Kuno Sulsel

Memusnahkan Sisa-Sisa Benteng Somba Opu

Setelah perang Makassar pada tahun 1666 hingga 1667 antara Kesultanan Gowa dan Belanda yang dibantu oleh pasukan Bone berakhir, ditandai dengan dicapainya suatu kesepakatan antara Raja Gowa Sultan Hasanuddin dengan Cornelis Janzon Speelman dari kubu VOC (Belanda), kesepakatan itu dikenal dengan nama Perjanjian Bungaya yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667, isi perjanjian itu sangat merugikan kerajaan Gowa.

Salah satu point dalam isi perjanjian tersebut ialah kesultanan Gowa harus membongkar atau memusnahkan seluruh benteng pertahanannya dan hanya boleh menyisahkan Benteng Somba Opu untuk Sultan Hasanuddin, sementara satu benteng lagi harus diserahkan kepada Belanda.

Benteng yang diserahkan kepada Belanda itu adalah benteng Pannyua, setelah benteng ini diambil alih oleh Belanda, namanya diubah menjadi Benteng (Fort) Rotterdam, sesuai nama kota kelahiran dari Speelman.

Berakhirnya perang Makassar bukan berarti konflik antara Kesultanan Gowa dengan Belanda berakhir, beberapa kelompok pasukan Gowa yang menolak menyerah masih terus melakukan perlawanan terhadap Belanda di Makassar.

Baca juga: 5 Bangsawan Makassar yang Menolak Menyerah Pada Perang Makassar

Karena masih seringnya terjadi perlawanan terhadap Belanda, Speelman berencana untuk benar-benar memusnahkan seluru kekuatan pasukan Makassar. Hal yang direncanakan Speelman yaitu menyerang pertahanan terakhir Kesultanan Gowa di benteng Somba Opu, di mana Istana Kesultanan Gowa dan Sultan Hasanuddin berada.

Di sore hari jam 6.00, pada tanggal 16 Juni 1669 sebuah bunyi ledakan mahadahsyat menggemparkan Kota Makassar, gabungan laskar Bugis, Maluku, Buton, dan Belanda yang sudah 6 bulan berusaha habis-habisan untuk menaklukkan Kerajaan Gowa-Tallo itu meledakkan beratus-ratus kilogram mesiu yang tersembunyi di dalam sebuah terowongan di bawah tembok Benteng Somba Opu.

Lukisan Benteng Somba Opu. Foto: instazu.com

“Seluruh langit berkabut hitam, dan teramat-amat banyak batu bata dilemparkan ke atas lalu berjatuh-jatuhan kembali sekeliling kami,” demikian laporan Admiral Speelman, komandan Belanda.

Ledakan itu meruntuhkan hampir 30 meter tembok, dan para laskar koalisi anti Makassar yang terdiri sekitar 2000 orang Bugis, 200 orang Maluku, 200 orang Buton dan 100 serdadu dan awak kapal Belanda berlari menyerang lubang yang terbuka jauh dalam tembok yang selama ini tidak dapat mereka hancurkan dengan meriam terbesar sekalipun.

Baca juga: Benteng Somba Opu, Pertahanan Terakhir Kesultanan Gowa

Akan tetapi, dari dalam benteng dua lusinan prajurit melompati liang menganga yang dibuka letusan itu, dan dengan gigihnya mempertahankan celah yang terbuka itu.

Pada malam tanggal 22/23 Juni 1669, di tengah guyuran hujan deras, Arung Palaka dan Pasukan gabungannya yang merupakan sekutu utama Belanda habis kesabarannya, dan melakukan serangan lagi yang lebih gencar dan setelah suatu pertempuran amat sengit akhirnya berhasil menerobos ke dalam benteng.

Meski hujan masih turun dengan deras, mereka mulai membakar dan menjarah gudang, rumah, dan istana di dalamnya. Para Pasukan Gowa berusaha bertahan dengan matimatian dalam kobaran api reruntuhan benteng, tetapi apa daya akhirnya harus kalah pada sore hari tanggal 24 Juni 1669.

Kota Makassar dikepung oleh kapal-kapal Eropa. Foto: daerah.sindonews.com

Karena terkepung api, Sultan Hasanuddin dan setangan penuh prajurit yang bertahan di ujung tenggara Benteng Somba Opu, pada pagi hari terpaksa melarikan diri ke benteng Kale Gowa, orang-orang Melayu yang bertempur sampai akhir di bagian selatan benteng pada waktu sore menyerang dengan gigih serdadu Bugis dan Belanda yang sedang sibuk membakari benteng, dan meloloskan diri ke perahu-perahu yang dilabuhkan di Sungai Jeneberang.

Baca juga: Belanda Sekarat di Dalam Benteng Rotterdam

Pada kegelapan malam hari itu juga mereka bersama ratusan orang Makassar, Wajo dan Mandar berhasil menerobos blokade kapal-kapal Belanda di laut, dan berlayar menjauh, mencari perlindungan dan kehidupan baru di negeri-negeri yang belum ditaklukkan penjajah.

Dengan hengkangnya orang Melayu ini habislah pula riwayat perlawanan Gowa terhadap koalisi pimpinan Arung Palakka dan Admiral Speelman. Lima hari setelah Somba Opu jatuh ke tangan musuhnya, Sultan Hasanuddin turun takhta. Agar Gowa-Tallo tidak lagi bisa bangkit dan melawan penguasa Sulawesi Selatan yang baru, pada minggu-minggu berikutnya Belanda memusnahkan Benteng Somba Opu rata dengan tanah.

Pusat kota yang sebelumnya terbangun di sekeliling benteng sudah dihancurkan pada dua tahun perang sebelumnya, dan Speelman mengeluarkan perintah bahwa tiada akan lagi seorang pun yang boleh mendirikan rumahnya di kawasan bekas kejayaan Makassar itu.

Sisa-sisa penduduk kota dari sekitar 100.000 warganya sebelum perang, kini tertinggal kurang lebih 5.000 orang saja harus pindah ke kawasan utara Fort Rotterdam, yang didirikan di atas reruntuhan Benteng Ujung Pandang yang sudah setahun sebelumnya menjadi milik Belanda dan era Kota Makassar dimulai.

Tuliskan Komentar