Barru Raya

Sejarah Kecamatan Mallusetasi, Kabupaten Barru

Jauh sebelum terbentuknya Kabupaten Barru atau datangnya pemerintah Hindia Belanda, di daerah Mallusetasi terdapat empat kerajaan kecil yang berkuasa yaitu Nepo, Bojo, Bacukiki dan Soreang. Mallusetasi sendiri berasal dari pepatah kuno bahasa Bugis yaitu “nakkangului nanrena, nalusereng tasi’na” yang memiliki arti secara harfiah “berbantalkan nasi dan beralaskan laut,” ini diartikan sebagai daerah yang berkecukupan dalam hal makanan.

Masa Kerajaan.
Dijelaskan di atas bahwa terdapat beberapa kerajaan kecil yang berkuasa dan berdiri sendiri antara lain: Pertama, Kerajaan Nepo, yang membawahi lagi kerajaan yang lebih kecil seperti Manuba (onyi), Mareppang dan Palanro. Kedua, Kerajaan Soreang yang daerahnya meliputi sebahagian Kota Parepare (sekarang). Ketiga, Kerajaan Bacukiki. Dan terakhir, Kerajaan Bojo.

Keempat kerajaan ini tergabung dalam satu ikatan atau konfederasi yang disebut Lilipassiajing. Lili artinya kelompok, Passiajing artinya hubungan kekerabatan. Lilipassiajing adalah suatu ikatan kesatuan berdasarkan hubungan darah atau turunan. Hal ini dapat dilihat bahwa raja yang berkuasa pada keempat kerajaan tersebut mempunyai garis turunan yang berasal dari Addatuang Sidenreng.

Baca juga: Perspektif Baru Sejarah Kemunculan Kerajaan Nepo

Beberapa peristiwa penting pernah terjadi antara kerajaan-kerajaan ini, salah satunya yaitu terjadinya perang antara Nepo dan Suppa. Pada akhir abad XVIII hingga awal abad XIX, kerajaan Nepo di perintah olah seorang raja yang bernama La Bongngo, di samping raja ini terdapat 40 orang yang menjabat sebagai penasihat raja, keempat puluh orang ini juga dijuluki sebagai Arung Patappuloe.

La Bongngo sebenarnya merupakan salah seorang putra raja Suppa, La Bongngo dianggap sebagai seorang raja yang bodoh, pemalu dan masih bujangan. Pengangkatan Raja La Bongngo dianggap masyarakat sangat memalukan, atas dasar itu untuk mengatasi hal ini maka La Bongngo sebagai raja Nepo kemudian dinikahkan dengan putri Arung Mareppang. La bongngo menjalankan pemerintahan didampingi Arung Patappuloe sekaligus menjadi pengawal.

Pada suatu ketika Datu Suppa, ayah La Bongngo minta bantuan pada rakyat Nepo untuk menebang kayu pembuatan Istana Datu Suppa. La Bongngo kemudian mengirim rakyatnya. Sebelum berangkat, mereka diberi amanat bahwa setelah pohon itu ditebang, diikat dan ditarik ke tempat raja melewati pemukiman. Oleh masyarakat perintah ini betul-betul dilakukan, yaitu menebang dan mengikat selanjutnya menarik kayu-kayu tadi ke tempat raja melewati pemukiman. Hal ini menyebabkan kerusakan pada rumah penduduk. Raja Suppa murka dan rakyat Nepo segera disuruh pulang.

Baca juga: Arung Patappuloe: Empat Puluh Raja yang Memerintah Secara Bersamaan

Kedua kalinya Datu Suppa kembali minta tenaga untuk menanam padi, sebelum berangkat La Bongngo kembali memberi amanat kepada rakyatnya bahwa apabila sampai tengah hari belum juga diberi makan, maka cara tanam harus diubah yaitu dengan membalik akarnya ke atas.

Sampai pada saat menanam tiba, apa yang dikhawatirkan La Bongo betul terjadi. Tengah hari mereka belum diberi makan. Maka Tita sang raja pun dilakukan. Raja Suppa kembali murka dan menyuruh rakyat Nepo pulang.

Beberapa tahun berselang terjadi musim kemarau panjang yang menimbulkan bahaya kelaparan, maka Datu Suppa mengirim seorang utusan untuk meninjau keadaan penduduk Nepo. Pada saat utusan utu tiba, dari jauh telah tampak kesibukan orang mencincang batang pisang dan buah Sala-sala. Karena bentuk buah sala-sala menyerupai anak panah, maka utusan tadi beranggapan bahwa masyarakat Nepo giat membuat persiapan perang untuk melawan Suppa karena dikaitkan dengan peristiwa beberapa tahun lalu itu.

Utusan itu tidak menunaikan tugasnya secara sempurna. Karena kesalahan penafsiran dan segera kembali melapor pada raja Suppa. Selanjutnya raja murka dan mengirim surat kepada raja Nepo, supaya Nepo membuat benteng setinggi bubungan untuk melawan Suppa.

Sejarah Mallusetasi (Arung La Calo)
Arung La Calo, raja terakhir Nepo/Mallusetasi. Foto: (Facebook: Muhammad Firman Andi)

Setelah dipertimbangkan dengan Arung Patappuloe dengan Puang Ripakka, maka surat Datu Suppa segera dibalas dengan mengatakan menerima baik maksud Datu Suppa dengan kata lain Siap melawan. Akhirnya terjadi pertempuran di mana kedua belah pihak menelan korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya.

Dengan melihat korban yang begitu banyak maka dilakukan gencatan senjata di mana kedua belah pihak Siattanroang (saling mengangkat sumpah). Dengan dasar itu, tempat mengangkat sumpah tadi disebut Kampung Attanroangnge atau Pattanroangnge (Wilayah Desa Nepo sekarang).

Adapun isi sumpahnya dengan artian bebas adalah “Kalau Suppa yang menghendaki agar Nepo binasa, maka Suppa akan hancur lebur seperti hancurnya cangkir yang dijatuhkan dan begitu pun sebaliknya.”

Dengan demikian berakhirlah perang antara Ayah dan anak yang disebabkan oleh kesalahpahaman. Sejak itu kerajaan Nepo menjadi besar dan kuat yang daerahnya sebagian besar daerah. Sebagai pengganti La Bongngo setelah meninggal dunia ia diganti oleh salah seorang dari Arung Patappuloe yang mempunyai hubungan darah dengan Addatuang Sidenreng dan dari raja ini lahirlah I Messang, Ibu dari I Simatana (Petta Tellu Latte) yang nantinya menjadi Raja Mallusetasi yang pertama.

Masa pemerintahan Hindia Belanda.
Sekitar tahun 1900 Belanda berhasil menduduki Bone, tahun 1905 menggempur Soppeng dan berhasil menduduki kerajaan itu namun menerima perlawanan sengit. Kemudian sampai ke daerah Mallusetasi. Pada tahun 1906 terbentuklah Kerajaan Mallusetasi yang merupakan himpunan dari kerajaan Soreang, Bacukiki, Bojo dan Nepo dengan raja pertama yaitu Arung Nepo I Simatana.

Pemerintah Hindia Belanda menjadikan Mallusetasi sebagai Zelfbestuur Mallusetasi yang terbagi dalam tiga distrik, di antaranya Distrik Soreang, Distrik Bacukiki (Bacukiki-Bojo), dan Distrik Nepo. Arung I Simatana kemudian naik jabatan dari Arung Nepo Menjadi Arung Mallusetasi. Sementara orang yang menggantikannya berkuasa di Nepo dibentuk jabatan baru dengan gelar Matoa Nepo yang dijabat pertama kali oleh Muhammad Yusuf (Matoa Yusuf).

Struktur Pemerintahan yang berlaku di Mallusetasi yaitu Raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, dalam menjalankan tugasnya, dibantu oleh jabatan Sulewatang dan Pabbicara. Sulewatang atau Passele ale, yaitu orang yang diberikan tugas menjalankan pemerintahan sehari-hari apabila raja berhalangan. Sedangkan Pabbicara merupakan juru bicara kerajaan, selain itu juga bertugas menyelesaikan perkara berdasarkan adat dan agama. Pada tahun 1917 Arung i Simatana diganti oleh kemanakannya yaitu Andi I Makung hingga tahun 1934.

Masa Pendudukan Jepang dan Proklamasi hingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Pada tahun 1942 Jepang menduduki seluruh daerah Mallusetasi. Oleh Jepang, Struktur Pemerintahan Zelfbestuur Mallusetasi diganti menjadi Suco Mallusetasi, sementara setiap distrik menjadi Gunco. Sementara itu ibu kota Mallusetasi dipindahkan dari Palanro ke Parepare.

Setelah Jepang menyerah tahun 1945, kembali pemerintahan Hindia Belanda mengembalikan dari Suco Mallusetasi menjadi Zelfbestuur Mallusetasi. Sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, untuk sementara Pemerintahan Mallusetasi belum berubah hingga terbentuknya Negara Indonesia Timur (NIT) yang dicetuskan pada Konferensi Malino 23 Desember 1946.

Tetapi setelah NIT bubar menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia tepat pada tanggal 27 Desember 1949, maka Zelfbestuur Mallusetasi berubah menjadi Swapraja Mallusetasi yang terdiri dari Distrik Soreang, Bacukiki, Bojo dan Nepo.

Terbentuknya Kecamatan Mallusetasi.
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka berlaku peraturan Undang-undang No. 29 tahun 1959 tentang Pembentukan Dati II Sulawesi Selatan Tenggara, sejak itu dipisahkan menjadi Kotapraja Parepare meliputi Soreang dan Bacukiki, sementara Kecamatan Nepo dan Bojo menjadi satu dan masuk Daerah Tingkat II Barru.

SK Gubernur Kepala Daerah Tk. I Sulawesi Selatan Tenggara No.110/1961 tentang Pengukuhan Wilayah Kecamatan, maka terbentuklah Kecamatan Nepo Bojo menjadi Kecamatan Mallustasi yang terdiri dari empat Desa, yaitu Desa Bojo, Desa Mallawa (Kelurahan Mallawa sekarang), Desa Nepo, dan Desa Cilellang. [Rujukan: https://id.scribd.com/doc/88385592/SEJARAH-KECAMATAN-MALLUSETASI].

8 Komentar

  • I Sima Tana bukan I Messang ibunya, I Messang adalah nenek leluhurnya keluarga besar disebut Arung/Ade PatappuloE. I Sima Tana asal usulnya dari luar To Tama-tama, ia keturunan Sumange Rukka Arung Pao2 Tanete dalam perkawinan dengan Indo Angkani To Madello melahirkan Laboddi yang menikah dengan I Kamaria To Menre, dalam perkawinannya lahirlah I Sima Tana. Jadi, Isima Tana sama halnya La Bongngo, bukan manusia pribumi di Nepo atau tania To Lise kampong ri Nepo.

    • I Sima’tana anak dari La Cincing Akil Ali Arung Matowa Wajo. Keponakan La Panguriseng Addatuang Sidenreng. Bukan To Tama Tama. Wilayah Nepo itu adalah atas penguasaan Addatuang Sidenreng.

  • Institusi politik sebelum institusi Nepo Lili Kerajaan Suppa disebut Ade PatappuloE, mereka bermusyawarah sepakat menaklukkan diri berada di bawah naungan dianggap kerajaan senior bergensi yaitu Kerajaan Suppa. Tidak sejarahnya bahwa pernah terjadi perang antara Suppa dan Nepo, itu bukan fakta atau mengada-ada dan tidak masuk akal, Nepo adalah daerah perlindungan disebut protektorat, dilindungi oleh Suppa pada waktu itu.

  • Mallusetasi terbentuk berdasarkan kebijakan administrasi politik Belanda bersifat konfederasi atau passiajingeng bahasa Bugisnya, sebagai satu zelfbestur terdiri atas wilayah secara adat berbeda, yaitu Nepo, Palanro, Bojo, Bacukiki dan Soreang. Pengangkatan Arung Mallusetasi di luar pengangkatan adat, pengangkatannya serupa dengan Arung Soppeng Riaja di Mangkoso yang membawahi beberapa wilayah adat yang berbeda disatukan sebagai satu konfederasi/passiajingeng, yaitu, Balusu, Kiru-Kiru, Ajakkang, Laboso, Siddo, Ceppaga dan Batupute. Mallusetasi dan Soppeng Riaja di Kabupaten Barru keduanya merupakan institusi politik bayangan kolonial berdiri berdasarkan sistem konfederasi yang berbeda dengan di Kerajaan Tanete dan Barru

  • Istilah Passiajingeng bahasa Bugis tidak hanya berarti keluarga berhubungan darah, tetapi artinya di dalam politik bernegara adalah persatuan, perserikatan atau konfederasi. Keluarga memerintah sebagai keturunan Addatung Sidenreng adalah La Calo putra La Sadapotto. La Calo menikah dengan I Makung keluarga I Sima Tana isteri La Bondeng Arung Jampu Putra I Passule Addatuang Sawitto ke 11.

  • Tabe buat penulis bingung juga baca cerita sejarah nya…mungkin karna kurang nya refrensi sejarah…bagus kalo berimbang cerita sejarahnya…saran saya bagus datanya diambil juga dari Lontaraq Suppa,Sawitto dan Sidenreng supaya lebih kaya dan menarik tulisan nya wassalam…

    • Terima kasih banyak atas masukannya pak. Akan kami gunakan untuk lebih baik ke depannya. Siapa tahu pak punya tulisan yang ingin dimuat juga di Attoriolong bisa kirim lewat email [email protected] ya pak.

Tuliskan Komentar