Kuno Sulsel

Masuknya Bangsa Belanda di Sulawesi Selatan

Tujuan Belanda datang ke Indonesia pertama untuk mendapatkan rempah-rempah yang berharga mahal di Eropa, perseroan Amsterdam mengirim armada kapal dagangnya yang pertama di bawah Cornelis de Houtman pada tahu 1595 terdiri dari 4 kapal, melihat keuntungan yang melimpah, banyak perseroan yang tertarik untuk berlayar ke Nusantara, pada tahun 1602 bergabung ke dalam satu organisasi VOC. (Nasaruddin Koro, Ayam Jantan Tanah Daeng, hal. 78).

Masuknya Bangsa Belanda ke Sulawesi Selatan.
Masuknya Belanda di Sulawesi pertama kali pada tahun 1607, ketika orang Belanda di bawah Laksamana Belanda Cornelis Matelijft berlabuh di sekitar selatan pantai Sulawesi, dekat kampung Tanahkeke, akan tetap tidak melakukan sesuatu dan terus ke Maluku, diperintahkannya kedua orang pegawainya pada tahun ini yaitu Vaulus van Dolt Jacquest Hermite singgah di Makassar untuk meminta Gowa agar tidak mengirim beras ke Malaka dan membuka pelabuhannya, tetapi Gowa tidak mematuhinya, selain itu juga melakukan pemeriksaan kantor dagang di Makassar.

Masuknya Belanda di Sulawesi, terutama di Makassar disambut baik, meski belum mendapat izin untuk menetap di daratan Makassar, lain halnya dengan bangsa asing lainnya seperti Inggris dan Portugis yang sudah diizinkan untuk tinggal, kepada orang Belanda dilarang menetap karena Makassar menaruh kecurigaan pada Belanda apalagi usaha gigih VOC untuk memonopoli perdagangan, proses penebangan pohon pada tahun 1625-1656 mencetuskan kekhawatiran dan perhatian.

Daya tarik dan pentingnya Makassar bagi Belanda tercermin pada catatan Belanda tertanggal 27 Oktober 1625 yang mengeluh atas persaingan orang-orang Denmark dan Inggris, laporan itu mengatakan:

“Sejak kita berlayar sekitar Malaka, kota Makassar telah berkembang pesat dan mengenai perdagangan di daerah timur ini, seperti Kalimantan, Solor, Jawa, Timor, Ambon, kepulauan Maluku dan tempat lainnya lokasi Makassar jauh lebih baik daripada Malaka.”

Secara garis besar antara Makassar dan Belanda telah menyulut peristiwa menuju perang, peristiwa-peristiwa tersebut digambarkan sebagai berikut:

Pertama. Peristiwa tahun 1636, Makassar memblokir kota Makassar, diakhiri dengan dicapainya perjanjian pada tahun 1637.

Kedua. Perang terbuka pada tahun 1655, ketika Makassar berusaha mengambil Buton dari tangan Belanda.

Ketiga. Peristiwa tahun 1660, ketika Belanda menyerang Makassar dan menduduki benteng Pannakukang , dan diakhiri dengan perjanjian damai tahun 1660.

Keempat. Perang pada tahun 1666, yang di kenal dengan perang Makassar, diakhiri dengan Perjanjian Bungaya pada tahun 1667.

Penyerangan terhadap Kerajaan Makassar oleh Belanda pada tahun 1666. Foto: academia.edu

Peristiwa pertama, kedua dan ketiga tidak banyak menggoncangkan Makassar, walau perjanjian mengandung tuntutan yang mengancamnya. Peristiwa terakhir yaitu Perang Makassar yang diakhiri dengan Perjanjian Bungaya mempunyai akibat besar terhadap kedudukan Makassar sebagai suatu kekuatan maritim yang banyak menggantungkan kemajuannya di laut, perjanjian ini mengakhiri posisi dan dominan Makassar dalam perdagangan dan politik di timur nusantara. (Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah, hal.56).

Dengan ditaklukkannya Kerajaan Gowa, maka Belanda dengan mudah bisa mengalahkan kerajaan-kerajaan lainnya yang ada di Sulawesi Selatan.

Sejarah masuknya Belanda ke wilayah Toraja.
Setelah berhasil menaklukkan hampir semua kerajaan di Sulawesi Selatan, pada bulan Maret 1906, pasukan Angkatan Perang Belanda (KNIL) di bawah Pimpinan Kapten Killian masuk ke wilayah Toraja, tepatnya di Rantepao, dengan tujuan melucuti dan mengumpulkan senjata api dari semua penguasa Toraja. Masuknya Belanda ke wilayah Toraja juga sekaligus menandakan Belanda hendak menuntaskan misi besar mereka menaklukkan seluruh wilayah kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan.

Sewaktu masuk ke dalam Kota Rantepao, komandan pasukan Belanda memerintahkan Pongtiku datang menghadap dan menyerahkan semua senjata yang dimilikinya. Pongtiku menolak. Alih-alih menyerah, Pongtiku malah ia menyiagakan semua benteng-bentengnya untuk menghadapi perang dengan pasukan Belanda. Tanggapan yang diberikan Pongtiku membuat Kapten Killian merasa khawatir. Killian menganggap Pongtiku telah membuat persiapan yang baik untuk berperang dengan pasukan Belanda. Oleh karenanya, pasukan Belanda baru mulai digerakkan ke Tondon, setelah satu bulan mempelajari keadaan di Toraja.

Pada bulan April, pasukan Belanda dikirim ke Tondon untuk memerangi Pongtiku. Pasukan ini mundur kembali ke Rantepao tanpa perlawanan yang berarti. Di bulan-bulan berikutnya, Belanda mulai melakukan perang terbuka dengan pasukan Pongtiku di berbagai wilayah utara Toraja. Tanggal 1 Juni 1906 Angkatan Perang Belanda di bawah Komando Kapten De Last yang melakukan tiga gelombang serangan terhadap Pongtiku di Benteng Buntu Asu. Semua serangan Belanda kandas di muka Benteng dengan menelan banyak korban. Angkatan Perang Belanda dipukul mundur dan dihalau kembali ke Rantepao.

Keberhasilan Pongtiku menahan gempuran pasukan Belanda tampaknya tidak terlepas kemampuan strategi serta semangat yang ia miliki. Pongtiku memiliki keuntungan dalam hal penguasaan medan tempur serta Ia bertahan dan menyerang musuhnya dari benteng-benteng yang jumlahnya 9 buah yang telah dipersiapkan sejak dini. Perang Pongtiku melawan Belanda bukanlah tindakan spontanitas akan tetapi adalah perang yang direncanakan dan dipersiapkan dengan matang.

Penaklukkan Toraja yang berjalan lambat akhirnya membuat berang Gubernur Jendral Hindia Belanda saat itu, Johannes Benedictus van Heutsz. Heutsz memerintahkan Gubernur Sulawesi yang juga mantan Pasifikator Van Aceh (Pengaman Aceh), Letjen Swart, untuk memimpin langsung perang terhadap Pongtiku di wilayah Toraja.

Setelah berbulan-bulan berperang, lewat beberapa kali pertempuran, pasukan Belanda tampaknya perlahan-lahan mulai berhasil memasuki wilayah Pongtiku di Pangala’. Belanda terus menaklukkan semua benteng pertahanan Pongtiku. Pongtiku akhirnya mengambil posisi bertahan di Benteng Batu di Baruppu’.

Pong Tiku. Foto: tokoh.id

Walau dengan teknologi yang terbatas, Pongtiku berhasil mempertahankan bentengnya selama berbulan-bulan. Belanda akhirnya menyadari bahwa peluru dan granat ternyata bukan hal yang mampu menaklukkan Pongtiku dan pasukannya, apalagi memadamkan semangat juang mereka. Keberhasilan Pongtiku menahan gempuran pasukan Belanda selama berbulan-bulan tampaknya tidak terlepas kemampuan strategi serta semangat yang ia miliki. Pongtiku memiliki keuntungan dalam hal penguasaan medan tempur serta posisi bertahan yang lebih menguntungkan.

Setelah mengepung Pongtiku selama 4 bulan(Juli s/d Oktober 1906), Belanda menyadari mereka berperang bukan dengan orang yang berperang dengan sembarangan tanpa strategi. Pongtiku dipastikan telah mempersiapkan 9 bentengnya sejak dini. Pongtiku berperang dengan perencanaan dan persiapan yang matang. Belanda mulai memikirkan taktik lain untuk mengalahkan Pongtiku dan pasukannya.

Peperangan frontal telah nyata menunjukkan Pongtiku adalah lawan yang sulit untuk dikalahkan. Belanda menyadari mereka perlu kembali menggunakan akal bulus lainnya. Taktik penjebakan untuk Pongtiku mulai dipersiapkan. Ini adalah taktik klasik Belanda yang juga digunakan terhadap Pangeran Diponegoro, yaitu menawarkan perundingan.

Pada tanggal 26 Oktober 1906 Belanda mengutus Andi Guru, penguasa Sidenreng, dan Tandi Bunna’, bekas pemimpin pasukan Pongtiku, untuk menawarkan gencatan senjata kepada Pongtiku. Walau pada awalnya Pongtiku menolak, Pongtiku akhirnya mendengarkan nasihat dari orang-orang di kampungnya untuk mengingat kematian ibunya yang terjadi saat pengepungan.

Tiga hari kemudian, Pongtiku mengalah karena ia merasa harus mengadakan upacara untuk pemakaman ibunya terlebih dahulu. Belanda masuk, mengambil alih benteng, menahan semua senjata dan menangkap Pongtiku pada tanggal 30 Oktober 2006. Belanda menggiring Pongtiku dan pasukannya ke Tondon.

Di Tondon, Belanda membatasi gerak-gerik Pongtiku yang sedang mempersiapkan Upacara Pemakaman ibunya menurut adat Toraja. Persiapan upacara pemakaman yang memakan waktu berbulan-bulan ini ternyata juga digunakan Pongtiku untuk mengumpulkan kembali senjata lewat orang-orang kepercayaannya dan juga sekaligus untuk menjalin komunikasi dengan beberapa benteng perlawanan lainnya di Toraja.

Januari 1907, di malam sebelum acara pemakaman orang tuanya, Pongtiku dengan sejumlah pasukan melarikan diri ke arah selatan. Pongtiku akhirnya mengetahui bahwa ia dan pasukannya diikuti oleh pasukan Belanda. Ia meminta pasukannya untuk kembali ke Tondon. Pongtiku sendiri terus melanjutkan perjalanannya bersama lima belas orang lainnya ke Benteng Ambeso yang dipimpin oleh Bombing dan Ua’ Saruran. Beberapa hari kemudian, Benteng Ambeso jatuh ke tangan Belanda.

Pongtiku dan rombongannya keluar dari Benteng Ambeso dan pergi ke Benteng Alla. Maret 1907, Benteng Alla ditaklukkan Belanda. Kali ini Pongtiku dan rombongannya terpaksa kembali ke daerah Tondon. Mengingat semua benteng perlindungan telah jatuh ke tangan Belanda, Pongtiku menetap di hutan di sekitar wilayah Tondon.

Pada tanggal 30 Juni 1907, dengan petunjuk mata-mata Belanda, Pongtiku tertangkap lalu di bawa ke Rantepao. Setelah beberapa hari di penjara, pada tanggal 10 Juli 1907, Pongtiku dieksekusi dan gugur sebagai pahlawan Toraja di pinggir Sungai Sa’dan, tepatnya di tempat dimana Tugu Peringatan baginya didirikan di Singki’, Rantepao.

Tuliskan Komentar