Barru Raya Modern Sulsel

Tempo Gurilla: Masa Pemberontakan DI/TII di Wilayah Barru

Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) merupakan salah satu badan perjuangan yang pernah di bentuk di Sulawesi untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia selama masa revolusi fisik berlangsung. Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, banyak badan perjuangan yang semacam ini dibubarkan atau dilebur ke dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, tidak terkecuali dengan KGSS.

Namun, pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan anggotanya disalurkan ke masyarakat. Ternyata Kahar Muzakkar menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan dalam satu brigade yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah pimpinannya.

Tuntutan itu ditolak karena banyak di antara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakkar beserta para pengikutnya lebih memilih melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan.

Kahar Muzakkar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia (TII) dan menyatakan sebagai bagian dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dideklarasikan oleh Kartosuwiryo di Jawa Barat pada tanggal 7 Agustus 1953. Sejak saat itu, kahar Muzakkar dengan seluruh pasukan KGSS melarikan diri ke hutan dan melakukan aksi gerilya di Sulawesi.

Baca juga: Riwayat Perjuangan Laskar Gerakan Pemuda Tanete

Gerakan DI/TII di bawah pimpinan Kahar Muzakkar terjadi hampir di seluruh Sulawesi Selatan dan Tenggara, tidak terkecuali di daerah-daerah yang kini menjadi Kabupaten Barru. Dalam laporan pemerintah setempat, kelompok gerakan DI/TII sering disebut gerakan gerombolan, bahkan penduduk Sulawesi Selatan punya penyebutan sendiri, kelompok gerombolan ini disebut Gurilla atau Gorilla dan masa berlangsungnya kekacauan ini akibat DI/TII disebut dengan Tempo Gurilla.

Gurilla sendiri diduga merupakan bentuk pelafalan kata orang Bugis untuk kata gerilya, jadi bukan gorilla hewan primata.

Khusus untuk di wilayah Barru, tempat persembunyian para gerombolan tersebar di bagian timur Barru, terutama di wilayah Tanete. Hal ini dikarenakan posisi daerah ini berbukit-bukit dan bergunung serta ditumbuhi hutan lebat sehingga merupakan tempat strategis untuk bersembunyi.

Berdasarkan sumber dari arsip Barru No. Reg 243 bahwa, diterima laporan Pangara Pattappa (Abd. Hae Dg Pagiling) di mana pada tanggal 14 September 1952 gerombolan gerilya telah bertempat di kampung Alekale dan Barang serta hendak mendirikan kamp di tempat itu.

Para gerombolan melarang penduduk meninggalkan kampung dengan alasan dikhawatirkan akan memerikan laporan kepada pemerintah. Aktivitas yang dilakukan gerombolan itu salah satunya menyita hasil panen masyarakat. Akibatnya penduduk kekurangan dan tentu dengan sendirinya pegawai pemerintah yang berada di dalam kekuasaan gerombolan itu sudah tidak berdaya lagi menjalankan tugasnya.

Baca juga: Perjuangan Abdul Karim di Barru Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia

Keadaan ini terus berlanjut hingga tahun 1954 di mana hampir semua kampung diduduki oleh para gerombolan. Berdasarkan arsip Barru No. Reg 274, tempat kedudukan gerombolan pada tahun 1954 banyak bergiat di distrik Gattareng-Pattappa dan Lompo Riaja, di antaranya di kampung Doi-Doi, Pettung, Parenring, Ralla, Watu, Lisu, Bellayanging, Jempulu, Mare-mare, dan Gattareng.

Sejak Januari 1954, gerombolan memperlihatkan aktivitasnya, di antaranya, membakar rumah penduduk dan menggiring mereka ke hutan, jembatan dan bangunan dirusak, makanan sehari-hari dilokoord, dan pipa air minum dirusak pula (Arsip rahasia Sulsel No. Reg 515).

Jenderal M. Jusuf ketika bertemu dengan pimpinan DI/TII Kahar Muzakkar. Foto: liputan6.com

Mengenai gerakan dan tindakan gerombolan di daerah-daerah tersebut, para kepala kampunglah yang dijadikan alat untuk mengumpulkan bahan makanan mereka. Kegiatan para gerombolan ternyata tidak hanya berpusat di pegunungan, mereka juga terang-terangan memasuki wilayah perkotaan untuk mengambil bea-bea di pasar. Selain itu tiap-tiap rumah juga diwajibkan untuk memeri beras lima liter setiap ulannya. (arsip Barru No. Reg 189).

Sebagian dari kepala kampung tersebut dengan keadaan terpaksa memenuhi permintaan para gerombolan, tetapi bagi yang menolak akan dipanggil oleh gerombolan kemudian memaksa mengajaknya untuk bersama-sama berkeliling kampung untuk meminta sokongan.

Aktivitas lainnya yang dilakukan oleh gerombolan yaitu menyita pajak yang akan disetor ke kas swapraja. Hal ini tentu saja menghawatirkan para pemerintah swapraja di Barru. Oleh karena itu, salah seorang pejabat swapraja, yaitu Andi Iskandar Unru yang menjabat di Tanete mengeluarkan surat kilat No.  1/1/1956 tanggal 22 Januari 1956 yang menghimbau kepada masyarakat untuk memberlakukan jam malam.

Baca juga: Swapraja Tanete-Barru Pada Masa Pemerintahan Andi Iskandar Unru

Selain pemerintah swapraja Tanete yang mengeluarkan surat kilat, Komandan Komando Sub Sector I Vak “E” RI-23/VII juga mengeluarkan instruksi pada tanggal 5 Februari 19566. Instruksi tersebut dikeluarkan setelah melihat keadaan keamanan semakin kacau, pembakaran rumah-rumah oleh gerombolan semakin meningkat. Tercatat pada tahun 1956, jumlah rumah yang tercatat di salah satu kampung yang bernama Butung mencapai 183 rumah (arsip Barru No. Reg 187).

Pada tahun 1956, sekitar 400 rumah penduduk Tanete dibakar oleh gerombolan, bangunan makam Petta Pallase-Lase’e juga dirusak karena dianggapnya sebagai tempat berhala. Tindakan itu menyebabkan Andi Iskandar Unru menulis surat permohonan kepada residen Koordinator Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Februari 1956 untuk tidak mengikuti penataran pamong praja.

Selain itu juga, Andi Iskandar Unru membatalkan niatnya untuk menunaikan ibadah Haji. Sikap itu dilaksanakannya karena memandang bertanggungjawab sebagai putra daerah untuk melindungi rakyatnya dari ancaman gerombolan dan tindakan sejumlah perorangan yang memanfaatkan kesempatan itu untuk mendapatkan keuntungan.

Karena hal itulah, komandan komando Vak “E” RI-23/VII menginstruksikan kepada kepala swapraja Tanete untuk memasang penerangan di beberapa tempat yang rawan pada malam hari. (arsip Barru No. Reg 168).

Dengan segala kekuatan yang dimiliki oleh tentara nasional Indonesia, tidak segan dan ragu melakukan operasi pembersihan anggota gerombolan, sehingga sejak bulan Maret 1956 banyak anggota gerombolan yang tertangkap atau meninggal, salah satunya Andi Tenriadjeng anak buah Kahar Muzakkar yang dikabarkan tewas dalam pertempuran.

Baca juga: Tanete-Barru Pada Masa Pemerintahan Andi Baso Paddippung

Personil militer kemudian banyak ditempatkan di Barru untuk berjaga-jaga dan memberantas para gerombolan, salah satunya di daerah Ralla, penempatan tersebut didasarkan pada anggapan bahwa dengan menempatkan pasukan di sana, maka akan banyak keuntungan yang didapatkan. Di antaranya hasil bumi, sawah, dan bea-bea pasar yang sejak lima tahun terakhir dikuasai oleh para gerombolan kini mulai dikerjakan atau diambil alih kembali oleh masyarakat, serta perhubungan lalu lintas Pekkae-Ralla ke Soppeng kembali lancar. (arsip Barru No. Reg 168).

Ketakutan dan penderitaan rakyat sesungguhnya tidak seluruhnya akibat gerakan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar, tetapi juga oleh aktivitas organisasi bersenjata yang dibentuk untuk melindungi rakyat dari gerombolan. Hal ini tampak dalam laporan rahasia Ketua Dewan Pemerintah Swapraja Tanete, Andi Iskandar Unru tahun 1957 kepada penguasa militer c.q Komandan Kompi RI. XXIII.

Dalam laporan itu diungkapkan bahwa di Tanete telah bergiat empat organisasi bersenjata yaitu OPD/TBD Tanete, OPD/TBD Pancana, Combat Troepen Haji Muh. Jaharuddin, dan Combat Troepen Andi Sede. Organisasi bersenjata tersebut dibentuk dengan tujuan dapat melindungi rakyat dari ancaman gerombolan, namun pada kenyataan menimbulkan banyak persoalan.

Pada Tanggal 3 Februari1965, Kahar Muzakkar tertembak mati oleh pasukan ABRI (TNI-POLRI) dalam sebuah baku tembak di Sulawesi Tenggara yang mengakhiri gerilyanya di Sulawesi, termasuk pengaruhnya di Barru.

Rujukan:
                    Asba, Rasyid. 2010. Gerakan Sosial Di Tanah Bugis, Raja Tanete Lapatau Menentang Belanda. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
                    Pawiloy, Sarita. 1987. Arus Revolusi 45 di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Provinsi Sulawesi Selatan Masa Bakti 1985-1989.
                    Usman, Asriyani. 2005. Swapraja Tanete-Barru Pada Masa Pemerintahan Andi Iskandar Oenroe (1950-1960). Skripsi. Makassar: Universitas Negeri Makassar.
                    Walinono, Hasan. 1979. Tanete, Suatu Studi Sosiologi Politik. Disertasi. Makassar: UNHAS.

Tuliskan Komentar