitab ini menjelaskan secara runut bagaimana ketiga organ tersebut bekerja hingga sampai pada titik orgasme.

Konon, teknik tersebut dianggap sebagai gaya yang sangat istimewa, sehingga menjamin kepuasan bagi perempuan. Kaum hawa mungkin akan menyukai kitab ini karena di dalamnya memuat adab-adab yang “condong” ke perempuan.

Misalnya, suami tidak seharusnya memaksakan kehendak kepada istri, tidak membangunkan istri hanya untuk dilayani berhubungan badan ketika istri sedang lelah, tidak memunggungi atau pindah kamar usai bercinta dengan istri, dan masih banyak hal lainnya. Tujuannya, agar istri tidak merasa hanya dijadikan alat pemuas nafsu.

Tuliskan Komentar