Modern Nasional

Sri Sultan Hamengkubuwono IX Menyerahkan Jiwa Raga dan Harta untuk Indonesia

Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah anak kesembilan dari Sultan Hamengkubuwono VIII dengan istri kelimanya RA Kustilah/KRA Adipati Anum Amangku Negara/Kanjeng Alit.

Ia lahir pada masa pemerintahan Belanda di Ngayogyakarta Hadiningrat (sekarang Yogyakarta) pada 12 April 1912 dengan nama Bendoro Raden Mas Dorodjatun di Ngasem.

Sebagai keturunan langsung dari Sultan, ia diangkat menjadi Raja Kesultanan Yogyakarta ke-9 mulai 18 Maret 1940 sampai menghembuskan nafas terakhirnya di usia 76 tahun pada 2 Oktober 1988 di Amerika.

Saat itu ia diberi gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga. Sebuah gelar yang cukup panjang memang.

Baca juga: Sejarah Pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia

Di bawah pimpinan Hamengkubuwono IX inilah Yogyakarta banyak mengalami perubahan. Ia sangat berani dan dengan tegas menentang kaum penjajah. Ia bersemangat memperjuangkan nasib rakyat Yogyakarta agar segera meraih otonomi sendiri.

Empat tahun waktunya dihabiskan untuk bernegosiasi dengan Dr Lucien Adam selaku Diplomat Senior Belanda. Kemudian, di masa penjajahan Jepang, ia berada paling depan dalam menolak pengiriman romusha yang mengadakan proyek lokal saluran irigasi Selokan Mataram.

Hamengkubuwono IX yang jengah terhadap intimidasi haus akan kemerdekaan. Ia lantas mendorong pemerintah RI agar bisa merdeka dan memberi status Istimewa bagi Yogyakarta. Perjuangannya bersama Paku Alam IX menjadi penguasa lokal pertama yang menggabungkan diri ke Republik Indonesia pun terwujud.

Setelah kemerdekaan diproklamirkan, Indonesia tidak memiliki simpanan dan kekayaan apapun. Apalagi untuk menjalankan roda pemerintahan Republik yang baru berdiri seumur jagung, membayar gaji pegawai negeri sipil pun tak mampu.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX (kiri) saat dilantik oleh Soekarno (kanan). Foto: boombastis.com

Kondisi itu diperparah dengan upaya Belanda untuk merebut kembali tanah Republik, sampai negeri Kincir Angin menyerahkan kedaulatan kepada rakyat Indonesia pada 27 Desember 1949, kas negara masih dalam keadaan kosong melompong.

Kondisi itu mendorong rasa nasionalisme Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Seluruh kekayaan milik Kesultanan Yogyakarta diserahkan kepada Presiden RI pertama Soekarno. Kejadian ini berlangsung di dalam keraton dan disaksikan para pembantu presiden serta abdi dalem.

Yogyakarta sudah tidak punya apa-apa lagi. Silakan lanjutkan pemerintahan di Jakarta,” itulah yang diucapkan Hamengkubuwono IX.

Tanpa disangka, air mata Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengalir. Begitu pula dengan Soekarno dan sejumlah menteri yang tak kuasa menahan tangis melihat kebesaran hati seorang raja, yang mengorbankan seluruh materi kerajaan untuk kepentingan Republik Indonesia.

Baca juga: 15 Fakta Sejarah Saat Awal Kemerdekaan Indonesia yang Jarang Diketahui

Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberikan sumbangan sekitar 6 juta Gulden untuk kepentingan bangsa. Jumlah yang sangat besar saat itu, yang jika dikonversikan dengan kurs serta inflasi saat ini, besarannya mencapai Rp 413 miliar.

Dengan bantuan itu, Indonesia kini memiliki dana operasional untuk membiayai bidang kesehatan, pendidikan, militer, serta gaji pegawai-pegawai pemerintahan RI. Selama perang berlangsung, pembiayaan dilakukan oleh Keraton Kasultanan Yogyakarta.

Memiliki sikap legawa, berbesar hati dalam kondisi seperti yang dihadapi oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX saat itu tidaklah mudah. Beliau bisa mengesampingkan hal-hal lain yang seharusnya menjadi prioritas kraton, demi berdirinya Republik Indonesia.

Sikap mengabdi kepada republik dengan sepenuh hati inilah yang hingga saat ini masih dikenang oleh pihak keluarga. Hingga wafat, Sultan dan pihak keraton tidak pernah meminta agar sumbangan itu dikembalikan.

Tuliskan Komentar