Sulsel

Rumpana Bone: Perang Antara Bone Dengan Belanda (1859-1860)

Kesultanan Bone merupakan salah satu kerajaan besar yang berada di Sulawesi setelah Kesultanan Gowa dan Luwu. Kerajaan ini juga memiliki pengaruh yang cukup besar di Sulawesi. Sejak abad ke-17, kesultanan Bone kerap terlibat peperangan dengan kesultanan Gowa untuk memperebutkan kekuasaan di Sulawesi.

Puncak peperangan itu terjadi pada Perang Makassar pada tahun 1666 sampai 1667. Pada peperangan itu, salah seorang pangeran dari Kesultanan Bone, yaitu Arung Palakka bekerja sama dengan VOC yang dikomandoi oleh Cornelis Speelman untuk menyerang kesultanan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin.

Pada perang itu Kesultanan Gowa mengalami kekalahan dan harus menandatangani Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Bone menjadi kerajaan paling dominan dijazirah selatan Sulawesi.

Baca juga: Perang Makassar dan Kerugian Besar Kesultanan Makassar

Perang Makassar mengantarkan Arung Palakka sebagai penguasa tertinggi. Kemudian diwarisi oleh kemenakannya yaitu La Patau Matanna Tikka dan Batari Toja. La Patau Matanna Tikka kemudian menjadi leluhur utama aristokrat di Sulawesi Selatan.

Sejak berakhirnya kekuasaan Gowa, Bone menjadi penguasa utama di bawah pengaruh Belanda di Sulawesi Selatan dan sekitarnya pada tahun 1666. Bone berada di bawah kontrol Belanda sampai tahun 1814 ketika Inggris berkuasa sementara di daerah ini, tetapi dikembalikan lagi ke Belanda pada 1816 setelah perjanjian di Eropa akibat kejatuhan Napoleon Bonaparte.

Pengaruh Belanda ini kemudian menyebabkan meningkatnya perlawanan Bone terhadap Belanda, tetapi Belanda-pun mengirim sekian banyak ekspedisi untuk meredam perlawanan Bone.

Perang Bone atau Rumpana Bone
Pasukan kavaleri Belanda dalam pertempuran jarak dengan pasukan Bone. Foto: en.wikipedia.org

Meski sudah menandatangani Perjanjian Bungaya yang diperbaharui di tahun 1838, hubungan antara Kesultanan Bone dengan pemerintah kolonial tidak pernah membaik hingga akhir tahun 1850an.

Meninggalnya Arumpone La Parenrengi Sultan Ahmad Saleh Muhiddin di tahun 1857 sesudah menjabat selama 12 tahun menjadi saat penting dalam hubungan ini karena sesuai perjanjian, maka penguasa yang baru harus menanda tangani ulang pernyataan kesetiaan pada pemerintah kolonial.

Yang menjadi arumpone berikutnya ada istri arumpone sebelumnya yakni I Tenriawaru Besse Kajuara bergelar Sultanah Ummulhadi. Penguasa yang baru memilih untuk mengambil garis keras seperti yang diambil mendiang suaminya dan menolak usulan dari kelompok di bawah Ahmad Singkeru Rukka, cucu To Appatunru (arumpone 1812-1823) yang mendorong untuk hubungan yang lebih baik.

Baca juga: Raja Bone yang Dilengserkan Karena Memeluk Islam

Perbedaan pandangan antara kesultanan dengan pemerintah kolonial menjadi tidak terjembatani dan kini perang menjadi pilihan. Perang Bone Belanda ini lebih dikenal dengan istila Rumpana Bone. Dalam Bahasa Bugis, Rumpana Bone berarti Perang Bone. Di bulan Januari 1859 pasukan belanda diberangkatkan dari Batavia dan sampai di Bantaeng secara bertahap di akhir Januari dan awal Februari.

Penyerangan terhadap Bone dilakukan baik melalui Sinjai maupun melalui pelabuhan Bajoe di Bone. Setelah melalui berbagai kesulitan, dan bekerjasama dengan Ahmad Singkeru Rukka, pusat kesultanan di Watampone berhasil diduduki Belanda, tetapi para petinggi kesultanan sudah meninggalkan tempat menuju ke pedalaman.

Letnan De Paauw memimpin pasukan Belanda menyerang pasukan Bone. Foto: id.wikipedia.org

Meski menduduki pusat kesultanan, namun penyerangan ini dianggap gagal oleh Belanda, apalagi cuaca buruk dan penyerangan balasan oleh pasukan Bone membuat kondisi pasukan kolonial Belanda merosot dan harus ditarik mundur ke Makassar.

Penyerangan ulang baru dilakukan diakhir tahun 1859 dengan pasukan yang lebih besar. Sebelum penyerangan, wilayah tiga kekuatan lokal di Sinjai yakni Bulo-Bulo, Lamatti, dan Tondon diserap menjadi Daerah Pemerintah mengingat pentingnya wilayah ini dalam strategi perang sebagai titik pijakan penyerangan ke Bone atau sebaliknya.

Anak Ahmad Singkeru Rukka yakni La Pawawoi Karaeng Segeri dijadikan penguasa pribumi (inlandsch hoofd) wilayah yang baru diambil alih (geannexeerde gewesten) ini dengan kekuasaan setara dengan para regent di daerah lain yang sudah merupakan bagian dari Daerah Pemerintah lainnya.

Baca juga: Pasang Surut Perlawanan La Patau

Meski para pembesar Bone berhasil melarikan diri ke pedalaman ketika sekali lagi pasukan kolonial menduduki Watampone, namun kali ini pasukan kolonial memburu ke pedalaman dan memaksa Arumpone diturunkan dari jabatannya dan Ahmad Singkeru Rukka kemudian diangkat menjadi arumpone bergelar Sultan Ahmad.

Dengan diangkatnya Ahmad Singkeru Rukka sebagai arumpone menggantikan I Tenriawaru Besse Kajuara, maka peperangan atau Rumpana Bone yang berkepanjangan antara Bone dengan Belanda dianggap berakhir.

Pada tanggal 13 bulan Februari tahun 1860, Kesultanan Bone menandatangani perjanjian persetujuan bahwa Sinjai menjadi bagian dari Daerah Pemerintah. Sinjai kemudian dimasukkan dalam satu wilayah, yakni ini Distrik-Distrik Timur (Ooster Districten) meskpun sering juga masih disebut Sinjai atau Distrik-Distrik Timur (Sindjai of Ooster Districten).

Rujukan:
       www.id.wikipedia.org
       Lensa Budaya, Vol. 12, No. 2, Oktober 2017 – nederlandsekrijgsmacht.

Tuliskan Komentar