La Patau memimpin peperangan melawan Mayoor General Dalton. sedangkan La Sameggu melawan penguasa Belanda Baron T. Collot d’Escury di Segeri pada tahun 1855. Motif perlawanan La Sameggu adalah dikarenakan adanya desakan serta aturan Belanda yang membatasi ruang lingkup Raja dan para bangsawan Bugis.
Selain itu Belanda juga mengenakan sistem pajak yang sangat memberatkan rakyat. Ditambah lagi kerja paksa/rodi yang disebut kasuwiang kepada rakyat. Pintu rumah dikenakan pajak pacumpleng, pekarangan/halaman rumah dikenakan pajak pengawangawang, binatang ternak dikenakan pajak wilah wlit, pindah rumah memastikan membayar pajak pajungket.
Tidak terkecuali, bangsawanpun harus mengikuti kerja paksa/rodi yang dianggap La Sameggu sangat merendahkan harkat dan martabat bangsawan. Bagi seorang Bugis adalah menjadi suatu penghinaan besar apabila rasa malu dan harga diri (Siri dan Pesse) sudah dilanggar.
Baca juga: Pasang Surut Perlawanan La Patau
Belum lagi sistem monopoli perdagangan yang dimana baik membeli maupun menjual semua diatur oleh penguasa Belanda. Hal-hal tersebut diatas dirasakan La Sameggu Daeng Kalebbu hanya membuat rakyatnya sengsara.
Pada bulan Mei 1855 penguasa Belanda di Segeri mendapatkan laporan bahwa sering terlihat pasukan pasukan bersenjata yang berada di luar batas kota Segeri. Hal ini sangat mencurigakan Belanda maka di utuslah seorang mata-mata. Ternyata pasukan yang berada di batas luar Segeri adalah pasukan pasukan dan pengikut La Sameggu Daeng Kalebbu yang menduduki daerah Bulu Bukkulu, sebelah timur kota Segeri.
Melihat dan mendengar adanya desas desus bahwa La Sameggu akan memberontak melawan Belanda maka diutuslah La Pakanna Karaeng Segeri untuk bisa menangkap La Sameggu. Ternyata ada konflik batin di dalam diri La Pakanna, karena dia merasa bahwa La Sameggu adalah masih saudaranya maka La Pakanna pun dihimpit antara tugas dan nuraninya.
Sebenarnya La Pakanna juga merestui perjuangan La Semggu secara diam diam tetapi dia tidak berdaya oleh penguasa Belanda. Karena tidak bisa menentukan pilihan maka La Pakanna menembak dirinya sendiri dan tewas, ia kemudian diberi gelar anumerta, La Pakanna Karaeng Temba’engi Alena Matinroe ri Bocco boccoe.
Baca juga: Rumpa’na Bone: Perang Antara Bone Dengan Belanda (1859-1860)
Tewasnya La Pakkana menjadikan La Sameggu murka terhadap Belanda. La Sameggu sangat mengerti bahwa tewasnya La Pakanna di akibatkan oleh desakan Belanda.
Pada tanggal 28 Mei 1855 Baron T. Collot d’Escury bersama A.L. Plott membawa sekitar 30 tentara Belanda menuju Botto. Mereka mendapatkan laporan dari mata-mata bahwa disitu banyak terdapat rakyat yang telah bergabung dengan pasukan pasukan La Sameggu dengan Daeng Siruwa. Kedatangan Belanda di Botto disambut dengan sikap permusukan oleh pasukan La Sameggu dan Daeng Siruwa.
Karaeng Segeri yang baru yaitu Lapaddare Daeng Manangkasi bersama dengan Matowa Kalukua turut membantu Belanda dengan mengirimkan 500 pasukan untuk menumpas La Sameggu bersama pasukannya, tetapi serangan mereka tidak berhasil dan pasukan Belanda bersama Lapaddare terpaksa harus mundur.
Peta wilayah Segeri dan Tanete yang merupakan basis perlawanan La Sameggu Daeng Kalebbu. Foto: raremaps.com |
Banyak jatuh korban di kedua belah pihak, menurut A. Hafied Adaus diterangkan bahwa terlihat mayat mayat bergelimpangan baik dari pihak Belanda maupung pihak Daeng Kalebbu. Pertempuran tersebut tidak memuaskan La Sameggu yang ingin menuntut balas atas kematian La Pakanna. Untuk itu La Sameggu mengirim pesan pada tanggal 29 Mei 1855 kepada Baron T. Collot d’Escury untuk bersiap siap menunggu kedatangan La Sameggu beserta pasukannya besok pagi di Segeri.
Baca juga: Perjuangan La Tanring Melawan Belanda di Mallusetasi
Baron tidak mempercayai dan ragu akan keberanian La Sameggu untuk menyerangnya. Kendati demikian Baron memiliki rasa was-was karena pengalamannya bertempur beberapa hari lalu di Botto. Untuk itu Baron juga menyuruh agar pasukannya bersiaga akan kedatangan pasukan La Sameggu.
Menepati janjinya, La Sameggu menyerang markas Belanda di Segeri pada tanggal 30 Mei 1855. Baron dan La Sameggu bertempur satu lawan satu. Walaupun Belanda di Bantu oleh pasukan Karaeng Segeri tetap saja kalah. Bahkan La Sameggu berhasil mengalahkan Belanda dan memenggal kepala Baron T. Collot d’Escury untuk di bawa ke markasnya di Bulu Bukkulu.
Kemengan La Sameggu terdengar sampai ke telinga pimpinan Belanda di Sulawesi yaitu Mayoor F. Baudoin dan Gubernur Belanda di Sulawesi J. Grudelbach. Belanda sangat berang dan mengutus pasukan pasukan yang jumlahnya sangat besar dibantu juga oleh pasukan pasukan dari regent Pangkajene, Bungoro, Labakkang, Mandalle, Kalukua serta peralatan tempur dan mortar dari kapal perang Ambon yang sudah ditempatkan di Botto.
Mereka diutus ke daerah Segeri untuk menumpas La Sameggu. Waktu penyerangan telah ditetapkan oleh Kapten A.I. Camphui yaitu pada tanggal 13 Juni 1855. Dalam menghadapi pasukan besar besaran Belanda, La Sameggu tidak bertahan di Bulu Bukkulu melainkan Tanah Becue di daerah Lappa Kadieng dan Bulu Bonto.
Baca juga: Pemberontakan La Sangaji Datu Bakke di Kerajaan Tanete
Pertempuran berlangsung dengan hebat, pasukan pasukan berkuda La Sameggu menerjang pasukan pasukan Belanda dan mengakibatkan pasukan Belanda mulai mundur. Tetapi Letnan satu F. J. Terborg Granck beserta tiga orang bumiputera rupanya pantang menyerah juga dan menyemangati pertempuran sehingga menimbulkan kembali semangat pasukan pasukan Belanda.
La Sameggu berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Pada saat itu rupanya La Sameggu yang mempimpin pasukan berkuda kelelahan dan jatuh pingsan sehingga pengikutnya menyangka bahwa La Sameggu telah gugur. Pada saat jatuh pingsan tersebut pengikutnya mencoba untuk menyelamatkan jasad La Sameggu dengan menyeretnya dengan tali dan ditarik dengan kuda.
Ketika itulah La Sameggu benar benar tewas dan akhirnya pasukan La Sameggu menarik mundur dari pertempuran karena dianggap pemimpinnya telas tewas. Sampai hari ini tidak ada satupun yang mengetahui keberadaan kubur dari La Sameggu Daeng Kalebbu. Pengikut setianya sangat menjaga kerahasiaan makam La Sameggu.
Baca juga: Apakah Membunuh Karena Masalah Siri dan Pesse Dibenarkan dalam Masyarakat Sulawesi Selatan?
Oleh rakyat Segeri dan Tanete perjuangan La Sameggu cukup banyak dikenal dan mereka bahkan menganggap La Sameggu Daeng Kalebbu adalah seorang yang sakti. Untuk itu ada beberapa kalangan beranggapan tabu untuk membicarakan tentang diri La Sameggu Daeng Kalebbu.
Senjata yang digunakan oleh La Sameggu dianggap keramat oleh penduduk setempat. Beberapa senjata tersebut masih ada yang tersimpan di daerah Tanete dan keturunan keturunannya. Senjata yang popular digunakan La Sameggu adalah Passiapae.
Pada tanggal 21 Juli 1993 Presiden Republik Indonesia, H.M. Soeharto memberikan gelar kepahlawanan Nasional dan mendapatkan Piagam Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama kepada La Sameggu Daeng Kalebbu dan diakui sebagai tokoh pejuang Sulawesi Selatan.
Rujukan:
Abdul Muttalib. 1973. La Sameggu Daeng Kalebbu Dalam Perjuangan Melawan Imperialisme Belanda Pada Abad ke-XIX. (Skripsi). IKIP Negara Ujung Pandang.
La Patau Raja Tanete XIII, beliau adalah raja terakhir sebagai pemilik tahta di Kerajaan Tanete, ia memiliki prinsip lebih baik memilih meninggalkan tahta dari pada berkuasa tetapi terikat di bawah komando penjajahan Belanda. Maka tahta sebagai miliknya, dilaksanakan oleh keluarga berikut yang menggan tikannya bersifat pinjaman disebut leenforts bahasa Belanda artinya raja pinjaman, dan dalam bahasa Bugis disebut Rapang artinya raja bayangan di Kerajaan Tanete, mereka sebagai Rapang di Kerajaan Tanete bermarkas di Pancana dan Lalolang, sehingga mereka selain disebut-sebut Datu/Krg. Tanete juga melekat disebut Arung Pancana dan Arung Lalolang. Mereka adalah Larumpang Megga, Colliq Pujie, Tenri Olle, I Pancai Tana, I Patteke Tana, dan Andi Baso Jaya Langkara Datu Aji.
Meskipun mereka disebut Raja Pinjaman atau Leenforts bukan berarti mereka orang lain di Kerajaan Tanete, melainkan mereka adalah keturunan keluarga dekat karena para neneknya I Penanngareng Datu Mario Riwawo dan Latenri Sessu Opu Cenning Petta To Laowe ri Segeri adalah bersaudara seibubapa dengan La Maddusila Datu Tanete XII ayah yg melahirkan Lapatau Datu Tanete XIII. Mereka semuanya adalah keturunan We Tenri Leleang Datu Tanete XI dalam perkawinannya dengan La Mallarangeng Datu Marioriawa Matinroe ri Tenngana Lompulle.
La Patau menikah dengan I Pacu Petta Mabbola Mabbola JenneE, perkawinannya selain merupakan perkawinan antara Kerajaan Barru dan Kerajaan Tanete, juga merupakan perkawinan keluarga rumpun We Tenri Leleang, I Pacu Petta Mabbola JenneE adalah keturunan cucu dari neneknya We Tenri Abang putri We Tenri Leleang dalam perkawinannya dengan Lamappaseling Datu ri Watu Arung Pattojo. Dengan demikian perkawinannya menghubungkan kekeluargaan antara Lamallarangeng dan Lamappaseling sebagai keduanya merupakan suami We Tenri Leleang.
La Patau menikah dengan I Pacu Petta Mabbola Mabbola JenneE, perkawinannya selain merupakan perkawinan antara Kerajaan Barru dan Kerajaan Tanete, juga merupakan perkawinan keluarga rumpun We Tenri Leleang, I Pacu Petta Mabbola JenneE adalah keturunan cucu dari neneknya We Tenri Abang putri We Tenri Leleang dalam perkawinannya dengan Lamappaseling Datu ri Watu Arung Pattojo. Dengan demikian perkawinannya menghubungkan kekeluargaan antara Lamallarangeng dan Lamappaseling sebagai keduanya merupakan suami We Tenri Leleang.
Sebentar dilanjutkan
I Pacu adalah keturunan ahliwaris Lawawo Addatuang Sidenreng XII dan Arung Berru, dalam penikahannya dengan Lapatau Datu Tanete XIII, melahirkan 4 orang Putra; La Paremma, La Cennge, La Tina Uleng, dan La Panaongi To Pasanrangi Baso Mattapie Arung Tompo Bulu Matajang.
Putra Lapatau disebut terakhir di atas dinikahkan dengan keluarga sepupunya keturunan Arung Belo A. Isa Petta Koro dalam perkawinannya melahirkan seorang putra diberi nama A. Muh. Ayyub Dg. Pasolong yang disapa masyarakat Petta Solong, Puang Solong atau Puang Sikki, ia menikah di Belo dengan St. Hamidah dalam keluarga besar Ponggawa ri Belo melahirkan 3 org anak, salah satunya sebagai ayah kandung Penulis yakni A. Zaenal Abidin/A. Zaenong Dg. Mappoji.
Wilayah sebagai peninggalan politik Lapatau di Kerajaan Tanete tidak berarti semuannya langsung telah di bawah kendali pemerintahan kolonial di Pancana dan Lalolang, tetapi di daerah pedalaman disebut Tompo Bulu, Alekale dan Lajoanging; maka di daerah tersebut pengaruh Lapatau dan keturunannya bagi masyarakat tetap berkibar dan berkiprah sebagai Raja sesungguhnya. Salah satunya dari Putra La Patau; yakni Lapanaongi To Pasanrangi Sultan Abd. Karim A. Beddu Baso Mattappie Arung Tompo Bulu Matajang. Ia bertahta Arung di Pedalaman dan kediamannya di Coppo Dusun Matajang Desa Lalabata.
Ia lebih dikenal masyarakat sebagai pemilik ahliwaris Kerajaan Tanete bergelar Bumi Lapatau, dibanding keluarga yang bermarkas di Pancana sebagai Arung pinjaman kolonial.
Di Coppo Dusun Matajang sebagai pusat kerajaan, secara geografis institusinya adalah kerajaan bukan milik dikuasai kolonial, selain historisnya disebut Tompo Bulu, juga Alekale dan Lajoanging.
Sekarang ini, di sepanjang wilayahnya telah diadakan perubahan disebut Tanete Riaja dan Pujananting. Wilayahnya merupakan daerah pedalaman menyeluruh di pegunungan.
Coppo seharusnya berkiprah dipertahankan pemerintah daerah sebagai tempat berbudaya, tetapi Tuhan Yang Menginginkan yang lain di luar keinginan makhluknya, Coppo beransur menurun dan akhirnya tidak berdaya menantang kegalauan politik di antara sesama kerajaan, mereka telah tidak sepaham bersatu padu atau satu sama lainnya bermusuhan setelah mereka secara politis berhasil diadudomba Belanda bergelar La Pute Mata bahasa Bugis artinya Si Mata Putih.
Coppo lokasinya bersejarah sebagai tempat pelantikan raja, popularnya tertutup di peredaran zaman, terutama disebabkan kekacauan politik di antara sesama kerajaan, dan dengan merajalelanya perampokan di setiap wilayah, khususunya di kerajaan2 sebagai sasaran. Kerajaan Tompo Bulu salah satunya merupakan sasaran yang menewaskan Raja bergelar Basu Tungke’na Tanete Petta Mattappie bahasa Bugis artinya Putra Dwa Tunggal yang Si Raja Pemberani. Beliau meninggal perkiraan beberapa tahun sebelum ekspedisi Belanda pada tahun 1905. Ia secara terhormat di sisi Tuhan YME gugur sebagai seorang mati syahid yang membela hak-haknya, dan sepeninggalnya beliau digelar anumerta Matinroe ri Assaorajangenna Lapinceng ri Coppo Lalabata Dusun Matajang Kecamatan Tanete Rilau.
Coppo adalah areal tempat setiap Pampawa Ade’ dilantik, di sini tempat sebuah Saoraja berdiri disebut La Pinceng, adalah rumah kediaman Arung Tompo Bulu bernama selengkap-lengkapnya La Panaongi To Pasanrangi Slt. Abd. Karim A. Beddu Baso MattapiE, dan di sana dimakamkan bersama dengan permaisurinya A. Fatimah yang tidak melahirkan keturunan.
Raja berinisial tersebut hanya melahirkan seorang putra Andi Ayyub Dg. Pasolong dalam hubungan perkawinan Sang Raja dengan Andi Isa Petta Koro Putri keturunan Ar. Belo. Ia secara akrab disapa Dg. Pasolong, Andi Solong, Puang Solong dan Puang Sikki.
Coppo merupakan sumber matarantai yang membangkitkan Kerajaan Tanete kembali kepada asal muassalnya setelah dijajah Belanda sejak tahun 1855 La Rumpang Megga diangkat sebagai Raja Tanete menggantikan Lapatau bergelar Matinroe ri Salomoni. Ia memilih lebih baik meninggalkan tahta miliknya, dan meninggalkan pesan sangat bermakna ; Sorongengmoka lopikku ulaona sompeq artinya silahkan perahuku didorong saya dapat merantai. Istilah Sompe bahasa Bugis adalah kepergian yang ditunggu akan kembali, berbeda dengan kata hijrah artinya pindah atau malekke dapureng bahasa Bugis. Dengan demikian, Kerajaan Tanete akan kembali berputar ke habitatnya. Memang ada pesang berkata. Aja’ Muengka Salaiwi Tanete, Narekko’ Engkani Titti Onroiwi Titti’na, Narekko Engkani Moppang Onroiwi Alekkena.
Lewamui Parimeng Tanete, Narekko Reweni MemengE Arung ri Tanete Mapparenta.