Kuno Nasional

Kesuksesan Politik Adu Domba Cornelis Speelman

Cornelis Speelman

Cornelis Speelman adalah Gubernur Jenderal VOC ke-14 yang sukses menjalankan siasat devide et impera atau politik adu domba untuk memecah-belah Nusantara.

Cornelis Janzoon Speelman menjadi sosok yang memuluskan perebutan wilayah kerajaan-kerajaan di Nusantara, prestasinya yang hebat itu berbanding lurus dengan korupsi yang dilakukannya. Speelman adalah Gubernur Jenderal VOC yang memerintah pada periode 1680 hingga 1684.

Cornelis Speelman lahir pada 2 Maret 1628 dan meninggal di usia 55 tahun pada 11 Januari 1684 di kastil Batavia yang saat itu masih menjabat sebagai Gubernur Jenderal VOC.

Cornelis Speelman merupakan orang yang paling bertanggungjawab atas penaklukkan sejumlah wilayah di Nusantara, termasuk Banten dan Ternate. Berhasil menaklukkan Padang menggunakan pasukan pribumi dari Sulawesi.

Ia juga menjadi pembisik penguasa Mataram Islam, Amangkurat II, saat berseteru dengan pemimpin Madura, Raden Trunojoyo. Speelman pula yang memaksa perjanjian Bungaya yang sangat merugikan Kesultanan Gowa.

Baca juga: Inilah Lima Strategi Politik Adu Domba Belanda di Nusantara yang Sukses Memecah Belah

Mengadu domba dua kerajaan besar di Sulawesi

Dalam kurun waktu yang cukup lama, Kesultanan Makassar atau Gowa (Gowa-Tallo) telah terlibat persaingan dengan Kerajaan Bone, persaingan tersebut sudah berlangsung semenjak awal abad ke-17. Persaingan antara kedua kerajaan tersebut terus berlangsung hingga akhirnya Kerajaan Bone takluk pada tahun 1610 dan beradah di bawah hegemoni Kesultanan Gowa.

Sekitar setengah abad kemudian, muncul salah seorang pangeran dari Kerajaan Bone yang Bernama Arung Palakka bertekat untuk membebaskan Kerajaan Bone dari hegemoni Kesultanan Gowa. Usahanya untuk membebaskan Kerajaan Bone dimulai dengan membebaskan seluruh orang Bone yang ditahan dan dipekerja paksakan di Gowa, tindakannya tersebut membuat Raja Gowa yang saat itu dijabat oleh Sultan Hasanuddin marah dan mengejar Arung Palakka.

Sementara itu Arung Palakka melarikan diri ke Jawa. Di Batavia, Arung Palakka meminta bantuan Belanda (VOC) untuk membebaskan kerajaan Bone dari kekuasaan Gowa. VOC sendiri memiliki keinginan untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Timur Nusantara, namun terhalang oleh Kesultanan Gowa sebagai pesaingnya. Tentunya VOC tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk bisa menaklukkan Kesultanan Gowa, apa lagi telah mendapat bantuan dari kerajaan Bone.

Baca juga: Ketika Arung Palakka Bersembunyi di Tanete

VOC kemudian mengirim armada perang di bawah pimpinan Cornelis Janzoon Speelman bersama dengan Arung Palakka berangkat ke Makassar pada tanggal 24 November 1666, dan tiba di perairan Makassar pada tanggal 19 Desember 1666.

Pada pagi hari, tanggal 21 Desember 1666, dimulailah Perang Makassar, armada Speelman mulai memuntahkan meriam dari kapal yang diarahkan ke benteng pertahanan Gowa, sementara Arung Palakka dan pasukan Bone menyerang dari arah darat. Sedangkan pasukan Makassar di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin melakukan perlawanan dengan gigih.

Selama setahun peperangan, dalam keadaan terdesak, Sultan Hasanuddin kemudian dipaksa oleh Speelman untuk menandatangai Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667 sebagai tanda takluk kepada VOC. Stelah kekalahan Kesultanan Gowa, Hegemoni kekuasaan di Sulawesi berpindah ke Kerajaan Bone, sementara VOC dengan bebas memonopoli perdagangan di Timur.

Mengadu domba Sultan Banten dengan putranya

Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651-1683. Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Banten mencapai puncak kejayaannya. Namun disaat yang sama, pengaruh Belanda (VOC) sudah semakin kuat di Nusantara, terutama setelah berhasil mengalahkan Kesultanan Gowa di Timur.

Baca juga: Nasib Sultan Hasanuddin Setelah Perang Makassar

Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Tentu saja Sultan Ageng Tirtayasa menolak perjanjian itu. Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.

Namun, di akhir masa pemerntahan Sultan Ageng Tirtayasa. Terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya untuk menjadi penerus raja menggantikan Sultan Ageng Tirtayasa. Putranya yang bernama Sultan Haji begitu berambisi untuk segera menjadi Raja, namun tahta itu tidak kunjung diberikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa.

Sultan Haji kemudian meminta bantuan kepada Gubernur Jenderal VOC, Cornelis Speelman, agar dirinya bisa segera dinobatkan menjadi raja, sebagi balasannya, VOC diberi kebebasan untuk memonopoli perdagangan di Banten. Speelman yang menganggap Sultan Ageng Tirtayasa sebagai penghalang dengan senang hati menerima tawaran dari Sultan Haji.

Baca juga: VOC dan EIC: Persaingan Dua Perusahaan Dagang

Saat mengetahui perilaku Sultan Haji, Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengepung Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Speelman kemudian membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint-Martin.

Sulatan Ageng Tirtayasa mundur dan terus melakuan perlawanan hingga tertangkap pada tahun 1683 dan dipenjarakan di Batavia sampai meninggal, sementara Sultan Haji dinobatkan menjadi Raja di Kesultanan Banten di bawah pengaruh VOC.

Memanfaatkan pemberontakan untuk menguasai Mataram

Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Kesultanan Mataram mencapai puncak kejayaan dan menjadi saingan utama VOC pada penguasaan perdagangan. Akibat persaingan perdagangan antara Mataram dengan VOC, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon, serta terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah Sultan Agung wafat, ia digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat I.

Baca juga: Membandingkan Kekayaan VOC Dengan Perusahaan Besar di Era Sekarang

Pada masa pemerintahan Amangkurat I, Kesultanan Mataram mengalami kekacauan dan kurang stabil karena banyak ketidakpuasan serta pemberontakan. Pada masa ini, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya dari Madura. Untuk memadamkan pemberontakan ini, Amangkurat I terpaksa menjalin persekutuan dengan VOC yang awalnya merupakan pesaingnya.

Persekutuan untuk menghadapi Trunajaya itu terus berlanjut hingga masa pemerintahan Amangkurat II dengan bayaran VOC mendapatkan wilayah pesisir utara Jawa. Perlawanan Trunajaya sedikit demi sedikit dapat dikalahkan oleh VOC. Hingga akhirnya dapat dikepung, dan menyerah pada tanggal 27 Desember 1679. Trunojoyo kemudian diserahkan kepada Amangkurat II untuk dihukum mati pada 2 Januari 1680.

Dengan terjalinnya persekutuan antara VOC dan Mataram ini, VOC bisa dengan bebas mencampuri urusan pemerintahan di Kesultanan Mataram hingga berakhir dengan pecahnya Mataram menjadi dua kerajaan, yaitu Kesultanan Ngayogyakarta (selanjutnya berubah menjadi Kesultanan Yogyakarta) dan Kasunanan Surakarta.

Tuliskan Komentar