Sebuah sengketa pada akhirnya akan bermuara pada suatu penyelesaian. Ada berbagai macam cara untuk menyelesaikan sebuah sengketa. Terkadang di balik penyelesaian sebuah sengketa terselip kisah-kisah lucu dan unik.
Salah satu kasus penyelesaian sengketa yang cukup unik pernah terjadi di Sulawesi Selatan pada zaman feodal atau di masa kerajaan-kerajaan.
Tepatnya sengketa yang terjadi antara Kerajaan Nepo (sekarang telah menjadi bagian dari Kabupaten Barru) dengan Kerajaan Sidenreng (sekarang bagian dari Kabupaten Sidenreng-Rappang).
Sengketa yang terjadi antara Nepo dan Sidenreng merupakan sengketa batas antara kedua kerajaan, namun diselesaikan dengan cara unik dan baik-baik tanpa kekerasan.
Pada suatu waktu trjadi perselisihan atau sengketa batas antara orang Nepo dengan orang Sidenreng. Perselisihan itu terjadi lantaran orang Sidenreng membangun sebuah pasar di sebelah utara Nepo. Daerah itu sekarang berada di Pegunungan Nepo, perbatasan Kecamatan Mallusetasi, Sidenreng, dan Kota Parepare.
Baca juga: Kisah Arung La Bongngo: Raja Nepo yang Dianggap Bodoh
Hasil pendapatan pasar itu kemudian diambil oleh orang Sidenreng sendiri. Timbul lah sengketa, sebab orang Nepo menganggap bahwa lokasi tempat orang Sidenreng itu membangun pasar adalah wilayah kekuasaan Nepo.
Dari permasalahan itu timbul perasaan pada masingmasing kerajaan tentang pentingnya untuk menetapkan batas kedua kerajaan. Menanggapi hal tersebut, bersepakatlah mereka untuk menentukan batas keduanya, mereka berencana untuk bersama-sama menentukan patok awal perbatasan keduanya mulai dari daerah pegunungan.
Orang Nepo dan Sidenreng menyepakatai untuk berangkat dari tempat masing-masing secara bersamaan, dalam kesepakatannya orang Nepo dan Sidenreng akan berangkat saat ayam mulai melompat (joppa siluppereng manu).
Maksud dari perumpamaan Joppa Siluppereng Manu adalah mulai berangkat saat ayam melompat naik atau turun dari tempat menginap/beristirahatnya (dalam Bahasa Bugis disebut lerang atau tarata).
Baca juga: Perspektif Baru Sejarah Kemunculan Kerajaan Nepo
Namun terjadi perbedaan persepsi di antara keduanya, orang Nepo menganggap ayam mulai melompat saat akan naik ke tempat peristirahatannya ketika petang, sementara orang Sidenreng mengaggap ayam mulai melompat saat akan turun dari tempat peristirahatannya ketika pagi hari.
Alhasil, orang Nepo berangkat lebih dulu ke tempat perjanjian saat petang, semantara orang Sidenreng baru berangkat saat pagi harinya.
Orang Nepo yang telah tiba lebih dahulu ke tempat perbatasan menunggu orang Sidenreng sambil menikmati buah kelapa muda. Tidak beberapa lama kemudian, baru lah orang Sidenreng tiba ke pencak gunung itu dengan kelelahan.
Orang Sidenreng yang kelelahan itu kemudian disuguhkan buah kelapa, namun karena kelapa yang masih muda sudah habis dimakan orang Nepo, maka orang Sidenreng hanya mendapati dan memakan buah kelapa yang sudah agak tua atau mengkal.
Baca juga: Asal Usul Nama serta Sejarah Kemunculan Kerajaan Sidenreng dan Rappang
Dari peristiwa ini muncul istilah anre to Sidenrengna untuk menyebut kelapa muda yang sudah hampir tua. Anre to Sidenrengna memiliki arti sebagai makanan orang Sidenreng, istilah ini terutama digunakan pada buah kelapa muda yang masih bisa dikonsumsi langsung meskipun sudah agak keras karena hampir tua.
Setelah bersama-sama menikmati jamuan berupa buah kelapa muda, keduanya kemudian melakukan perjanjian batas antara Nepo dan Sidenreng. Dalam penentuan batas itu, digunakan sebuah batang jeruk sebagai patok awal perbatasan.
Buah jeruk yang jatuh ke utara merupakan milik atau bagian dari Kerajaan Sidenreng, sementara buah jeruk yang jatuh ke arah selatan menjadi milik atau bagian dari Kerajaan Nepo.
Dengan demikian, berakhirlah sengketa perbatasan antara Nepo dan Sidenreng dengan patok batas yang jelas.
Tuliskan Komentar