Kuno Sulsel

Kemunculan dan Kemunduran Kerajaan Siang

Bila mendengar atau mendapat pertanyaan tentang kerajaan tertua di Sulawesi Selatan, mungkin yang terbayang adalah kerajaan-kerajaan yang telah disebutkan di dalam naskah I La Galigo, terutama kerajaan Luwu. Atau mungkin yang terbayang adalah Kerajaan Bantaeng yang telah disebutkan dalam Kitab Negarakertagama.

Tetapi tahukah bahwa ternyata ada kerajaan tau lainnya yang pernah ada di Sulawesi Selatan? Kerajaan itu adalah Kerajaan Siang. Kerajaan Siang pernah berkembang sebagai kerajaan yang memiliki pelabuhan yang cukup terkenal dan didatangi berbagai bangsa Eropa, terutama bangsa Portugis.

Siang dalam catatan Portugis disebut Sciom atau Ciom. Nama Siang berasal dari kata kasuwiang dalam bahasa Makassar, yang berarti persembahan kepada raja. Bekas pusat wilayah Kerajaan Siang sekarang ini berada di Desa Bori Appaka, Kecamatan Bungoro, Kabupaten Pangkajene Kepulauan. Pusat kerajaan Siang pada mulanya tumbuh berkat adanya sumber daya alam yang melimpah. Siang telah dikunjungi oleh kapal-kapal Portugis antara tahun 1542 dan 1548.

Baca juga: Masuknya Bangsa Portugis di Sulawesi

Penulis buku Manusia Bugis, Cristian Pelras mengemukakan bahwa selama masa pengaruh Luwu di semenanjung timur Sulawesi Selatan, kemungkinan dari Abad X hingga Abad XVI, terdapat kerajaan besar lain di semenanjung barat, dikenal dengan nama Siang, yang pertama kali muncul pada sumber Eropa dalam peta Portugis berangka tahun 1540.

Abdul Razak Daeng Mile menyatakan bahwa Raja Siang yang pertama disebut Tu Manurunge Ri Bontang. Sementara M Taliu menyebut periode pertama Kerajaan Siang, digagas seorang tokoh perempuan, Manurunge ri Siang, bernama Nasauleng bergelar Puteri Kemala Mutu Manikkang . Garis keturunan Tomanurung Ri Siang inilah yang berganti-ganti menjadi raja di Siang sampai tiba masanya Karaeng Allu memerintah di Siang paska Kerajaan Siang dibawah dominasi Kerajaan Gowa.

Sumber tradisi lisan menyebutkan bahwa penggagas dinasti Siang mempunyai lima saudara laki-laki dan perempuan yang masing-masing mendirikan Kerajaan Gowa, Bone, Luwu, Jawa dan Manila. Dalam tradisi tutur yang berkembang di Pangkajene diyakini bahwa Siang mempunyai tempat istimewa dibandingkan dengan kerajaan lainnya.

Baca juga: Tumanurung Bainea dan Berdirinya Kerajaan Gowa

Barangkali keterangan Pelras mengonfirmasikan tradisi tersebut, bahwa kendati Siang telah menjadi vasal Gowa pada akhir Abad XVII, adat Siang mengharuskan agar raja-raja dari negeri besar lain yang melintasi terirori Siang memberi hormat pada raja Siang.

Menurut catatan Portugis dari Abad XVI, Kerajaan Tallo pernah ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa, sementara Kerajaan Gowa sendiri mengakui Kerajaan Siang sebagai kerajaan yang lebih besar dan lebih kuat dari mereka. Sumber Portugis menyebutkan Siang pernah diperintah seorang raja bernama Raja Kodingareng, menurut catatan orang Portugis dituliskan Gadinaro. Raja ini sezaman dengan Don Alfonso, Raja Portugal I dan Paus Pascal II.

Pada tahun 1540 atau jauh sebelumnya, pelabuhan Siang sudah banyak dikunjungi pedagang dari berbagai penjuru kepulauan Nusantara, bahkan dari Eropa. Pengamat Portugis, Manuel Pinto, memperkirakan pada tahun 1545 Siang berpenduduk sekitar 40.000 jiwa. Penguasanya sangat yakin terhadap sumber-sumber daya dan kekayaan alam yang dimiliki oleh negaranya sehingga menawarkan untuk menyuplai seluruh kebutuhan pangan Kerajaan Malaka.

Baca juga: Bandar Pancana: Kota Niaga Masa Lalu di Barru

Menurut catatan Portugis dari Abad XVI, Gowa dan Tallo pernah jadi vasal Siang. Tradisi lisan setempat mempertahankan pandangan ini. Penemuan arkeologi berharga di bekas wilayah Siang kelihatannya lebih memperkuat asumsi bahwa kerajaan ini adalah bisa jadi adalah kerajaan besar di pantai barat Sulawesi Selatan sebelum bangkitnya Gowa dan Tallo.

Simbol Kerajaan Siang.

Pada Tahun 1542, Antonio de Paiva, seorang pedagang dan pendeta dari Portugis menyinggahi pusat wilayah Kerajaan Siang dan tinggal di Siang untuk beberapa waktu, sebelum melanjutkan perjalanan ke arah utara menuju Sulawesi Tengah untuk mencari Kayu Cendana. Ketika kembali tahun 1544, de Paiva singgah di tiga tempat, yaitu Suppa, Siang dan Gowa.

Selama kunjungan De Paiva ke jazirah Sulawesi Selatan ini, ia sempat mengkristenkan atau membaptis beberapa raja-raja bugis, di antaranya raja Siang dan raja Suppa.

Catatan de Paiva menyebutkan bahwa Gowa adalah sebuah kota yang besar “yang dulunya merupakan kerajaan bawahan Siang, namun tidak lagi begitu.” Laporan de Paiva ini menunjukkan kemungkinan Siang berada pada puncak kejayaan dan kemasyhuran sekitar Abad XIV sampai akhir abad XVI.

Baca juga: Ajatappareng: Konfederasi Antara Lima Kerajaan di Sulawesi Selatan

Pelras dari penelitian awalnya terhadap sumber Eropa dan sumber lokal menyatakan Siang sebagai pusat perdagangan penting dan mungkin juga secara politik antara Abad XIV-XVI. Pengaruhnya menyebar hingga seluruh pantai barat di daerah persekutuan Limae Ajattapareng sampai ke selatan perbatasan kerajaan Makassar, yakni Gowa-Tallo.

Bila dibandingkan dengan Bantaeng di pesisir selatan, Siang mungkin masih dianggap sebagai pelabuhan kurang dikenal, tetapi bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa Siang telah masuk dalam jaringan perdagangan dengan pelabuhan-pelabuhan sebelah barat kepulauan.

Apabila Bantaeng dan Luwu pada masa jatuhnya Majapahit mulai pudar peranannya, sebaliknya Siang, semakin meningkat dengan jatuhnya Kerajaan Malaka berkat gelombang kedatangan pedagang Melayu dari Johor, Pahang dan mungkin dari daratan Asia Tenggara daratan lainnya.

Sumber Portugis banyak menunjuk periode-periode awal pertumbuhan situs-situs niaga di pesisir barat, sebagaimana catatan Pelras, gelombang kedatangan Portugis ke Siang sepanjang pertengahan pertama dan akhir Abad XVI, mengacu pada masa di mana Siang sedang menurun dalam perannya sebagai kota niaga dan pusat politik di pesisir barat teritori Makassar.

Baca juga: 4 Kesultanan Besar Melayu di Era Islam

Pada periode kedua, sejalan dengan semakin jauhnya garis pantai akibat pengendapan sungai Siang sebagai akses utama memasuki kota itu, dan kepindahan koloni pedagang Melayu ke Gowa di pesisir barat, bahkan Suppa dan Sidenreng di daratan tengah Sulawesi Selatan membuat Siang kehilangan fungsi utamanya sebagai sebuah pelabuhan penting, dibarengi meredupnya pengaruh pusat politiknya. Sampai disini, nasib Siang tidak berbeda dengan Bantaeng, eksis tetapi berada dibawah bayang-bayang kontrol kekuasaan Gowa-Tallo.

Pada pertengahan Abad XVI, Kerajaan Siang menurun pengaruhnya oleh naiknya kekuatan politik baru di pantai barat dengan pelabuhannya yang lebih strategis, Pelabuhan Somba Opu. Kerajaan itu tak lain adalah Kerajaan Gowa yang mulai gencar melancarkan ekspansi pada masa pemerintahan Karaeng Tumapakrisika Kallonna. Persekutuan Kerajaan Gowa dan Tallo akhirnya membawa petaka bagi Siang, sampai akhirnya mati dan terlupakan, di penghujung Abad XVI.

Sistem politik yang diterapkan Kerajaan Gowa terhadap negeri-negeri taklukannya itu adalah menempatkan Ana’ Bate Karaeng, biasa disebut bate-bate’a, kemudian disusul perkawinan keluarga Kerajaan Gowa, pada puncaknya Kerajaan Siang menjadi negeri keluarga kerajaan Gowa yang tidak lagi bisa dipisahkan sampai tahun 1668. Sampai saat ini tidak ada satupun sumber sejarah dapat memastikan umur Kerajaan Siang sampai ditaklukkan Kerajaan Gowa-Tallo.

Tuliskan Komentar