Sulsel

Momen Kejatuhan Kesultanan Gowa Ditetapkan Sebagai Hari Jadi Sulawesi Selatan

Hari jadi Sulawesi Selatan (peta kuno Sulawesi Selatan)
Peta kuno Sulawesi Selatan. © sulsel.idntimes.com

19 Oktober selama ini dikenal sebagai Hari Jadi Sulawesi Selatan (Sulsel). Tahun ini (2020), Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel merayakan usia ke-351 tahun. Kendati demikian, catatan perihal kejadian penting di 19 Oktober 1669 sukar diperoleh.

Lalu, peristiwa apa yang terjadi pada tanggal 19 bulan Oktober tahun 1669 yang melatar belakangi ditetapkannya sebagai Hari Jadi Sulawesi Selatan?

Ini bisa dilacak ke Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan No. 10 Tahun 1995, tentang Penetapan Hari Jadi Sulawesi Selatan.

Perda Provinsi Tingkat I Sulawesi Selatan tentang Penetapan Hari Jadi Sulawesi Selatan di pasal 2 berbunyi:

“Hari Jadi Sulawesi Selatan ditetapkan pada tanggal Sembilan Belas Bulan Oktober Tahun Seribu Enam Ratus Enam Puluh Sembilan.”

Perda inilah yang menjadi acuan Hari Jadi Sulawesi Selatan sampai saat ini.

Baca juga: Sejarah Asal Mula Kemunculan Nama dan Kota Makassar

Jika berdasarkan segi yuridis formal, maka seharusnya Hari Jadi Sulsel jatuh pada 13 Februari 1964. Tanggal tersebut yakni momentum diundangkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1964 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara.

Pemekaran daerah dicapai dengan mengubah Undang-Undang Nomor 47 Pcp Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara. Berdasarkan UU Nomor 47 Tahun 1960, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan sempat bergabung.

Nah, ternyata pemilihan 19 Oktober 1669 memiliki alasan tersendiri. Alih-alih berdasarkan catatan atau peristiwa bersejarah tepat pada waktu itu, Perda Sulsel No. 10 Tahun 1995 justru menyatukan tiga unsur peristiwa penting yang mencerminkan pergerakan nasional.

Masing-masing peristiwa itu terjadi pada tanggal, bulan, dan tahun yang berbeda, kemudian digabung menjadi 19 Oktober 1669.

Baca juga: Melihat Sulawesi Selatan di Masa Lalu Lewat Litografi

Penetapan tanggal 19

Tanggal 19 mengacu pada Sidang Kedua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 19 Agustus 1945. Hasil pertemuan dari sidang kedua PPKI itu adalah Pembagian wilayah Indonesia ke dalam delapan provinsi.

Salah satunya yaitu Provinsi Sulawesi, dengan Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Sam Ratulangi sebagai Gubernurnya. Dalam rapat tersebut, hadir tiga tokoh utusan Sulawesi. Selain Dr. Sam Ratulangi, turut pula Andi Pangerang Petta Rani dan Andi Sultan Daeng Radja.

Penetapan bulan Oktober

Bulan Oktober pun punya makna sakral bagi integrasi Sulsel. Pada 15 Oktober 1945, sebanyak 40 raja dan bangsawan seluruh kerajaan di Sulsel melakukan pertemuan di kediaman Arumpone Andi Mappanyukki, Jalan Jongaya (kini Jalan Kumala), Makassar.

Mereka menyepakati untuk mendukung Pemerintah Republik Indonesia di Sulawesi Selatan Tenggara. Pernyataan tersebut kemudian dikenal sebagai Deklarasi Jongaya.

Baca juga: Inilah Asal Usul Gelar Andi di Sulawesi Selatan

Bulan Oktober juga tidak bisa dipisahkan dari peristiwa Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda adalah satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ikrar ini dianggap sebagai kristalisasi semangat untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia.

Ikrar ini merupakan keputusan dari Kongres Pemuda Kedua yang diselenggarakan dua hari, 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Keputusan ini menegaskan cita-cita akan ada “tanah air Indonesia,” “bangsa Indonesia,” dan “bahasa Indonesia.” Sejumlah anggota organisasi Jong Celebes dari Sulawesi juga terlibat dalam momen bersejarah tersebut.

Penetapan tahun 1669

Terakhir yakni tahun 1669, masa berakhirnya Perang Makassar antara Gowa-Tallo dan koalisi pimpinan VOC. Ada nuansa kepahlawanan yang coba dipupuk lewat pemilihan tahun tersebut.

Perang Makassar merupakan perang yang terjadi antara Kesultanan Gowa (Makassar) bersama sekutu-sekutunya yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin melawan Belanda (VOC) yang dipimpin oleh Cornelis Janzon Speelman bersama sekutunya Kerajaan Bone yang dipimpin oleh Arung Palakka.

Baca juga: Perang Makassar dan Kerugian Besar Kesultanan Makassar

Perang ini dimulai pada tahun 1666 dan berakhir pada tahun 1667 yang ditandai dengan ditandatanganinya Perjanjian Bungaya.

Berakhirnya perang Makassar bukan berarti konflik antara Kesultanan Gowa dengan Belanda berakhir, beberapa kelompok pasukan Gowa yang menolak menyerah masih terus melakukan perlawanan terhadap Belanda di Makassar.

Karena masih seringnya terjadi perlawanan terhadap Belanda, Belanda berencana untuk benar-benar memusnahkan seluru kekuatan pasukan Makassar. Hal yang direncanakan Speelman yaitu menyerang pertahanan terakhir Kesultanan Gowa di benteng Somba Opu, di mana Istana Kesultanan Gowa dan Sultan Hasanuddin berada.

Pada tanggal 16 Juni 1669, pasukan Belanda mulai menyerang pertahanan terakhir Kesultanan Gowa itu. Setelah sekitar lebih dari sepekan dipertahankan oleh pasukan Sultan Hasanuddin, akhirnya Benteng Somba Opu jatuh ke tangan VOC pada tanggal 24 Juni 1669.

Tuliskan Komentar