Huamual terletak dekat dari Kota Ambon, Huamual dicita-citakan sebagai sebuah imperium baru satelit utama dan bandar internasional. Huamual kemudian diubah menjadi bandar perdagangan dan lumbung ekonomi terbesar di selatan selain Banda dan Hitu.
Salah satu hal yang menarik untuk dikaji dari kerajaan ini yaitu peristiwa Perang Ambon, sebuah peperangan besar yang pernah terjadi antara masyarakata Huamual, Ambon, serta dibantu oleh Makassar melawan Belanda atau VOC. Perang itu kemudian dikenal dengan nama perang Huamual atau perang Ambon yang terjadi antara tahun 1651 sampai tahun 1656.
Baca juga: Rumitnya Perang Buton-Belanda (1637-1638)
Perang Huamual dipicu oleh pembunuhan terhadap saudara perempuan Capitein Ferheijden yang terjadi di Benteng Wanthrouw, Manipa pada 1651 akibat pembunuhan tersebut, seluruh negeri-negeri di Huamual diserang kemudian di bakar oleh VOC.
Tetapi secara garis besar, perang Huamual dilatar belakangi oleh ketamakan VOC mengendalikan harga cengkih sehingga terjadi monopoli perdagangan cengkih. Hal tersebut memicu kemarahan rakyat Huamual sampai sejumlah gejolak yang digerakan akibat ketidakadilan terhadap rakyat Huamual meletus menjadi perlawanan rakyat Huamual.
Gubernur Van Diemen serta Gubernur Jan Pietersz Coen dan terakhir Gubernur Arnold de Vlamingh van Oudshoorn pada periode (1955-1660) merupakan Gubernur VOC yang mengakibatkan 50 ribu orang tewas, hancurnya kehidupan masyarakat di Maluku khususnya di Huamual, para Gubernur itu menggunakan kekerasan untuk mengamankan monopoli perdagangan rempah-rempah dimaluku sekaligus menyingkirkan kompetitornya, Inggris.
Baca juga: 2 Tokoh yang Mengabdi Pada VOC, Namun Mati di Tangan VOC
Penduduk pulau Banda dan Huamual (dua daerah yang hancur lebur) di Maluku penduduknya dilakuakan secara kejam, banyak penduduk diperbudak dan bahkan dideportasi, desa-desa mereka dibumi hanguskan, penduduk kehilangan mata pencaharian mereka dan banyak dibiarkan memilih anatara pindah dari tanah airnya atau dibunuh dan akhirnya mati kelaparan.
Tahun 1651, setelah periode pembumihangusan, pemberontakan baru terhadap Belanda pecah dimaluku. Untuk melindungi monopoli perdagangan cengkih, VOC memberlakukan pembatasan penanaman pohon cengkih.
Pemimpin Huamual, Madjira (1651-1656), Kimalaha Huamual yang diangkat menjadi kimalaha yang berpusat di Huamual, menolak menghancurkan bagian dari perkebunan cengkih yang masih muda milik rakyat Huamual. Majidra juga senang menjual cengkih kepada pedagang Asia, Sulawesi dan Jawa ketimbang menjual cengkih dengan harga murah ke VOC.
Kapal Kora-kora yang digunakan oleh Belanda sedang melakukan pelayaran Hongi, kapal Kora-kora juga digunakan dalam peperangan Huamual. Foto: museumarnhem.nl |
Karena dipaksa oleh Belanda, Madjira kemudian melakukan perlawanan rakyat pada tahun 1651 hingga 1656. Perlawanan ini ditandai dengan penyerangan mendadak terhadap 8 kubu pertahanan VOC berukuran kecil dan pembantaian 150 orang yang tinggal di dalamnya oleh orang-orang Ambon dari Huamual dan pulau-pulau di sebelah baratnya, yang secara formal adalah wilayah vasal kesultanan Ternate.
Baca juga: Sejarah Perdagangan Biji Pala, Rempah-Rempah yang Mengubah Dunia
Pukulan balik secara spektakuler seperti itu jarang terjadi dalam sejarah militer VOC. Selama perang besar Ambon, pemimpin lokal pada vasal kesultanan Ternate tersebut dan sekutunya di Hoamoal serta di tempat lain memperoleh bantuan dari pihak-pihak pemberontak dari pusat kesultanan yang melarikan diri ke utara Pulau Ambon.
Selanjutnya, pada tahun 1653 dan 1654, koalisi itu diperkuat lagi dengan tambahan beberapa ribu orang dari Makassar. Setelah kekuatan bantuan dari Makassar tiba, pasukan anti VOC berkumpul kembali dan menjadikan Asahudi di pantai barat laut Huamual sebagai markas utama mereka.
Dari sana, orang-orang Makassar dan Huamual bergerak ke sisi timur semenanjung untuk mendirikan kubu pertahanan kedua yang baru di Laala, dekat perkebunan sagu yang rimbun. Pada tahun 1654, VOC mengepung kubu pertahanan Laala.
Hal ini butuh beberapa waktu lamanya, namun akhirnya pasukan VOC berkekuatan 800 orang dan ratusan orang Ambon dari pelayaran hongi, menaklukan Laala dalam pertempuran yang sangat dahsyat.
Baca juga: Perang Makassar dan Kerugian Besar Kesultanan Makassar
Mortir dan granat tangan membawa mimpi buruk bagi pasukan musuh. Setelah pertempuran berakhir, 700 orang Huamual dan Makassar tewas, sementara kelompok lain yang berjumlah lebih dari 400 orang, terutama wanita dan anak-anak dijadikan tawanan perang. Hanya 60 orang yang berhasil lolos.
Pada awal tahun 1655, VOC telah mendirikan banyak kubu pertahanan untuk membatasi gerak musuhnya, dan memusatkan perhatiannya ke kubu pertahanan di Asahudi. Artileri dari divisi East Indiamen digunakan untuk menghancurkan kapal-kapal musuh, yang berefek pada putusnya hubungan antar mereka.
Orang-orang Makassar dan Huamual kehabisan makanan dan moral mereka runtuh. Pada tanggal 29 Juli, pasukan VOC berkekuatan 700 tentara, 70 pelaut dan sekitar 800 orang Ambon kembali melancarkan serangan frontal ke kubu pertahanan utama di Asahudi. Sebelum serangan ini, pada sore hari sekelompok kecil prajurit telah memanjat tebing di belakang benteng utama musuh.
Baca juga: Inilah Lima Strategi Politik Adu Domba Belanda di Nusantara yang Sukses Memecah Belah
Serangan dilancarkan, didukung oleh tembakan dari kapal-kapal VOC. Melihat bahwa pasukan VOC telah menduduki tebing di atas kubu pertahanan, dan menjadikan posisi itu sebagai sasaran empuk untuk ditembak, orang-orang Makassar dan Huamual melarikan diri.
Dalam waktu empat jam, VOC telah merebut semua benteng di kubu pertahanan itu.
Pada minggu-minggu setelah jatuhnya kubu pertahanan Asahudi, satu-satunya benteng yang tersisa berada di pedalaman Hoamoal, yaitu di Kalike, juga direbut, yang pada saat itu jumlah korbannya cukup tinggi. Banyak penduduk Hoamoal dan penduduk dari pulau-pulau di sebelah baratnya, seperti Boano dan Kelang memohon pengampunan dan diampuni.
Sebagian yang coba melarikan diri ke Seram Utara, khususnya orang-orang Makassar diburu dan dibunuh. Hanya sekitar 250 orang Makassar dari total 1000 orang ditawan. Dengan tindakan ini berarti menandai berakhirnya perang besar Ambon, meski di Buru, aksi kekerasan masih berlanjut hingga tahun 1658.
Tuliskan Komentar