Berbeda dengan di wilayah Nusantara lainnya, penulisan nama raja-raja di Sulawesi Selatan memiliki keunikan tersendiri. Terkhusus di Kabupaten Barru yang pada mulanya terdapat empat kerajaan (Tanete, Berru, Soppeng Riaja, dan Nepo/Mallusetai) yang pernah berdiri di Barru, nama raja-rajanya ditulis secara unik dan berbeda dengan raja-raja di Jawa.
Gelar unik raja Barru yang pertama ada Petta Pallase’-lase’e, merupakan raja Tanete yang pertama memeluk Agama Islam, dinamakan demikian karena raja ini memiliki banyak selir, kemudian ditugaskanlah beberapa orang untuk menjaga selir-selirnya yang tersebar itu, jadi untuk mencegah terjadinya perselingkuhan antara si penjaga dan para selir, maka penjaga yang ditugaskan tadi dikebiri terlebidahulu sehingga tidak punya selera lagi untuk berhubungan badan. Raja ini pula dikenal dengan gelar Petta Sugi’e karena kekayaannya yang banyak.
Baca juga: Petta Pallase-Lase’E dan Masuknya Agama Islam di Barru
Gelar unik nama raja Barru selanjutnya adalah Petta To Maburu Limmanna, raja ini lah yang mengganti nama Kerajaan Agangnionjo menjadi Kerajaan Tanete sebagai tanda persahabatannya dengan penguasa Tanete dari Selayar. Raja ini mendapat gelar Petta To Maburu Limmanna karena suatu ketika tangannya dipatuk oleh seekor burung hingga luka dan tidak kunjung sembuh. Ada pula raja Tanete lainnya bergelar To Rijallo Riaddenenna yang berarti raja yang diamuk di tangga istanannya, digelari demikian karena raja ini meninggal diamuk oleh pengawalnya sendiri di tangga istananya.
Papan nama Kompleks Makam Petta Pallase’-Lase’E |
Gelar unik raja Barru selanjutnya berasal dari Kerajaan Nepo (Mallusetasi), yaitu raja yang digelari Arung Patappuloe yang berarti Raja Empat Puluh. Yang memerintah di kerajaan ini bukan hanya satu orang, melainkan ada 40 raja yang memerintah secara bersamaan, kesemuanya memang masi dalam satu pertalian darah, namun permasalahan muncul ketika Raja Suppa mengundang Raja Nepo datang berkunjung, kursi raja yang disediakan hanya ada satu menyebabkan 40 raja ini berebut. Untuk mencegah terjadinya permusushan diantara 40 raja ini maka Raja Suppa mengutus anaknya untuk menjadi raja di Nepo menggantikan Arung Patappuloe, sementara ke-40 raja tadi juga menyetujuinya.
Berikutnya ada Arung La Bonggo, raja ini merupakan anak Datu Suppa yang menggantikan Arung Patappuloe menjadi raja di Nepo. Raja ini digelari La Bonggo karena ia dianggap sebagai seorang raja yang bodoh. Ketika Raja Suppa meminta bantuan rakyat Nepo untuk datang membantunya menanam padi, La Bonggo kemudian berpesan kepada rakyatnya agar ketika menanam padi di Suppa harus dibalik, akarnya ke atas dan daunnya di bawah, rakyat Nepo pun menuruti perintah rajanya, hal tersebut jelas membuat Raja Suppa marah, La Bonggo memerintahkan rakyatnya seperti itu agar rakyat Nepo tidak lagi selalu dipanggil Raja Suppa ketika melakukan pekerjaan.
Baca juga: Riwayat Petta Tomaburu Limmanna dan Perubahan Nama Kerajaan Agangnionjo Menjadi Tanete
Ketika Raja Suppa hendak menebang pohon dan mengangkut kayu, lagi-lagi rakyat Nepo yang dipanggil untuk melakukan pekerjaan itu, Arung La Bonggo kembali berpesan kepada rakyatnya supaya kayu yang diangkut nanti harus dibawa melewati tanaman padi yang baru saja di tanam. Karena Raja Suppa merasa pekerjaan yang diberikan kepada rakyat Nepo selalu dikerjakan secara tidak benar maka Raja Suppa tidak pernah lagi meminta bantuan Arung La Bonggo.
Terakhir ada raja yang digelar Matinroe, matinroe disini memiliki makna sebagai gelar anumerta setelah raja tersebu meninggal. Ada raja yang digelari Matinroe karena sebab meninggalnya, seperti Matinroe Ri Musuna yang memiliki makna meninggal disaat dia sedang berperang, ada pula raja yang digelari Matinroe berdasarkan tempat raja tersebut meninggal, seperti Matinroe Ri Salomoni berarti raja yang meninggal di Salomoni, Matinroe Ri Bulianna, Matinroe Ri Soreang, Matinroe Ri Muttiara. Gelar Matinroe ini juga dikenal di beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan, bukan hanya di kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Barru.
Beberapa raja di Sulawesi Selatan memang tidak disebutkan nama aslinya. Pada masa itu, seseorang tak dibenarkan menyebut nama asli seorang raja atau bangsawan, maka diberilah gelaran. Adapun juru tulis kerajaan yang tetap harus menulis nama asli raja, sebelum memulai penulisan maka dilakukan pula ritual khusus memohon keselamatan atas ketidaksopanannya menuliskan dengan terang nama asli sang raja.
Menarik sekali kak ceritanya, terimakasih kak, semangat ngeblognya 🙂
nice artikel, kunjungan dari softkini.blogspot.co.id
Terima kasih.
Terima kasih.
menarik sekali info sejarahnya min. ayo kupas lagi sejarahnya
Salam
Pongery.com