Tradisi Maddebbang adalah pembuatan rebbang atau pagar yang terbuat dari bambu berbentuk segi empat panjang mengitari tanah tempat menanam ari-ari bayi yang baru saja lahir.
Makna rebbang yang memiliki empat sisi bahwa hal tersebut sebagai acuan untuk mengukur tingkat kesempurnaan yang dimiliki seseorang. Kesempurnaan yang dimaksud itu adalah keberanian, kebangsawanan, kekayaan, dan ketampanan atau kecantikan. Kelak menjadi sebuah pengharapan bagi sang anak.
Pada tradisi Maddebbang, diwajibkan untuk menyediakan rebbang atau pagar sesajian. Dalam acara aqiqahan, harus dibuat rebbang atau pagar sesajian yang terbuat dari bambu. Bahan pokok pembuatan bala soji adalah bambu yang bermakna bahwa pohon bambu ketika awal pertumbuhannya atau sebelum memunculkan tunas dan daunnya terlebih dahulu menyempurnakan struktur akarnya.
Akar yang menunjang ke dasar bumi membuat bambu menjadi sebatang pohon yang sangat kuat, lentur, dan tidak patah sekalipun ditiup angin kencang. Lebih jauh memahami filosofi pohon bambu tersebut, maka anak yang dilahirkan diharapkan memiliki kehidupan seperti filosofi bambu.
Baca juga: Tradisi Mappadendang dan Mattojang di Paccekke
Rebbang tersebut dibuat di halaman rumah pembuat hajatan. Apabila bayi berjenis kelamin perempuan, maka dibuat di depan rumah pembuat hajatan agar perempuan mudah dilihat sehingga kelak dewasa mudah dilamar orang. Itula hsebabnya dibedakan antara rebbang laki-laki dan rebbang perempuan.
Kegiatan adat maddebbang dibuat oleh kaum laki-laki dengan gotong royong, sehingga terjalin kekerabatan dalam suatu kelompok masyarakat tersebut. Di dalam rebbang terdapat sebuah periuk tanah liat berisi plasenta bayi, selain itu rebbang juga diisi dengan berbagai macam makanan seperti: kelapa, pisang,ayam, songkolo patarrupa, kalosi, daun paru, daun sirih, telur, sawa’ dan ketupat.
Semua makanan tersebut memiliki makna yang baik, yakni buah kelapa sebagai tempat penyimpanan rambut bayi juga menjadi sebuah tradisi dikalangan masyarakat, padahal para ulama Mesir terdahulu tidak menggunakan buah kelapa, melainkan menggunakan segelas air bersih agar rambut bayi tidak berhamburan ,dalam hal ini pula rambut bayi ditimbang dan seberat itu pula akan dikeluarkan senilai harga emas untuk disedekahkan kepada fakir miskin.
Baca juga: Mappadendang dan Sere Api
Penggunaan buah kelapa dikalangan masyarakat dalam pelaksanaan aqiqah hanya sebuah tradisi yang dibudayakan, dan telah dilakukan secara turun temurun.
Pisang yang digunakan dalam tradisi maddebbang sebanyak 1 sisir. Pisang tersebut melambangkan jari-jari tangan, di mana jari-jari tangan tersebut digunakan untuk mengumpulkan rezeki. Ayam yang digunakan dalam tradisi maddebbang sebanyak 1 ekor ayam jantan. Ayam yang digunakan sebagai lambang kebebasan untuk mencari rezeki.
Sokko’ patarrupa adalah beras ketan yang dimasak dengan ditambahkan pewarna. Sokko’ terdiri dari 4 warna yaitu hitam, putih, merah dan kuning. Sokko’ warna hitam melambangkan tanah, sokko’ warna putih melambangkan air, sokko’ warna kuning melambangkan yang bernyawa atau angin, dan sokko’ warna merah melambangkan api.
Kalosi adalah buah pinang, dalam bahasa Bugis berarti pergi atau berjalan. Penyajian buah kalosi memiliki makna agar anak dapat berjalan dijalan yang lurus. Daun Sirih diartikan dalam bahasa Bugis yakni malu, hal ini bermakna agar anak dapat memiliki sifat malu dalam kehidupannya.
Baca juga: Tradisi dan Prosesi Marakka Bola di Kabupaten Barru
Daun Paru diartikan dalam bahasa bugis sebagai sesuatu yang baru, hal ini bermakna bahwa kehidupan anak telah dimulai. Sawa’ dan Ketupat diikat menjadi satu hal ini berarti agar anak kelak tidak pergi ke tempat yang salah atau terpisah-pisah.
Adapun rebbang disiapkan dua buah yakni berada diatas rumah dan di bawah rumah, Perbedaan kedua rebbang tersebut yaitu terdapat pada telur yang disajikan, yakni telur masak yang berada di rebbang atas rumah yang memiliki arti bahwa siap untuk dimakan, sedangkan telur mentah yang berada dibawah rumah diartikan untuk pemilik tanah yang diyakini oleh masyarakat setempat sebagai nenek moyang terdahulu.
Masyarakat setempat memahami adanya rebbang sebagai rumah ketika seseorang mati. Kemunculan rebbang tidak serta merta langsung ada, namun orang tua dahulu menjadikannya sebagai pelindung makanan. Dahulu berupa hutan yang memiliki banyak binatang buasnya yang kapan saja bisa memakan makanan yang telah disajikan.
Masyarakat menganggap dan mempercayai bahwa hal ini adalah tradisi turun temurun yang harus diikuti dari orang tua dulu, maka penyajiannya menjadi sesuatu yang harus ada dalam melaksanakan aqiqah. Banyak yang tidak melakukan akan tetapi banyak pula yang melakukan. Tergantung dari masing-masing individu apakah ingin melaksanakan atau tidak.
Tuliskan Komentar