Sepanjang sejarah Sulawesi Selatan telah banyak diwarnai peperangan yang disebabkan berbagai alasan. Sebagian perang merupakan konflik independen, sebagian lainnya adalah kelanjutan dari konflik terdahulu. Hal yang pasti, perang biasanya menimbulkan kerugian pada setiap pihak yang terlibat. Tercatat ada beberapa peperangan yang pernah terjadi di Sulawesi mulai dari masa feodal, kolonial, hingga masa kemerdekaan.
Salah satu perang yang pernah terjadi pada masa feodal di Sulawesi Selatan yaitu peperangan antara dua kerajaan kecil, yaitu perang antara kerajaan Nepo yang sekarang telah menjadi bagian dari Kabupaten Barru melawan kerajaan Suppa yang sekarang telah menjadi bagian dari Kabupaten Pinrang. Penyebab terjadinya perang antara keduanya hanyalah karena kesalapahaman dan hal sepele.
Hubungan antara kerajaan Nepo dengan Kerajaan Suppa bisa dikatakan sebagai anak dan orang tua. Sebab Kerajaan Suppa yang saat itu diperintah oleh Datu Suppa Teddung Lompoe adalah ayah dari La Bongngo yang diangkat menjadi raja di Nepo.
Datu Supppa menganggap putranya itu La Bongngo adalah orang yang bodoh, meskipun ternyata secara factual mempunyai keahlian di bidang politik dan teknik perang. Anggapan Datu Suppa terhadap putranya itu terbukti salah setelah terjadi suatu kejadian yang juga membuat marah ayahnya.
Baca juga: Kisah Arung La Bongngo: Raja Nepo yang Dianggap Bodoh
Dikisahkan dalam suatu masa, ketika Datu Suppa meminta bantuan kepada rakyat Nepo untuk membantu menebang kayu guna membangun perumahan untuk Datu Suppa. Sebagai anak kandung Datu Suppa, La Bongngo tidak menolak permintaan ayahnya untuk mengirim tenaga-tenaga ke Suppa dalam rangka membantu membangun istana atau rumah di Suppa.
Dalam menjalankan tugas dari Datu Suppa itu, La Bongngo memerintahkan rakyatnya untuk menebang dan menarik kayu melalui tanaman ataupun perkampungan rakyat Suppa. Tanaman dan perkampungan dibiarkan rusak.
Pada kali keduannya, datu Suppa meminta bantuan mereka lagi untuk membantu menanam padi di sawah. Arung La Bongngo pun kembali memerintahkan rakyatnya ke Suppa. La Bongngo memerintahkan rakyatnya untuk menanam padi secara terbalik, yaitu akar di atas dan daun di bawah.
Dari kejadian itu, rakyat Nepo akhirnya diusir kembali ke negerinya. Apa yang telah mereka lakukan telah menimbulkan stigma negative dari Datu Suppa, bahwa tindakan mereka itu merupakan suatu perilaku yang tidak baik, yang membuat Datu Suppa menjadi tersinggung. Walhasil, hubungan kedua kerajaan mengalami keretakan.
Baca juga: Kisah Unik Penyelesaian Sengketa Batas Antara Nepo dan Sidenreng
Pekerjaan yang dilakukan oleh rakyat Nepo, yang menurut anggapan orang Suppa bahwa rakyat Nepo bersama rajanya adalah kumpulan orang-orang bodoh. Tetapi bagi raja Nepo dan rakyatnya adalah perbuatan yang disengaja, dengan alasan untuk tidak berulang kali rakyat Suppa meminta bantuan kepada mereka, mengingat masyarakat Nepo pun perlu untuk membangun negerinya.
Arung La Bongngo sebagai raja Nepo yang menyadari bahwa sekalipun ia sebagai anak dari raja Suppa, selayaknya raja Suppa tidak seenaknya memerintah ataupun menyuruh rakyat Nepo, karena hal tersebut seolah-olah sebagai kerja paksa menurut pandangan rakyat Nepo.
Pada suatu waktu, tiba saat yang menyebabkan rakyat kelaparan karena musim kemarau panjang dan panceklik, menyebabkan kekurangan air, sungai-sungai mongering, sampai tanaman padi mati, dan semuah tanaman pangan tidak ada yang tumbuh. Akibat musim kemarau itu, Datu suppa mengutus Suro untuk melihat keadaan putranya La Bongngo, tentang apa yang diperbuatnya saat keadaan panceklik dan kemarau panjang.
Tetapi ketika utusan itu baru tiba di Maroanging, dilihatnya rakyat Nepo sedang sibuk mengerjakan bahan makanan yang terdiri dari batang pisang dan salak-salak (sejenis buah bakau yang panjang). Rakyat Nepo mencencang pohon pisang itu serta menguliti buah salak-salak untuk dijadikan bahan makanan alternative selama panceklik.
Baca juga: Perspektif Baru Sejarah Kemunculan Kerajaan Nepo
Utusan datu Suppa segera pulang dan menyampaikan kesaksiannya kepada Datu Suppa, bahwa rakyat Nepo sedang mengadakan persiapan untuk perang menghadapi Suppa. Rupanya sang utusan Datu Suppa salah sangka melihat rakyat Nepo mencincang batang pisang bagaikan sedang latihan menggunakan pedang dan parang, serta mengira rakyat nepo sedang membuat anak panah, padahal sebetulnya itu buah sala-sala yang sedang dikupas, memang bentuk buahnya panjang seperti anak panah.
Mendengar laporan dari utusan itu, Datu Suppa kemudian mengirim surat kepada Arung Nepo bahwa apabila ingin menghadapi kerajaan Suppa, sebaiknya Nepo membuat benteng pertahanan yang tingginya sama dengan bumbungan rumahnya. Arung Nepo merasa terkejut karena tiba-tiba saja Datu Suppa mengumumkan perang terhadap Nepo. Tidak tinggal diam, Kerajaan Nepo pun segerah mempersiapkan diri dan genderang perang pun ditabuhnya.
Sebelum pasukan Suppa mendarat di Nepo, Arung Patappuloe sudah mempersiapkan taktik untuk mengahadapi pasukan Suppa yang akan datang. Pada malam harinya, dibentangkan tali mulai dari Nepo sampai ke Palanro, dan pada tali itu digantungkan orang-orangan yang masing-masing dilengkapi obor dari jujuk atau tali yang diberi api. Panjang rangkaian itu mencapai sekitar tujuh kilo meter dan dibuka pada waktu subuh hari. Maksud dari rangkaian orang-orangan itu adalah supaya pasukan Suppa mengira rangkaian orang-orangan itu adalah pasukan Nepo yang sudah menunggu kedatangan pasukan Suppa.
Baca juga: Sejarah Singkat 4 Kerajaan yang Pernah Berdiri di Kabupaten Barru
Akhirnya pasukan Suppa tiba dan bergerak menuju Palanro. Kedatangan pasukan Suppa di Palanro disambut oleh Arung Palanro. Arung Palanro sempat menasehati pasukan Suppa bahwa tidak ada gunanya mengadakan perang, karena akaibatnya hanya akan merugikan kedua belah pihak. Tetapi pasukan Suppa terus saja bergerak menyerbu sampai di wilayah Lakasaile kemudian terus ke timur, dan akhirnya datang perintah siap di tempat untuk perang.
Di sinilah perang besar terjadi antara Nepo dan Suppa yang memakan banyak korban pada kedua belah pihak. Ripakka dan pengikutnya tidak ketinggalan pula membantu Arung Nepo. selama pertempuran, Puang Ripakka mengeluarkan benda saktinya berupa parang yang berbentuk alaming. Tempat peristiwa pertempuran itu kemudian dinamakan sebagai Allapporangnge yang memiliki arti sebagai tempat untuk menumpuk jasat korban peperangan. Karena banyaknya korban meninggal yang jasatnya ditumpuk, sampai-sampai bau jasat yang membusuk tercium sampai ke wilayah kampong Lakalitta.
Mengingat adanya korban yang begitu banyak, akhirnya timbul kesadaran di kedua belah pihak, sehingga sepakat untuk mengadakan gencatan senjata, sekaligus perjanjian atau sumpah, yang ditandai dengan Datu Suppa dipotong rambutnya kemudian disimpan dibawah batu, kemudian mereka minum tuak secara bersama, lalu gelas yang digunakan untuk minum itu dilemparkan ke batu di mana rambut Datu Suppa disimpan. Lalu datu suppa mengucapkan sumpah. Selesai Datu Suppa mengucapkan sumpah, Arung La Bongngo melanjutkan sumpah dengan suara lantang.
Momen bersejarah itu merupakan suatu perjanjian di bawah sumpah antara anak dan ayah. Lokasi perjanjian itu kemudian dikenal dengan nama kampong Pattanroangeng. Dalam bahasa Bugis, Pattanroangeng dari kata siattanroangeng yang memiliki arti tempat penyumpahan.
Tuliskan Komentar