Barru Raya Kuno

Rumpana Lipukasi: Perang Antara Tanete dengan Lipukasi

Lipukasi adalah salah satu wilayah persekutuan hukum Kerajaan Tanete. Beberapa sumber menyebutkan bahwa pada masa itu, seorang yang bernama La Makkarumpa Daeng Parani, berasal dari Tallo dan juga disebut sebagai Karaeng Tallo datang pada Datu Tanete yang saat itu dijabat oleh We Tenriolle untuk menjalin persahabatan dan meminta Lipu atau kampung.

Maksud baik La Makkarumpa Daeng Parani disambut baik oleh We Tenriolle, dengan memenuhi permintaannya maka diberikanlah Lipu (kampung) di sebelah utara sungai Bottoe dengan perjanjian bahwa setiap tahunnya La Makkarumpa Daeng Parani harus membawa upeti kepada Datu Tanete. Perjanjian tersebut diterima oleh La Makkarumpa Daeng Parani, kemudian dia berkata bahwa  Lipu (kampung) itu diberi nama Lipukasi yang artinya kampung pammase, karena pammasena datu ri Tanete.

Namun dalam buku Sejarah Kerajaan Tanete yang dialih bahasakan oleh Basra Gising menyatakan hal yang berbeda tentang penamaan Kampung Lipukasi, dalam buku tersebut diceritakan bahwa ketika masa pemerintahan Datu Tanete ke-VII, Daeng Sanjai, terjadi peperangan antara Tanete dengan Kerajaan Berru, pada perang tersebut Kerajaan Berru mengalami kekalahan dan banyak anggota kerajaannya yang menjadi tawanan, Daeng Sanjai kemudian membuka perkampungan, sebelum menyuruh orangnya memindahkan para tawanan perang yang telah tertangkap, semua tawanan itu dipindahkan ke perkampungan ini yang baru saja dibangun oleh Daeng Sanjai.

Perkampungan ini khusus dihuni oleh semua tawanan perang, bahkan di kampung ini juga ditunjuk seorang pemimpin atau raja untuk mengatur seluruh kehidupan para tawanan di dalamnya. Meski ditahan dalam satu kampung besar, namun para tahanan ini sengaja ripakkasiasi (dibuat sengsara), sehingga kampung ini nanti dikenal dengan nama kampung Lipukasi (kampung yang penuh kesengsaraan).

Seiring dengan perjalanan waktu, Karaeng Lipukasi, La Makkarumpa Daeng Parani, diduga tidak mematuhi perjanjian pada Datu Tanete, akhirnya terjadi perang, terkenal dengan Rumpana Lipukasi (Perang Lipukasi). Peristiwa tersebut diduga terjadi karena datu Tanete memperoleh kabar bahwa Karaeng Lipukasi tidak mau lagi mengabdi kepada Datu Tanete, karena La Makkarumpa Daeng Parani sudah dua tahun tidak pernah datang membawa upeti kepada Datu Tanete.

Makam La Makkarumpa Daeng Parani di Lipukasi. Foto: Erik Hariansah.

Sebagai ganti karena Karaeng Lipukasi tidak membawa upeti, Datu Tanete mengambil sebagian wilayah Lipukasi di kampung Passede. Kemarahan Datu Tanete semakin bertambah ketika Karaeng Lipukasi menentang kehendak Datu Tanete karena daerahnya diambil sebagian. Ucapan Karaeng Lipukasi yang menyatakan kalau perlu nanti di muka Datu Tanete kupakai celanaku, menambah marah Datu Tanete karena dianggap sebagai penghinaan. Namun dalam buku Ayam Jantan Tanah Daeng yang ditulis oleh Nasaruddin Koro, Perang Lipukasi terjadi karena umbaran kata cinta La Makkarumpa Daeng Parani kepada We Tenriolle, namun di mata kerabat We Tenriolle dianggap sebagai penghinaan.

Datu Tanete mengirim dua orang untuk mengklarifikasi ucapan Karaeng Lipukasi, akan tetapi kedua utusan orang tersebut diserang dan dibunuh oleh pengawal Karaeng Lipukasi yang bernama La Pattimbang. Terbunuhnya kedua utusan tersebut membuat Datu Tanete mengirimkan pasukan untuk menyerang Lipukasi dan terjadilah perang atau Rumpana Lipukasi. Nasaruddin Koro dalam bukunya menceritakan secara detail bagaimana Rumpana Lipukasi ini berlangsung.

kedua belah pihak saling mengayunkan tombak dan menghujankan keris kawali. Pihak yang bertikai masing-masing dari sisi Sungai Bottoe berhadap-hadapan setelah kaum perempuan mendendangkan elong mosong (Temang Perang) sebagai pembakar semangat. Hebatnya seorang pasukan We Tenriolle yang bernama La Pasarai sambil menggigit tombak menceburkan diri ke dalam sungai, menyerang diikuti semua tau warani (pemberani) dari beberapa penjuru.

Dalam perang atau Rumpana Lipukasi tersebut pasukan Tanete terbagi menjadi dua kelompok. Pasukan Tanete Rilau dipimpin oleh La Pasarai yang juga merupakan kerabat raja, sedangkan pasukan Lompo Riaja dikomandoi oleh La Manda Arung Kading. Perang akhirnya dimenangkan oleh We Tenriolle.

Referensi:
Gising, Basrah. 2002. Sejarah Kerajaan Tanete. Makassar: Sama Jaya.
Koro, Nasaruddin. 2006. Ayam Jantan Tanah Daeng, Siri dan Pesse, Dari Konflik Lokal Hingga Pertarungan Lintas Batas. Jakarta: Ajuara.
“Lipukasi, Kampung Pammase.” Majalah Pijar edisi 75, tahun 2018.

Tuliskan Komentar