Kuno Sulsel

Seperti Apa Ritual Pemakaman Orang Bugis dan Makassar Pada Masa Pra-Islam?

Ritual pemakaman pra-Islam pada masyarakat Bugis yaitu dikremasi dan abunya dikubur, sementara masyarakat Makassar menyimpan jasat di atas rumah tanpa menguburkannya.

Bagi hampir semua suku bangsa di Indonesia, kematian adalah momen yang sangat besar. Seperti halnya kelahiran atau pernikahan, kematian juga harus disambut dengan acara besar meski pun itu acara duka cita.

Pelaksanaan upacara ini dilakukan untuk menghormati orang yang telah tiada itu dengan baik atau untuk mencegah kesialan kalau jenazah tidak diperlakukan dengan baik.

Masing-masing suku bangsa di Indonesia memiliki tradisi pemakaman yang berbeda-beda, salah satunya di wilayah Sulawesi Selatan yang terdiri dari beberapa suku yang berbeda seperti Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja.

Di masa sekarang prosesi pemakaman masyarakat di Sulawesi Selatan, terutama masyarakat Bugis dan Makassar sebagian besar menggunakan tata cara pemakaman menurut agama Islam.

Baca juga: Inilah Tiga Datu yang Menyebarkan Agama Islam di Sulawesi Selatan

Namun, pernah kah kita berpikir, seperti apa ritual pemakaman orang Bugis dan Makassar pada masa pra-islam atau sebelum agama Islam berkembang di Sulawesi Selatan?

Praktek pemakaman orang-orang Bugis dan Makassar dimasa pra-Islam ternyata sangat berbeda dengan tata cara pemakaman di masa sekarang, seperti yang dituliskan dalam catatan Diogo De Cauto, seorang sejarawan Portugis.

Dalam catatan De Cauto dikatakan bahwa masyarakat Bugis dan Makassar memiliki ritual pemakaman yang berbeda pada masa agama Islam belum dipeluk kebanyakan orang Sulawesi Selatan.

Di masa dahulu, banyak masyarakay Bugis yang tidak menguburkan jasat secara langsung, melainkan dengan melakukan kremasi atau pembakaran. Seorang yang meninggal jasatnya akan dibakar layaknya kremasi jenazah pada agama Hindu.

Baca juga: Mengapa Syekh Yusuf Al-Makassari Punya Banyak Makam?

Ritual pemakaman dengan cara dikremasi
Prosesi kremasi jenazah. Foto: laits.utexas.edu

Setelah proses kremasi selesai, abu sisa pembakarannya kemudian dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam sebuah guci. Guci ini tidak dilarung seperta pada agama Hindu, tetapi guci yang berisi abu kremasi itu akan dikubur pada tempat terpisah.

Tempat penguburan guci itu selanjutnya akan diletakkan persembahan yang diatur sedemikian rupa. Persembahan itu berupa hal-hal kesukaan semasa hidup orang yang dikuburkan, contohnya seperti barang atau makanan kesukaan.

Berbeda dengan tata cara pemakaman orang Bugis, orang Makassar memiliki tata cara pemakaman tersendiri ketika seseorang meninggal.

Baca juga: Gara-Gara Kentut Berujung Maut

Dalam tradisi sebagian masyarakat Makassar, sebelum pemakaman orang berdasarkan tata cara ajaran agama Islam, orang yang meninggal tidak dikremasi ataupun dikuburkan, melainkan tetap disimpan di atas rumah.

Apabila salah seorang dari keluarga meninggal dunia, jasatnya akan tetap disimpan di rumah selama kurang lebih tiga bulan, hampir mirip dengan tradisi menyimpan jasat di Toraja dan di Suku Dayak di Kalimantan. Jasat itu akan dimasukkan ke dalam peti mati yang terbuat dari kayu.

Peti mati itu kemudian disimpan di atas rumah dan diletakkan pada tempat yang terbuat dari kayu besar yang disebut katafalk (podium/panggung untuk peti mayat) tertutup.

Katafalk, tempat menyimpan jasat di dalam rumah saat ritual pemakaman
Litografi katafalk, tempat untuk menyimpan jasat di dalam rumah. Foto: Tropen Museum.

Baca juga: Situs Pemakaman Londa di Toraja

Di atas peti mati itu diletakkan atau ditutupi kain seperti sutra, kain patola, dan kain halus lainnya yang terkadang memiliki benang emas sesuai status sosial dan kekayaan orang yang dimakamkan.

Karena sebagian besar rumah di Sulawesi Selatan berupa rumah panggung yang tinggi, dari peti mati itu dibuatkan saluran berupa pipa yang terbuat dari bambu, kemudian ujung bambunya diarahkan menuju ke kolong rumah (waso bola). Dengan cara seperti ini, aroma tidak sedep dari jasat tidak akan tercium di dalam rumah.

Jasat itu tetap dibiarkan berada di dalam peti mati sampai beberapa bulan, biasanya selama tiga bulan hingga jasatnya tersisa hanya berupa tulang belulang saja.

Tuliskan Komentar