Kuno Sulsel

Sejarah Butta Toa: Awal Mula Kemunculan Bantaeng

Bantaeng merupakan salah satu kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan, Bantaeng memiliki sejarah peradaban yang cukup tua di Sulawesi. Dilihat dari segi yuridis formal, hari jadi Bantaeng jatuh pada tanggal 4 Juli 1959 berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Sulawesi.

Namun, pemberlakuasn Undang-Undang Nomor 29 tahun 1959, bukanlah menunjukkan keberadaaan Bantaeng pertama kali, karena Kabupaten Bantaeng sebagai bekas Afdeling pada Zama Pemerintahan Hindia Belanda sudah lama dikenal sebagai pusat pemerintahan formal.

Bahkan sejak tanggal 11 November 1737 Resident Pertama Pemerintahan Hindia Belanda telah memimpin pemerintahan di Bantaeng. Dengan julukannya sebagau Butta Toa (tanah tua), maka untuk melihat sejarah kemunculan Bantaeng, kita harus menoleh kepada sejarah jauh sebelumnya.

Sumber tertua yang menuliskan tentang keberadaan Bantaeng adalah kitab Negarakertagama dari kerajaan Majapahit di pulau Jawa, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk bersama patihnya Gajah Mada tahun 1364, pada kitab itu ditemukan kata Bantayan yang ditafsirkan sebagai Bantaeng.

Baca juga: 8 Kitab Kuno di Nusantara yang Sering Dijadikan Sumber Penulisan Sejarah

Dalam kitab itu disebutkan daerah taklukan kerajaan Majapahit di Sulawesi di antaranya, Bantayan (Bantaeng), Luwuk (Luwu), Udamakatraya (Kep. Talaud), Makassar, Butun (Buton), Banggawi (Banggai), Kunir (Pulau Kunyit), Selaya (Selayar), Solot (Solor). Nama Bantaeng sudah disebut-sebut sebagai salah satu sasaran untuk memperluas hubungan pemerintahan dan perniagaan Majapahit.

Bahkan dalam Atlas Sejarah yang disusun oleh Dr. Muhammad Yamin, dituliskan bahwa pada tahun 1254, Bantaeng sudah disebut-sebut sebagai salah satu daerah di timur Nusantara yang jadi sasaran perluasan hubungan pemerintahan dan perniagaan bagi Kerajaan Singosari yang dipimpin Raja Kertanegara di Jawa Timur (1254 -1292).

Upacara perpisahan Bersama Keluarga kerajaan Bantaeng untuk Assistent-Resident dari Bantaeng. terlihat di sebelah kiri Regent dari Bantaeng bersama istri. Foto: Facebook (Donald Tick).

Berdasarkan bukti autentik tersebut, maka ditetapkan Hari Jadi Bantaeng pada tanggal 7 Desember 1254. Penetapan tahun 1254 diambil dari masa pemerintahan Kertanegara, raja Singosari.

Bulan 12 menunjukkan sistim Hadat 12, terdiri dari perwakilan rakyat melalui unsur Jannang atau kepala kampung sebagai anggotanya, yang secara demokratis menetapkan kebijaksanaan pemerintahan bersama Karaeng Bantaeng.

Baca juga: Panggung Sejarah Berdirinya Kerajaan Wajo

Sementara tanggal 7 merupakan simbolik dari Balla Tujua di Onto dan Tau Tujua yang memerintah di Bantaeng pada masa lalu, yaitu Kare Onto, Bissampoe, Sinowa, Gantarangkeke, Mamampang, Katapang, dan Lawi-lawi.

Jadi, bisa dikatakan bahwa cikal bakal munculnya Bantaeng bermula dari komunitas masyarakat Onto yang telah memiliki sejarah tersendiri.

Kepala kaum di Onto bergelar Rampang yang digantikan oleh Kareang Loe ri Onto, setelah wafat beliau pun digantikan oleh Punta Dolangang dengan gelar Dala Onto yang kemudian dilantik sebagai raja yang pertama di Bantaeng.

Peta teluk dan kota Bantaeng dari Adina Sommer tahun 1796.

Dikisahkan bahwa dulunya daerah Bantaeng masih berupa lautan. Hanya beberapa tempat tertentu saja yang berupa daratan, yaitu daerah Onto dan beberapa daerah di sekitarnya seperti Sinoa, Bisampole, Gantarang keke, Mamapang, Katapang dan Lawi-Lawi.

Masing-masing daerah ini memiliki pemimpin sendiri-sendiri yang disebut dengan Kare yang semuanya ada 7 orang. Suatu ketika para Kare bermufakat untuk mengangkat satu orang yang akan memimpin mereka semua.

Baca juga: Ternyata Beginilah Sejarah Awal Berdirinya Kerajaan Soppeng

Sebelum itu mereka sepakat untuk melakukan pertapaan terlebih dahulu di Kare Onto, untuk meminta petunjuk kepada Dewatae siapa kira-kira orang yang tepat menjadi pemimpin mereka.

Tempat-tempat pertapaan itu sekarang disimbolkan dengan Balla Tujua (tujuh rumah kecil) yang beratap, berdidinding dan bertiang bambu. Pada saat mereka melakukan pertapaan, turunlah cahaya ke arah Kare Bisampole dan terdengar suara, “apa yang engkau cari dalam cuaca dingin seperti ini.”

Lalu Kare Bisampole menjelaskan maksud kedatangannya untuk mencari orang yang tepat memimpin mereka semua, agar tidak lagi terpisah-pisah. Lalu suara itu kembali terdengar, “besok datanglah ke suatu tempat permandian yang terbuat dari bambu.”

Kantor Asisten Residen di Bantaeng, tahun 1900. Foto: Tropenmuseum.

Keesokan harinya mereka mencari dan menemukan tempat yang dimaksud di daerah Onto. Di tempat itu mereka menjumpai seorang laki-laki sedang mandi. Lelaki itu tidak diketahui nama dan asal-usulnya sehingga dia disebut dengan To Manurunga ri Onto.”

Lalu ketujuh Kare menyampaikan tujuannya untuk mencari pemimpin, sekaligus meminta To Manurung untuk memimpin mereka. To Manurung menyatakan kesediaannya, ditandai dengan kontrak sosial atau perjanjian di antara mereka.

Baca juga: Konsep Kepemimpinan To Manurung Pada Masyarakat Sulawesi Selatan

Maka jadilah To Manurung ri Onto ini sebagai raja bagi mereka semua. Pada saat ia memandang ke segala penjuru maka daerah yang tadinya laut berubah menjadi daratan. To Manurung ini sendiri lalu menikah dengan gadis Onto yang dijuluki Dampang Onto.

Setelah itu mereka berangkat ke arah yang sekarang disebut Gamacayya. Di satu tempat mereka bernaung di bawah pohon lalu bertanyalah To Manurung perihal nama pohon yang mereka tempati untuk berteduh.

Dijawab oleh Kare Bisampole bahwa itu adalah pohon taeng (terap atau teureup/Artocarpus Elasticus) sambil memandang kearah enam kare yang lain. Serentak kenam kare yang lain menyatakan Ba’ (tanda membenarkan dalam bahasa setempat). Dari sinilah kemudian muncul kata Bantaeng.

2 Komentar

Tuliskan Komentar