Kuno Nasional Sulsel Tokoh

5 Bangsawan Makassar yang Menolak Menyerah Pada Perang Makassar

Perang Makassar merupakan perang yang terjadi antara Kesultanan Gowa bersama sekutu-sekutunya yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin melawan Belanda (VOC) yang dipimpin oleh Cornelis Janzon Speelman bersama sekutunya Kerajaan Bone yang dipimpin oleh Arung Palakka.

Perang ini dimulai pada tahun 1666 dan berakhir pada tahun 1667 yang ditandai dengan ditandatanganinya Perjanjian Bungaya. Perjanjian ini bisa dianggap sebagai deklarasi kekalahan Kesultanan Gowa. Meskipun Kesultanan Gowa dianggap merupakan pihak yang kalah, namun banyak pembesar-pembesar kerajaan atau bangsawan Makassar yang menolak menyerah.

Mereka tetap melakukan perlawanan terhadap VOC, bahkan beberapa di antara mereka memilih meninggalkan Sulawesi dan membantu perlawanan kerajaan-kerajaan lain untuk menghadapi VOC. Berikut ini merupakan lima bangsawan Gowa yang menolak menyerah pada Perang Makassar.

Lukisan Perang Makassar. Foto: alpkb.com

1. Karaeng Karunrung
Bangsawan Makassar menolak menyerah yang pertama adalah Karaeng Karunrung. Karaeng Karunrung, penasihat sekaligus Mangkubumi Kerajaan Gowa, menentang keputusan Sultan Hasanuddin yang menandatangani perjanjian damai Bongaya dengan Belanda pada 18 November 1667. Karaeng Karunrung memilih terus berjuang.

Karaeng Karunrung yang bermukim di Bontala, mempersiapkan diri. Pada 21 April 1668 pecahlah kembali perang. Pasukannya dengan cerdik menembus beberapa blokade pasukan dan menuju benteng Rotterdam yang telah dikuasi VOC.

Baca juga: Belanda Sekarat di Dalam Benteng Rotterdam

Aksi-aksi penyerangan Karunrung membuat pasukan Belanda dan sekutunya Arung Palakka dari Kerajaan Bone, kelimpungan. Sementara benteng-benteng yang dalam perjanjian Bongaya harus dihancurkan, malah diperkuat kembali oleh Karaeng Karunrung.

Serangan kedua pada 5 Agustus 1668, pasukan Makassar membuat gerakan pancingan yang menyusup ke Fort Rotterdam. Namun, Arung Palakka meyergapnya. Pasukan Makassar mundur teratur, dan terus dikejar pasukan Arung Palakka.

Arung Palakka yang merasa sudah memukul mundur pasukan Karunrung, tiba-tiba di suatu titik dikepung oleh pasukan Makassar yang muncul dari persembunyian. Keadaan berbalik. Pasukan Arung Palakka terdesak.

Berikutnya, serangan serempak terjadi pada 12 Agustus 1668. Namun, karena terburu nafsu dan perhitungan tidak begitu tepat, serangan itu tak mencapai sasaran. Akibatnya, 27 pucuk meriam jatuh ke tangan Belanda.

Speelman kemudian menghimpun kekuatan untuk menggali parit-parit menuju benteng Somba Opu, tempat bermukim Sultan Hasanuddin. Speelman merencanakan penyerangan secara penuh ke benteng Somba Opu sembari menunggu bantuan dari Batavia.

Baca juga: Benteng Somba Opu, Pertahanan Terakhir Kesultanan Gowa

Pada April 1669, meriam-meriam bersakala ledak besar diarahkan ke Somba Opu. Saat bantuan mulai berdatangan, pada 15 Juni 1669, Speelman mengibarkan bendera merah untuk melakukan serangan total terhadap Benteng Somba Opu.

Sepuluh hari kemudian, pada 24 Juni 1669 Speelman barhasil mengambilalih secara penuh Somba Opu. Akhirnya, Karunrung mengakui kekalahan. Perjanjian damai abadi diadakan di Batavia pada 20 Desember 1669. Delegasi dari Gowa antara lain I Mappasomba mewakili Sultan Hasanuddin dengan 140 pengikutnya, dan Karunrung diwakili putranya.

2. Karaeng Galesong
Bangsawan Makassar menolak menyerah yang kedua adalah Karaeng Galesong. Karaeng Galesong, bernama lengkap I Maninrori I Kare Tojeng Karaeng Galesong, ia lahir di Bonto Majannang, Bantaeng, Sulawesi Selatan pada tanggal 29 Maret 1655. Karaeng Galesong adalah seorang laksamana angkatan laut Kerajaan Gowa yang terus melakukan peperangan di laut melawan VOC bahkan setelah Perjanjian Bongaya ditandatangani Sultan Hasanuddin.

Dipercaya bahwa Karaeng Galesong adalah pangeran putra dari Sultan Hasanudin itu sendiri dari permaisurinya yang ke 4. Setelah kekalahan Kerajaan Gowa dari VOC yang bersekutu dengan Kerajaan Bone, Setelah perjanjian Bongaya, dalam dokumem lontara Karaeng Galesong berpendapat, “Yang menyerah hanya Raja Gowa, itu tidak berarti peperangan harus berakhir.”

Jadi Karaeng Galesong bersama adiknya I Fatimah Daeng Takontu dan rekannya Karaeng Bontomarannu masih terus berperang dilaut terutama sekitar perairan Pulau Jawa dengan membantu perlawanan Trunojoyo dan Sultan Ageng Tirtayasa. Karaeng Galesong meninggal karena sakit di Ngantang, Malang, Jawa Timur pada tanggal 21 November 1679, sebelum Trunojoyo menyerah. Ia kemudian dimakamkan di Ngantang.

Pintu gerbang menuju makam Karaeng Galesong di Malang, Jawa Timur. Foto: malang.merdeka.com

3. I Fatimah Daeng Takontu
Bangsawan Makassar menolak menyerah yang ketiga adalah I Fatimah Daeng Takontu. I Fatimah Daeng Takontu lahir pada 10 September 1659 adalah putri tunggal hasil perkawinan Raja Gowa Sultan Hasanuddin dengan gadis bangsawan dari Sanrobone I Daeng Takele. Jika sang ayah mendapat gelar “ayam jantan dari timur” maka seorang penyair Belanda memberi julukan “Garuda betina dai timur” kepada Fatimah.

Julukan itu dberikan karena keperkasaan Fatimah dalam memimpin pasukannya dalam setiap peperangan. I Fatimah diberi kepercayaan oleh ayahnya untuk memimpin pasukan srikandi, namanya pasukan Balira. Setiap menghadapi pertempuran, pasukan balira ini juga selalu diikutkan. Mereka selalu dikawal oleh pasukan Tubarani yang didominasi kaum lelaki.

Baca juga: Inilah Lima Strategi Politik Adu Domba Belanda di Nusantara yang Sukses Memecah Belah

Ditandatanganinya Perjanjian Bungaya pada tahun 1667 tidak menghentikan langkah I Fatimah Daeng Takontu bersama kakaknya Karaeng Galesong untuk terus berperang. Mereka bertekad ke tanah Jawa untuk melanjutkan perjuangan Raja Banten Sultan Agung Tirtajasa dan Raja Mataram Raden Trunojoyo.

Kedatangan orang-orang dari Makassar ini mendapat sambutan hangat dari Sultan Banten. Pasukan dari Makassar ini kemudian bergabung dengan pasukan Banten. Kiprah I Fatimah bersama pasukan Balira tidak hanya di Banten, ia juga ikut membantu Kerajaan Mataram bersama kakaknya Karaeng Galesong.

Baik pasukan Tubarani pimpinan Karaeng Galesong maupun pasukan Balira pimpinan I Fatimah, semuanya sudah dilengkapi dengan persenjataan. Di Mataram terjadi pertempuran antara pasukan Belanda yang didukung oleh pasukan Sultan Amangkurat II dan pasukan Arung Palakka dari Bone melawan pasukan gabungan Trunojoyo, Karaeng Galesong dan Bontomarannu.

Karena terdesak, akhirnya pasukan Gowa mundur. Karaeng Galesong jatuh sakit dan wafat pada 22 November 1679 dan dimakamkan di desa Sumber Agung, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang. I Fatimah mencari tempat perlindungan yang aman, selanjunya melanjutnya perjalanan ke Banten.

I Fatimah kemudian menikah dengan anak Sultan Banten yaitu Maulana Hasanuddin. I Fatimah dan suaminya Maulana juga ikut bergerilya di hutan-hutan. Di lokasi persembunyian, Belanda melakukan serangan mendadak hingga pasukan I Fatimah kocar kacir dan menyebabkan I Fatimah dan Maulana terpisah.

Baca juga: Panggung Sejarah Penguasa Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa

I Fatimah melarikan diri ke Kerajaan Mempawa, Kalimantan Barat. I Fatimah wafat dan dikuburkan di Pulau Tumaju, salah satu pulau di Mempawa Kalimantan Barat.

4. Daeng Mangalle
Daeng Mangalle merupakan salah seorang bangsawan dari Makassar. Setelah kerajaan Gowa kalah dari VOC pada Perang Makassar (1666-1667), Daeng Mangalle bersama 250 pengikutnya meninggalkan Makassar dan merantau sampai ke Ayutthaya (sekarang Thailand) pada tahun 1674.

Raja Phra Narai menampung Daeng Mangalle, seperti umumnya para bangsawan asal Bugis-Makassar segera membuktikan kepiawaian sebagai prajurit profesional di Asia Tenggara. Sayang, Daeng Mangalle terlibat konflik dengan penguasa lokal. Ia dituduh akan melakukan pemberontakan bersama orang Champa dan orang Melayu.

Terjadilah pemberontakan Makassar pada akhir 1686 antara koalisi Daeng Mangalle, pangeran lokal, pemukim Champa, Melayu, dan Persia melawan pasukan Kerajaan Siam yang dibantu serdadu Eropa.

Para pemberontak itu khawatir akan diperbudak oleh raja yang merasa semakin kuat dengan datangnya pasukan baru. Raja Phra Narai mengetahui persekongkolan itu. Ia lalu meminta Daeng Mangalle agar meminta maaf. Namun permintaan itu ditolak Daeng Mangalle.

Raja lalu memerintahkan sekutunya orang Prancis, Claude de Corbin untuk mengepung orang Makassar. Pertempuran pertama dimulai ketika 40 orang Makassar menghadapi ratusan serdadu Perancis dan Portugis.

Corbin mencatat bahwa orang Makassar tak mau kalah. Mereka menyerang dan mengejar pasukan Perancis dan Portugis yang saat itu juga hendak  membantai perempuan dan anak-anak.

Enam orang Makassar menyerang pagoda dan membunuh beberapa prajurit serta biarawan di sana. Sebanyak 366 orang prajurit Perancis ditewaskan oleh enam orang Makassar.

Baca juga: Kisah Pemberontakan Orang-Orang Makassar di Ayutthaya

Masih dalam catatan Corbin, pada tanggal 23 September 1686, Raja Siam memerintahkan serangan besar ke perkampungan orang Makassar. Mereka hendak membumihanguskan kampung dan membunuh mereka.

Warga Makassar menghadapinya dengan semangat siri, keyakinan untuk membela kehormatan sampai titik darah penghabisan. Karena kalah dalam hal jumlah pasukan, orang Makassar akhirnya takluk. Daeng Mangalle sendiri terluka lalu tewas akibat lima tusukan tombak. Penduduk Siam sangat mengagumi keberanian orang Makassar yang menghadapi ribuan tentara dengan hanya 250 orang.

Antropolog Perancis Christian Pelras dalam majalah Archipel pada tahun 1997, menuturkan kisah lain seusai pemberontakan orang Makassar. Katanya, dua bangsawan muda Makassar yang tersisa di Siam lalu dibawa ke Perancis pada masa pemerintahan Louis XIV, mereka adalah Daeng Ruru dan Daeng Tulolo.

Dua orang itu lalu menjadi anggota legiun pasukan Perancis. Mereka menjadi prajurit hebat. Seorang diantaranya menjadi pasukan angkatan laut Perancis yang diberi gelar Louis Dauphin Makassar.

5. Syekh Yusuf
Bangsawan Makassar menolak menyerah yang terakhir adalah Syekh Yusuf. Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani, ia juga digelari Tuanta Salamaka ri Gowa (“tuan guru penyelamat kita dari Gowa”) oleh pendukungnya di kalangan rakyat Sulawesi Selatan. Syekh Yusuf lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, pada tanggal 3 Juli 1626.

Syekh Yusuf. Foto: id.wikipedia.org

Ketika Kesultanan Gowa mengalami kalah perang terhadap Belanda, Syekh Yusuf pindah ke Banten dan diangkat menjadi mufti di sana. Pada periode ini Kesultanan Banten menjadi pusat pendidikan agama Islam, dan Syekh Yusuf memiliki murid dari berbagai daerah, termasuk 400 orang asal Makassar yang dipimpin oleh Ali Karaeng Bisai.

Ketika pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda tahun 1682, Syekh Yusuf ditangkap dan diasingkan ke Srilanka pada bulan September 1684. Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan.

Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, sehingga akhirnya oleh Belanda, ia diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, Afrika Selatan, pada bulan Juli 1693.

Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf tetap berdakwah, dan memiliki banyak pengikut. Ketika ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699, pengikutnya menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan.

Tuliskan Komentar