Sulsel

Menenggak Sejarah Minuman Ballo

Ballo merupakan minuman khas dari Sulawesi Selatan. Minuman tradisional beralkohol ini telah mengakar dalam budaya orang Sulawesi Selatan.

Ballo atau tuak (arak), merupakan minuman khas dari Sulawesi Selatan. Terdiri dari 2 macam rasa, yakni rasa pahit bercampur kecut yang disebut ballo/tuak pai’ (yang memabukkan), dan rasa manis (sebagai bahan baku gula merah).

Jenisnya juga macam-macam, kalau dari pohon Nipa namanya ballo nipa, kalau dari pohon aren atau enau disebut ballo inru, kalau dari beras yang diragi namanya ballo ase, dan kalau dari pohon tala’ (lontar) namanya ballo tala’.

Catatan tertua mengenai proses pembuatan ballo atau tuak berasal dari sumber-sumber kuno dari Tiongkok. Dalam sebuah catatan dijelaskan bahwa “orang-orang di negeri ini membuat arak dari bunga pohon kelapa yang menggantung. Panjang bunganya lebih dari tiga kaki. Tebalnya sebesar lengan orang dewasa. Untuk menjadi arak, bunganya akan dipotong dan niranya dikumpulkan. Rasanya manis. Jika mereka meminumnya, mereka cepat mabuk.”

Proses pembuatan minuman memabukan itu tertulis dalam catatan Sejarah Lama Dinasti Tang (618-907) dan Sejarah Baru Dinasti Tang.

Baca juga: Revolusi Cina: Berakhirnya Era Dinasti dan Munculnya Negara Republik

Ery Soedewo, arkeolog Balai Arkeologi Medan, dalam “Produk Local Genius Nusantara Bernama Tuak” yang terbit di Jejak Pangan dalam Arkeologi menjelaskan, minuman yang menurut berita Tiongkok itu diolah dari air bunga kelapa, merujuk pada bahan bakunya yang berasal dari nira kelapa. Hasil olahannya kini dikenal sebagai tuak kelapa.

Pada jaman dulu, di Sulawesi Selatan, ballo dijadikan sebagai minuman pelengkap jika raja mengadakan pesta perjamuan di istananya. Begitu juga saat menghadapi perang, para prajurit kerajaan sengaja menenggak ballo terlebih dahulu, agar di medan perang tidak merasa gentar dan semakin gagah berani menghadapi lawan.

Dalam sebuah pertempuran yang pernah terjadi di Ayutthaya (sekarang Thailand) pada abad ke-17, di mana komunitas orang Makassar di bawah pimpinan Daeng Mangalle yang hanya berjumlah 120 orang mampu mengimbangi kekuatan pasukan gabungan Perancis, Inggris, dan Ayutthaya yang berjumlah 4000 orang.

Menurut kesaksian pasukan Perancis, sebelum bertarung, orang Makassar meminum ramuan yang berasal dari pohon palem yang membuat mereka menjadi lebih berani dan tidak merasakan sakit sama sekali saat berperang. Ramuan itu bukan lain merupakan muniman ballo.

Baca juga: Kisah Pemberontakan Orang-Orang Makassar di Ayutthaya

Ballo bukan hanya dipergunakan oleh Masyarakat Sulawesi Selatan sendiri, tetapi juga telah diperkenalkan di luar  Sulawesi sampai ke Australia. Ballo telah dibawa oleh orang-orang Makassar ke Australia saat berburu teripang pada abad ke-18 hingga abad ke-19.

Selain dipergunakan sebagai minuman penambah stamina selama pelayaran, ballo juga digunakan sebagai salah satu bumbu penyedap masakan dan alat tukar dengan penduduk asli Australia, yaitu Suku Aborigin.

Seorang naturalis, penjelajah, ahli geografi, antropolog, ahli biologi dan ilustrator berkebangsaan Inggris, Alfred Russel Wallace (1823–1913) yang pernah mengunjungi Sulawesi Selatan pada abad ke-19, ia mengenal ballo itu dengan istilah sagueir yang ia dapat dari masyarakat Makassar.

Menurut Wallace dalam bukunya The Malay Archipelago, bahwa pada zaman dahulu Masyarakat Makassar itu bersikap ‘nominal Mohammedans’ yang berarti meski mengaku sebagai beragama Islam, namun tetap lebih memilih mengikuti budaya asli yang bertentangan dengan ajaran agama Islam, salah satunya yaitu tetap meminum minuman ballo.

Baca juga: Inilah Tiga Datu yang Menyebarkan Agama Islam di Sulawesi Selatan

Aren merupakan bahan pembuatan minuman ballo
Sketsa pohon aren yang dibuat oleh Alfred Russel Wallace. Pohon aren merupakan salah satu bahan pembuatan ballo. Foto: en.wikipedia.org

Ballo pernah dijadikan sebagai minuman wajib dalam ritual sebelum mengucap sumpah atau perjanjian. Seperti yang pernah terjadi antara kerajaan kecil di Sulawesi Selatan, yaitu Kerajaan Suppa dan Nepo yang melakukan gencatan senjata setelah berperang.

Perjanjian atau sumpah itu ditandai dengan Datu Suppa dipotong rambutnya kemudian disimpan dibawah batu, kemudian mereka minum ballo secara bersama, lalu gelas yang digunakan untuk minum itu dilemparkan ke batu di mana rambut Datu Suppa disimpan. Lalu datu Suppa mengucapkan sumpahnya.

Baca juga: Perang Nepo-Suppa: Salah Paham Berujung Perang

Sejak puluhan atau ratusan tahun lalu, ballo telah digunakan untuk menandai perayaan, menemani obrolan para tetua adat yang mencari kesepakatan, dan membangkitkan daya tubuh untuk bekerja.

Tapi seiring dengan berjalannya waktu, ballo bukan lagi sekedar sebagai sajian eksklusif kerajaan. Tapi sudah menjadi trend tersendiri di kalangan masyarakat luas.

Para penikmat ballo (painung ballo), biasanya berasal dari kalangan pemuda hingga orang tua. Bahkan di beberapa tempat, kaum hawa juga terkadang ikut serta, terutama yang frustasi menghadapi hidup ataupun sekedar mencari sensasi.

Namun menurut sebagian masyarakat yang kontra terhadap ballo, menganggap bahwa minuman ballo adalah budaya yang tidak baik dan harus dihindari. Pasalnya ballo dapat juga merusak kesehatan dan melenceng dari ajaran agama Islam.

Tuliskan Komentar