Budaya Sulsel

Apakah Membunuh Karena Masalah Siri dan Pesse Dibenarkan dalam Masyarakat Sulawesi Selatan?

Tahun 2018 yang lalu, film Silariang: Cinta yang (tak) Direstui dirilis di Makassar. Berkisah tentang cinta antara Yusuf (Bisma Karisma) dan Zulaikha (Andania Suri). Perasaan cinta di antara keduanya terhalang karena tidak mendapat restu. Mereka memutuskan untuk Silariang (kawin lari) setelah tak direstui ibu Zulaikha, Puang Rabiah (Dewi Irawan).

Keluarga Zulaikha jelas mengamuk dan murka. Puang Ridwan (Sese Lawing) yang merupakan paman Zulaikha, beserta anak buahnya dan kakak Zulaikha, Zulfi (Cipta Perdana) pergi mencari keduanya. Dan bukan main-main, nyawa Yusuf dan Zulaikha menjadi taruhannya.

Di Sulawesi Selatan, ekspresi murka dan amuk (jallo untuk Bugis dan ajjallo untuk Makassar) memang dikenal. Amuk ini terkadang dibenarkan dalam hukum sosial dan adat karena menyangkut harga diri (passe/pacce) dan rasa malu (siri).

Baca juga: Gara-Gara Kentut Berujung Maut

Tak mengherankan jika seorang saudara dapat membunuh saudara perempuannya bila kawin lari (silariang) dengan laki-laki. Ekspresi amuk inilah yang hingga sekarang bahkan menjadi stereotipe bagi orang Sulawesi Selatan.

Di zaman feodal atau masa di mana kerajaan-kerajaan maaih berdiri di Sulawesi Selatan, penyelesaian masalah siri dan pesse/pacce antara dua orang dilakukan dengan cara sigajang ri laleng lipa atau saling tikam anatara dua orang itu di dalam satu sarung yang sama.

Antropolog Universitas Hasanuddin Ismail Ibrahim mencermatinya dalam laku kehidupan sehari-hari. Misalkan, aksi demonstrasi di Makassar selalu ditampilkan dalam keadaan rusuh dan kacau. Kalau tak rusuh bukan Makassar. “Jadi bisa saja, ada hal prinsip yang membuat kelompok dan perorangan melakukan amuk. Masyarakat luar tak memahaminya,” katanya.

Sigajang laleng lipa untuk menyelesaikan masalah siri dan pesse

Ilustrasi Sigajang Laleng Lipa karya Ahmad Auliya Arafah (@ahmadaarafah_). Foto: goodnewsfromindonesia.id

Amuk atau jallo dalam pandangan budaya (Bugis dan Makassar) bisa saja dibenarkan sekalipun bertentangan dengan hukum positif (negara). “Seorang yang membawa lari istri orang lain bisa saja melakukan amuk hingga membunuh, dan dalam kelompok masyarakat tertentu itu dibenarkan karena soal harga diri,” kata Ismail Ibrahim.

Seseorang yang telah melakukan pembunuhan karena masalah siri dan pesse tidak akan merasa bersalah, sekalipun setelah itu ia harus menjalani hukum negara, baginya itu tidak masalah karena menganggap itu lebih baik sebab berkaitan dengan harga dirinya.

Aturan dan tata cara dalam budaya masyarakat Sulawesi Selatan inilah yang tak jarang pula membuat pemerintah Hindia Belanda kebingungan. Ekspresi amuk masyarakat Sulawesi Selatan akan berakibat fatal bila dihubungkan dengan perempuan, di mana yang menjadi tolak ukuran harga diri dan dapat saja taruhannya adalah nyawa.

Baca juga: Sejarah Asal Muasal Penamaan Air Terjun Bantimurung di Maros

Koran Pemberita Makassar pada 4 Juni 1936 menuliskan sebuah kisah memilukan. Seorang laki-laki membunuh saudara perempuannya, berstatus janda beranak satu, yang nekat kawin lari (silariang) dengan seorang pria. Kawin lari ini tanpa izin dari pihak keluarga.

Setelah lama mencari, keberadaan sang perempuan ditemukan pada suatu siang. Tanpa menunggu waktu lama saudara laki-lakinya langsung memukulkan sebuah tongkat kayu pada perempuan tersebut, hingga tewas.

Dalam sistem hukum Belanda yang mengacu pada Wetboek van Stafrecht 1918, budaya siri’ adalah persoalan rumit dalam penegakan hukum. Gubernur Hindia Belanda di Celebes F.C. Vortsman dalam suratnya 5 Juni 1923 mengeluhkan peristiwa itu. “Membawa lari wanita di bawah usia 21 tahun tanpa tipu daya atau kekerasan, dengan berdasar pada kepentingan wanita tersebut, kecuali didasarkan atas perzinahan, tidak dikenai hukuman. Wanita itu dianggap sudah dewasa,” tulisnya.

Tuliskan Komentar