Barru Raya Kuno Tokoh

Kisah Arung La Bongngo: Raja Nepo yang Dianggap Bodoh

Dianggap bodoh oleh raja-raja lain di kerajaan tetangganya, namun sangat dipatuhi dan dihormati oleh rakyatnya, dialah Arung La Bongngo, Raja yang pernah memerintah di sebuah kerajaan di sebelah utara Kabupaten Barru.

La Bongngo merupakan putra dari Datu Suppa yang bergelar Taddung Lompoe, La Bongngo diangkat menjadi raja di kerajaan Nepo (sekarang menjadi bagian dari Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan) menggantikan Arung Patappuloe (40 raja yang memerintah secara bersama-sama), La Bongngo kemudian menikah dengan putri Arung Mareppang.

Selama pernikahannya dengan putri Arung Mareppang, La Bongngo tidak memiliki keturunan, sehingga setelah La Bongngo meninggal, tidak ada keturunannya yang menggantikan kedudukannya sebagai raja di Nepo.

Pada awal pemerintahan Arung La Bongngo, terjadi perselisihan antara kerajaan Nepo dengan kerajaan Bojo tetangganya, perselisihan itu terjadi karena masalah perbatasan antara kedua kerajaan. Permasalahan itu disampaikan kepada Datu Suppa yang kemudian mengutus Datu Sawitto untuk meyelesaikan permsalahan mengenai batas antara kedua kerajaan, Datu Sawitto kemudian menentukan batas-batas antara kerajaan Nepo dan Bojo.

Datu Suppa menganggap bahwa putranya La Bongngo adalah seorang raja yang bodoh, meskipun sebenarnya La Bongngo secara faktual memiliki keahlian di bidang politik dan teknik perang, terlebih lagi dalam memerintah.

Untuk menjalankan pemerintahannya di Nepo, La Bongngo dibantu oleh Arung Patappuloe dan Puang Ripakka sebagai penasehat kerajaan. Anggapan Datu Suppa yang menyatakan bahwa anaknya orang yang bodoh ternyata salah setelah peristiwa yang membuat Datu Suppa itu menjadi marah.

Peta kuno Nepo dan Batupute
Peta kuno Nepo dan Batupute

A. Rasyid Asba dalam bukunya “Kerajaan Nepo: Sebuah Kearifan Lokal dalam Sistem Politik Tradisional Bugis di Kabupaten Barru” menceritakan secara terperinci peristiwa tersebut.

Dikisahkan pada waktu Datu Suppa meminta bantuan kepada rakyat Nepo untuk membantunya menebang kayu buat perumahan Datu Suppa, maka La Bongngo mengirimkan rakyatnya untuk berangkat ke Suppa, namun sebelum rakyat Nepo berangkat, La Bongngo berpesan kepada rakyatnya bahwa ketika nanti melakukan pekerjaannya di Suppa, kayu yang baru saja ditebang harus ditarik dan dibawa melalui tanaman rakyat Suppa.

Setelah mendengar pesan dari rajanya, maka rakyat Nepo berangkat menuju Suppa, setibanya di sana rakyat Nepo kemudian melakukan pekerjaan sesuai perintah dari Arung La Bongngo, kayu yang baru ditebang ditarik melalui tanaman masyarakat, alhasil seluruh tanaman yang dilalui itu menjadi rusak.

Setelah menyelesaikan pekerjaan itu, orang-orang Nepo langsung kembali ke negerinya. Tindakan rakyat Nepo itu ternyata membuat masyarakat dan Datu Suppa menjadi gelisah dan semakin mengukuhkan anggapan Datu Suppa bawhwa rakyat Nepo serta rajanya adalaha orang-orang yang bodoh.

La Bongngo memerintahkan kepada rakyatnya untuk melakukan tindakan tersebut dengan harapan agar rakyat Nepo tidak selalu dipanggil oleh Datu Suppa untuk melakukan pekerjaan yang sebenarnya bisa dikerjakan sendiri oleh orang-orang Suppa. Meskipun demikian, ternyata Datu Suppa masih meminta bantuan rakyat Nepo untuk membantunya menanam padi dengan alasan apabila tidak segera ditanam, maka tanaman padi itu akan rusak.

Lagi-lagi, sebelum orang Nepo berangkat, La Bongngo berpesan kepada rakyatnya agar  padi yang ditanam nanti harus ditanan dengan cara terbalik, bagian daunnya di bawah sementara akarnya di atas.

Berangkatlah orang Nepo itu ke Suppa, setibanya di Suppa mereka langsung ditunjukkan lokasi sawah yang akan ditanamai. Awalnya masyarakat Nepo menanam padi dengan benar (pada umumnya masyarakat Sulawesi Selatan memang menganggap tanaman padi sebagai tanaman yang sangat dihormati), tetapi karena telah tiba waktunya makan siang namun belum juga datang panggilan untuk makan, mulailah orang Nepo menanam padi secara terbalik sesuai perintah rajanya.

Tidak lama kemudian, datanglah utusan dari Datu Suppa untuk melihat pekerjaan rakyat Nepo, awalnya utusan itu melihat hasil pekerjaan rakyat Nepo sangat baik, namun setelah menyusuri pematang sawah dilihatlah tanaman padi yang ditanam secara terbalik, segerahlah utusan itu kembali melapor, mendengar kabar bahwa rakyat Nepo menanam padi secara terbalik, Datu Suppa sangat marah dan memerintahkan orang Nepo untuk segera pulang.

Apa yang telah diperbuat oleh rakyat Nepo itu telah menimbulkan stigma negatif dari Datu Suppa, tindakan mereka itu merupakan suatu perilaku yang membuat Datu Suppa menjadi tersinggung. Walhasil, hubungan antara Kerajaan Nepo dengan Suppa menjadi tegang dan bermulah terjadi permusuhan di antara keduanya. Setelah perang dan masa damai antara dua kerajaan ini, Arung La Bongngo terserang penyakit dan membawa akhir hayatnya di dunia.

22 Komentar

  • Kissah La Bongngo tidak demikian, La Bongngo di Nepo tidak memerintah, yg tetap memerintah sebagai pembesar masyarakat adalah Ade Patappuloe, La Bongngo hanya petinggi politik diberi gelar Petta artinya Raja Dipertuan merupakan simbol bahwa Nepo adalah kerajaan protektorat bernaung di bawah Kerajaan Suppa.

  • La Bongngo memang bodoh artinya, karena ketika dia diserahkan ayahnya Raja Suppa setelah diminta oleh utusan dari Nepo, ia belum cakap atau masih anak2 yg perlu dididik, dipelihara, dibesarkan dan dinikahkan, pokoknya semua ditanggung oleh masyarakat pabbanua di Nepo.

  • Labongngo kapasitasnya bukan petinggi politik langsung berhadapan rakyat, yg berhadapan memobilisasi pemerintahan adalah tetap ditangan siapa yang mengangkatnya, yaitu ade patappulue sebagai pembesar pemilik kampung. Labongngo tidak seperti kepala negara, tetapi ia perpanjangan raja Suppa, makanya disebut Petta atau Sulledatu.

  • Nepo sebelunnya memiliki nama klasik sebutannya Amessangeng, nah setelah Labongngo berhasil didatangkan berasal dari Suppa, kedatangan Labongngo bagi masyarakat sesungguhnya tanggung jawab besar sebagai kontraknya, yaitu dididik dijadikan cerdas، dipelihara atau dijaga seperti memelihara anak sendiri, tumbuh menjadi besar tanggung jawabnya masyarakat, repo’ bahasa bugisnya.

  • Maka Labongngo merupakan beban berat dirasakan masyarakat disebut repo’ bahasa bugisnya yang kemudian dialek permulaan kata berubah menjadi Nepo. Jadi, Labongngo adalah raja yang membawa beban berat di masyarakat. Itulah beliau Petta ri Nepo Pertama.

  • Saking merepotkannya, ia bukan dinikahkan keluarga asalnya, tetapi dinikahkan masyarakat di Mareppang yg tidak melahirkan keturunan, waktunya sakit diantar pulang oleh masyarakat ke keluarganya di Suppa.

  • Dengan demikian, siapa saja disebut Raja, Petta atau Arung di Nepo, maka itulah sifatnya hendaknya ditanggung masyarakat To Pabbanuae dalam segala hal kebutuhannya termasuk mengenai ade’-ade mappakalebbi’e ri Arung,e, PettaE atau DatuE, berbeda keadaannya di tempat lain misalnya Kiru-kiru, Balusu, Ajakkang dan Mangkoso khususnya.

  • Semua keluarga dalam versi Petta ri Nepo bukan keluarga dianggap To Pabbanua di Nepo artinya orang kampung penduduk asli, tetapi mereka adalah keluarga didatangkan dari luar daerah, Labongngo, dari Suppa, I Sima Tana berasal keluarga campuran Tanete, Berru, Soppeng dan Mandat, Suaminya bernama Labondeng Arung Jampue Putra I Passule Adatuang Sawitto

  • Perkawinan I Sima Tana Petta Ri Nepo bergelar Petta Tellu Lattee dengan Labondeng Arung Jampue melahirkan anak bernama I Makung yang isteri permaisuri La Calo putra La Sadapotto Adatuang Sidenreng, pejabat diangkat Belanda sebagai Arung Mallusetasi

  • Pada masa pemerintahan kolonial, sebelumnya Nepo adalah kerajaan2 lili yang membayar upeti kepada kerajaan seniornya Suppa. Petta ri Nepo dipertahankan kapasitasnya meskipun di Parepare telah di tangan kolonial terbentuk onderafdeling Mallusetasi dijabat pemangku A. Calo yang membawahi salah satu wilayahnya Nepo bergelar bumi ade’ patappuloe.

  • Petta Makung merupakan Arung Lili terakhir di Nepo bersifat tradisional, suaminya Petta Calo merupakan petinggi politik pilihan kolonial sebagai Arung Mallusetasi, dl perkawinannya melahirkan anak bernama A.Syahribulan yang dikenal Besse Nepo artinya Tuan Putri Mahkota Nepo sampai meninggal.

  • Eksistensi keluarga Petta ri Nepo prinsipnya dipertahankan dengan sistem perkawinan internal, yaitu A. Syahribulan dinikahkan dengan sepupunya A. Sadapotto putra Arung Berru A. Jonjo Karaeng Lembang Parang, dl perkawinannya lahirlah putra-putri sebagai berikut; A. Mange Petta Balla, A. Sompa Petta Bau dsb.

  • Petta Calo menikah tidak sekali tetapi beberapa kali, pada masa tuanya beliau masih sempat menikahi seorang keturunan asli ade patappuloe di Mareppang, dlm perkawinannya melahirkan keturunan A. Besse namanya mantan Kepala Desa Nepo. A. Besse merupakan keturunan yang menggabungkan keluarga dari luar A. Calo berasal keluarga dari Sidenreng dan Ibunya adalah keluarga keturunan Ade Patappuloe. Mungkin beliau ini kedepan berpotensi dipilih sebagai Pemimpin Tradisional di Wilayah Kerajaan Lili’ Nepo Mallusetasi.

  • Panngadereng adalah istilah berasal dari kata ade’, terdiri atas ade’, bicara, wari’, rapang, dan sara’. Maka di Kerajaan Nepo mengenai ade’ ada dua macam perlu diperhatikan, yaitu ade’ mappuraonroe dan ade’ maraja. Ade’ mappuraonroe adalah ade’ pammulang atau ade’ sijajianna tana’e-lino’e misalnya ade’ patappuloe ri Nepo. Ade’ Maraja ade’ adalah ade’ didatangkan kemudian tidak abadi dan bisa berubah, misalnya Petta ri Nepo.

  • Kedudukan politik sebagai Petta yang Arung Lili’ misalnya di Kerajaan Nepo disebut Ade’ Maraja terbentuk melalui keinginannya ade’ mappuraonroe yaitu ade’ patappuloe berfungsi disamping melaksanakan bidang ekskutif juga bidang lainnya legislatif dan yudukatif, terdapat di semua tempat sebagai kepala kampung disebut Arung yang tersebarkan di setiap wilayah, misalnya, Arung Ujung, Arung Pacciro, Pabbicara Manuba, Arung Talabangi dsb.

  • Ade’/Arung Pattappuloe adalah istilah kelompok atau komunitas politik yang menganggap diri mereka adalah penguasa tetapi tidak ada rakyatnya dapat diperintah, sehingga kedudukannya tidak memenuhi syarat politik dapat diberi pengakuan luar daerah, kekuatannya masih merupakan daerah dapat takluk atau ditaklukkan oleh Kerajaan lainnya. Misalnya Nepo sebelum takluk di bawah naungan Suppa, adalah daerah dalam pengakuan wilayah Kerajaan Sidenreng sebagai kerajaan adikuasa di sekitarnya.

  • Arung Patappuloe adalah pemangku atau pemilik bumi bahasa Bugisnya To Pabbanua atau Wija Tellengkang , adapun tradisi disebut Petta adalah keluarga bukan golongan yg diberi hak usaha dapat memiliki tanah kecuali hanya diberi hak hidup yang ditanggung oleh pemangku bumi. Dengan demikian, mereka tidak bekerja sebagai petani dan pedagang kecuali haknya bersifat administrari, menerima gaji tunjangan dari rakyat atau pabbanua melalui penarikan pajak disebut sima bahasa Bugis. Itulah sebabnya Petta Nepo II diberi nama I Sima’ Tana.

  • Dengan demikian, keluarga pendatang asalnya dari luar baik pada zaman penjajahan dan sebelumnya bertugas karena permintaan masyarakat adat dan diangkat berdasarkan keinginan kolonial, maka kepemilikan mereka di atas bumi ade’ patappuloe, seharusnya dilepaskan dan kembali diserahkan kepada masyarakat bersifat kommunal. Dilarang ada miliknya dapat berkerja dan berkuasa di atas tanah bagi keluarga tergambar pendatang disebut To Tama-tama.

  • Terakhir komentar menurut hukum adat, siapa saja sifatnya pendatang sebagai raja atau penguasa dari luar, baik keluarga diberi gelar Petta ri Nepo atau Mallusetasi, maka keluarga tersebut merupakan figur berkuasa tidak berhak memiliki tanah di atas bumi ade patappuloe kecuali hanya diberi hak gaji/tunjangan bersumber dari masyarakat disebut Sima tana atau pajak, jaminannya diberikan sepanjang berkuasa sebagai pemimpin tradisional disebut Petta. Petta ri Nepo berbeda dengan Arung. Petta tidak memiliki tanah dan dijamin oleh masyarakat, sedangkan Arung dapat memiliki tanah dan tidak dijamin melalui pajak/sima yang bersumber dari masyarakat.

  • Penulis adalah pemerhati masalah2 sosial politik tradisional se Kabupaten Barru, lahir di Mangkoso Selasa, 19 April 1957, Keluarga Wija Mabbulo Sibatang Mattulu Temmalara Arung Tompo Bulu Matajang Tanete Barru dan Keluarga Wija Mattanete Lampe Matowa ri Kiru-kiru/Ponggawa ri Ajakkang Soppeng Riaja. Pekerjaan Dosen IAIN Parepare/STAI DDI Mangkoso.

  • Nepo kata perubahan dari Repo’. Dalam bahasa Bugis disebut Repo’ adalah tanggung jawab yang harus dilaksanakan, misalnya anak adalalah repo’ bagi kedua orang tuanya. Jadi siapa saja Raja yang kehidupannya semua di atas tanggungan masyarakat, Arung Nepo namanya karena hanya sifatnya ditanggung dan tidak menanggung.

  • Nepo kata perubahan dari Repo’. Dalam bahasa Bugis disebut Repo’ adalah tanggung jawab yang harus dilaksanakan, misalnya anak adalalah repo’ bagi kedua orang tuanya. Jadi siapa saja Raja yang kehidupannya semua di atas tanggungan masyarakat, Arung Nepo namanya karena hanya sifatnya ditanggung dan tidak menanggung.

Tuliskan Komentar