untuk menggalang persatuan dan kesatuan dalam suatu wadah perjuangan yang lebih nyata guna menegakkan, membela, dan mempertahankan kemerdekaan yang telah di proklamasikan, maka berbagai laskar-laskar dibentuk sebagai wadah perjuangan, diantaranya ada Laskar Ganggawa, Laskar Lipang Bajeng, Laskar Harimau Indonesia, Laskar Gerakan Pemuda Tanete, serta masih banyak lagi laskar perjuangan yang dibentuk di berbagai pelosok Sulawesi. Salah satu laskar perjuangan yang menarik untuk kita simak kisah perjuangannya adalah Laskar Gerakan Pemuada Tanete (GPT) di bawah pimpinan Abdul Karim yang dibentuk di wilayah Tanete yang sekarang telah menjadi bagian dari Kabupaten Barru.
Bermula dengan diadakannya rapat umum di sekitar komplek galangan kapal Jepang di kampung Matene Padaelo pada tangggal 15 September 1945. Pada rapat umum yang dihadiri oleh semua lapisan sosial masyarakat tersebut, atas kerjasama Andi Abdul Muis dan Abdul Karim serta tokoh masyarakat dan pemuda, akhirnya berhasil dibentuk Gerakan Pemuda Tanete (GPT), Ketika itu Abdul Karim ditunjuk sebagai komandan GPT.
Baca juga: Andi Abdul Muis Tenridolong, Pemimpin Gerakan Pemuda Tanete
Setalah rapat umum selesai, dibawah pimpinan Abdul Karim, dengan bersenjatakan klewang, samurai, bambu runcing dan lain, dengan semangat yang berapi, pemuda melakukan penyerbuan terhadap galangan kapal milik Jepang dan berasil merampas kapal kayu, truk dan beberapa senjata milik jepang.
Dua hari kemudian, yaitu 17 september 1945, dengan menggunakan mobil Jepang yang dirampas, pemuda dibawa pimpinan Abdul Karim melakukan penyerbuan ke tempat tentara Jepang di Paciro dan Takkalasi, hal ini dilakukan karaena mereka mendapat informasi bahwa tentara Jepang di tempat itu memiliki banyak senjata, samurai, seragam Jepang dan gula pasir. Sementara tentara Jepang yang ada di tempat itu sudah menegetahua bahhwa mereka kalah perang dan bersiap hendak menyerahkan diri pada sekutu tidak member reaksi apa-apa dan membiarkan pemudah menyita barang tersebut.
Relief pada tugu perjuangan di Kota Barru yang memperlihatkan perjuangan masyarakat Barru |
Pada akhir bulan September 1945, Andi Abdul Muis berangkat ke Enrekang untuk mencari senjata. Pada waktu Andi Abdul Muis sedang pergi mencari senjata di Enrekang, datang instruksi dari Makassar dan Parepapre yang ditunjukkan kepada Andi Abdul Muis ntuk mengadakan upacara pengibaran bendera Merah Putih. Atas inisiatif Andi Hajerah dan Andi Seno, dilakukanlah upacara pengibaran bendera di Matene, pada upacara pengibaran yang dihadiri oleh Andi Abdul Kadir Tenrisessu, Abdul Karim, Abd Rahman Gazali dan para pemuda serta rakyat umum. Abdul Karim komandan GPT, atas nama seluruh hadirin mengucapkan sumpah setia proklamasi kemerdekaan Republic Indonesia, dan Andi Abd Kadir Tenrisessu berpidato untuk mengobarkan semangat perjuangan rakyat.
Baca juga: Riwayat Perjuangan Laskar Gerakan Pemuda Tanete
Pada tanggal 2 Oktober 1945, diadakan lagi pertemuan di Masjid Lalabata dengan dipimpin oleh Andi Abdul Muis Tenridolong yang dihadiri sekitar 100 orang dari berbagai Unsur sosial masyarakat. Pada pertemuan tersebut, akhirnya berasil diambil keputusan bahwa seluruh masyarakat Tanete menyatakan kebulatan tekad berdiri di belakang Republik Indonesia dan pemerintahan Tanete memisahkan diri dari Onder Afdeling Barru, serta mengadakan hubungan lansung dengan pemerintah Indonesia. Disamping itu juga menetapkan Andi Abdul Muis sebagai kepala pemerintahan Tanete dan Ketua KNI Tanete.
Sedangkan anggota bawahan GPT diserahkan kepada Abdul Karim sendiri untuk menunjuknya sendiri dan pertemuan selnjutnya akan diadakan kembali di Bottoe pada 12 November 1945. Pertemuan tersebut diketuai langsung oleh Andi Abdul Muis, didahului dengan upacara pengibaran Bendera Merah Putih. Pada pertemuan tersebut ditentukan anggota-anggota laskar GPT, selain itu Abdul Karim tampil dengan mengucapkan baiyat, “jika saya khianat dan tertangkap hidup-hidup oleh Belanda, saya akan mencair bagaikan air.”
Pada tanggal 30 November 1945, pasukan GPT dibawa pimpinan Abdul Karim melakukan penghadangan di Butung, Atas penghadangan tersebut pihak sekutu lansumg turun tangan dan keesokan harinya, 1 Desember 1945, pasukan sekutu segera menemui dan menyampaikan ultimatum kepada pemimpin GPT agar semua senjata hasil sitaan dari Jepang harus diserahkan kepada sekutu, namun ultimatum tersebut ditolak mentah-mentah oleh Abdul Karim. Bahkan Abdul Karim memerintahkan agar seluruh rakyat bersiap-siap menghadapi serangan yang akan dilancarkan pasukan Belanda nantinya. Sementara pasukan Belanda (NICA) telah ersiap-siap di Barru untuk menyerang apabila ultimatum tidak dipenuhi nantinya hingga batas waktu yang telah ditentukan.
Baca juga: Peranan La Bandu Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di Tanete-Barru
Ternyata ultimatum tersebut tidak dipenuhi hingga batas waktu yang ditentukan, sehingga pada tanggal 7 Desember Belanda melancarkan serangan ke Tanete, terjadilah pertempuran antara kedua belah pihak, Pertempuran berlansung mulai setelah shalat ashar dan berakhir ketika menjelang Magrib, setelah pasukan Belanda mengundurkan diri ke Barru.
Pada malam harinya, beberapa anggota pejuang memutuskan kawat telepon di Bottoe, sementara pasukan GPT yang lainnya melakukan pembongkaran jembatan Bottoe. Namun belum selesai jembatan Bottoe dibongkar, tiba-tiba muncul mobil dari arah Barru menuju Bottoe yang mengangkut serdadu KNIL, sehingga pertempuran kembali terjadi antara kedua belah pihak, pada awalnya pasukan GPT mampu mengimbangi serangan KNIL, namun persenjataan pasukan GPT kalah kuat sehingga memaksa mereka untuk mundur, dalam pertempuran tersebut, pihak GPT mengalami kerugian besar karena ditangkapnya beberapa anggota pejuang.
Sejak peristiwa tersebut, Abdul Karim dan anggota GPT lainnya mengundurkan diri ke Coppo Lalolang. Meskipun beberapa Unsur GPT telah ditangkap, namun Abdul Karim tetap mengobarkan perjuangan dan menghimpun kekuatan di Coppo Lalolang kemudian menjadikan tempat itu sebagai markas pusat perjuangan, namun tak lama kemudian tempat tersebut kembali diketahui Belanda sehingga markas dipindahkan ke Bukit Jelloreng.
Baca juga: Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi dan Konferensi Paccekke
Di tempat itulah pimpinan Laskar Ganggawa Andi Mannaungi bersama beberapa orang pengawal datang dari Sidenreng-Rappang untuk menjalin kerjasama sehingga bangkit kembali semangat para anggota laskar GPT. Demi keamanan pembicaraan antara pmpinan Laskar Ganggawa dan pimpinan GPT, maka markas GPT dipindahkan lagi ke Coppo Panning.
Untuk mengimbangi kekuatan Belanda yang semakin memperkuat kedudukannya di Barru, maka Abdul Karim mengirim beberapa anggotanya untuk mencari senjata di Kalimantan, namun baru sampai di perairan Suppa dan Parepare, mereka dikepung oleh pasukan patroli musuh di perairan sehingga terjadi adu tembak, akhirnya semua anggota GPT di perjalanan tersebut gugur dan tenggelam bersama perahunya kedalam laut. Itu merupakan pukulan berat terhadap GPT, terlebih lagi setelah pasukan Belanda melakukan serangan balasan dengan membakar rumah-rumah yang dianggap memihak para pejuang. Karena itu, Abdul Karim mengerahkan pasukannya di Coppo Panning untuk melakukan serangan umum terhadap pertahanan Belanda di Barru dan Pancana.
Abdul Karim memusatkan pasukannya di Lamattanru, Bottoe. Ketik melakukan konsolidasi, tiba-tiba muncul mata-mata NICA, kemudian orang tersebut ditegur, sehingga mata-mata tersebut lari, Abdul Karim lansung melepaskan tembakan kea rah orang tersebut namun tembakannya masih meleset, rapat dilanjutkan kembali tanpa timbul dugaan mata-mata tersebut akan mengirim pasukan KNIL di Bottoe.
Baca juga: Tanete-Barru Pada Masa Pemerintahan Andi Baso Paddippung
Dengan lolosnya mata-mata tersebut maka rencana dan lokasi anggota GPT diketahui oleh musuh, oleh karena itu pasukan KNIL dikerahkan untuk melakukan penyergapan terhadap pejuang yang sedang beristirahat di Bottoe. Komandan laskar GPT Abdul Karim lansung menyambut pormasi musuh degan persiapan serangan pula sehingga terjadilah pertempuran pada tanggal 22 April 1946. Pasukan laskar GPT berusaha maju mendekat melewati desingan peluru musuh agar bias sampai dalam jangkauan lemparan granat, sementara Abdul Karim tidak membuang peluruh bila bidiknnya tidak tepat, setelah pertempuran selama 2 jam, Abdul Karim akhirnya terkena tembakan dan gugur, ia masih sempat dilarikan oleh pengawalnya La Dullah namun juga ikut tertembak dan gugur.
Abdul karim telah membuktikan sumpahnya, bahwa haram baginya, musuh menangkap dirinya dalam keadaan hidup. Bersama dengan pasukannya yang setia, abdul karim telah menambah pusara pahlawan kemerdekaan Indonesia.
Tuliskan Komentar