Meskipun mereka berasal dari latar geografis dan demografis yang berbeda, tetapi kedua tokoh ini memiliki hubungan persahabatan yang cukup erat. Mereka berdua bahkan menjadi kesayangan dari Gubernur Jenderal Belanda (VOC) saat itu karena keberaniannya saat berperang membantu VOC.
Asal-usul Arung Palakka
Arung Palakk lahir di Lamatta, Mariori Wawo, Soppeng, pada tanggal 15 September 1634. Ia merupakan salah srorang pangeran dan juga nantinya menjadi raja di kerajaan Bone. Takluknya Bone kepada Gowa membuat anggota kerajaan Bone dijadikan tawanan, tidak terkecuali Arung Palakka.
Arung Palakka inilah nantinya yang menjadi sosok kontroversi bagi masyarakat Sulawesi Selatan, antara pahlawan atau penghianat. Menurut Palloge Petta Nabba dalam Sejarah Kerajaan Tanah Bone (2006), Arung Palakka dan keluarganya dijadikan pelayan di kediaman Perdana Menteri Gowa, Karaeng Pattinggaloang.
Baca juga: Sederet Gelar Arung Palakka
Namun Karaeng Pattinggaloang tetap menaruh kasihan kepada keluarga Arung Palakka, dan Arung Palakka pun tumbuh di bawah bimbingan Karaeng Pattingalloang (hlm. 124). Hingga suatu ketika, Arung Palakka akhirnya bisa terbebas dari cengkeraman Gowa setelah terjadi aksi pemberontakan orang-orang Bone yang dipimpin Tobala yang merupakan salah satu petinggi kerajaan Bone.
Dibantu beberapa mantan petinggi Bone yang masih setia, Arung Palakka berhasil membebaskan orang-orang Bone yang dipekerjakan secara paksa. Sayangnya, Tobala tewas dalam peperangan tersebut. Untuk meraih kemenangan, Arung Palakka belum sanggup melawan kerajaan Gowa lantaran armada militer Gowa masih terlalu kuat, bahkan membuatnya kian terdesak.
Arung Palakka pun terpaksa melarikan diri karena menjadi target utama pasukan Gowa yang mencarinya sampai ke Buton. Di saat yang sama, VOC datang menawarkan bantuan. Kondisi ini sebenarnya dilematis bagi Arung Palakka. Di satu sisi, ia muak dengan ambisi VOC. Namun di sisi lain, ia memerlukan dukungan kaum penjajah itu jika ingin menuntaskan dendamnya sekaligus menjadikan Bone sebagai pemerintahan yang berdaulat lagi.
Akhirnya, pada 1663, Arung Palakka dan para pengikutnya berlayar ke Batavia untuk menemui pimpinan VOC.
Arung Palakka. Foto: id.wikipedia.org |
Asal-usul Kapten Jonker
Kapten Jonker berasal dari keluarga raja Muslim di Maluku. Nama Jonker sendiri diperkirakan bukan nama asli, melainkan padanan gelar yang biasa digunakan di Ambon pada zaman itu. Namanya tertulis dalam sebuah akta tahun 1664 sebagai Joncker Jouwa de Manipa, menunjukkan bahwa ia berasal dari Pulau Manipa, Seram Barat.
Pada awalnya ia bersama pasukan raja Tahalele di Maluku berperang melawan VOC antara tahun 1634 hingga 1643, namun ia kalah sengga pasukannya ditawan oleh VOC.
Baca juga: 2 Tokoh yang Mengabdi Pada VOC, Namun Mati di Tangan VOC
Sekitar tahun 1654, Jonker berada dalam pengawasan Arnold de Vlamingh van Oudtshoorn, dan termasuk dalam bagian dari pasukan pimpinan Kapitan Raja Tahalele yang ditempatkan di Batavia. Saat itu ia menjadi wakil Raja Tahalele, dan kemungkinan mulai menggunakan gelar raja muda, yang dipadankan menjadi Jonker dalam bahasa Belanda.
Saat memimpin pasukan Maluku dalam pertempuran VOC di Srilangka, Raja Tahalele mengalami luka parah. Jonker diangkat menjadi pemimpin penggantinya, dan sejak saat itulah gelar kapitan mulai disandangnya. Setelah pertempuran tersebut, ia memimpin pasukan Maluku yang bermarkas di Batavia. Sejak saat itu karir militer Kapten jonker terus menanjak.
Makam Kapten Jonker di Pejongkoran, Jakarta. Foto: tirto.id |
Pertemuan Arung Palakka dan Kapten Jonker
Arung Palakka yang dikejar oleh pasukan Gowa melarikan diri ke Batavia dan bertemu dengan VOC, Arung Palakka bersama pengikutnya kemudian diberikan tempat bermukim di wilayah Angke, Kota Batavia. VOC bersedia membantu Arung Palakka untuk terbebas dari Gowa, namun sebelumnya VOC ingin melihat kesetiaan, ketangguhan dan keteguhan Arung Palakka.
VOC berniat terlebih dahulu menyerang wilayah Sumatra Barat. Maka diutuslah Arung Palakka bersama Kapten Jonker untuk melaksanakan tugas penyerangan ke Sumatra Barat. Keduanya serta masing-masing pasukan Bugis dan Maluku saling bertemu pada tugas yang sama untuk membantu VOC.
Perang di Minangkabau
Jacob Gruys, pada bulan April 1666 dengan 200 pasukan VOC dan pasukan-pasukan pembantunya menyerang kota Pauh untuk memadamkan pemberontakan rakyat di Sumatra Barat. Serangan itu berakhir tragis untuk VOC, hanya 70 serdadu yang kembali hidup-hidup, Jacob Gruys sendiri juga kalah, begitu pula 2 kapten dan 5 letnan.
Kekalahan tragis Jacob Gruys membuat VOC kehilangan muka dan orang-orang Minang mulai memandang rendah orang Belanda serta membatalkan persetujuan dagang yang telah dibuat. Keadaan ini harus segera diatasi, maka pada bulan Agustus 1666 diberangkatkan dari Batavia 300 serdadu Belanda, 130 serdadu Bugis di bawah Arung Palaka dan 100 serdadu Ambon di bawah pimpinan Kapten Jonker.
Baca juga: Membuka Kembali Sejarah Perang Padri
Dalam setiap formasi tempur, pasukan Bugis pimpinan Arung Palaka dan pasukan Ambon pimpinan Kapten Jonker harus selalu berada di depan pasukan VOC. Setelah konsilidasi di Padang, pasukan VOC mendapat tambahan sekitar 500 orang dari kota Padang yang kemudian dalam peperangan tidak memberikan banyak bantuan tetapi cukup untuk melakukan penjarahan setelah peperangan selesai.
Dalam peperangan pertama, korban dipihak VOC adalah 10 orang tewas dan 20 luka-luka termasuk Arung Palaka dan Kapten Jonker yang mengeluarkan 3 buah tusukan tombak. Pasukan Arung Palaka dan Kapten Jonker ini sering kali terpisah dengan orang Belanda disetiap peperangan karena sangat sibuk membantai, biasanya dengan memenggal kepala, dan sulit diperintah untuk tetap dalam barisan.
Kota Ulakan dapat diduduki pada tanggal 28 September dan Aru Palaka mendapat gelar Raja Ulakan. Pada tanggal 30 September, pasukan VOC sampai di Pariaman, disini Kapten Jonker ditunjuk sebagai Panglima dan harus diberikan upeti.
Tanggal 3 November, ekspedisi kembali ke Batavia dengan kemenangan. Arung Palaka dan Kapten Jonker mendapat banyak hadiah dalam berbagai bentuk dan emas serta masing-masing mendapat 20 ringgit untuk setiap tawanan yang dibawa dari Minangkabau.
Baca juga: 5 Bangsawan Makassar yang Menolak Menyerah Pada Perang Makassar
Perang di Makassar
Setelah kemenangan VOC atas Sumatra Barat, kini VOC memfokuskan kekuatannya untuk menyarang Gowa. Belanda bersama Arung Palakka dan Kapten Jonker serta beberapa sekutunya kemudian mulai menyerang Kerajan Gowa pada tanggal 21 Desember 1666.
Selama beberapa bulan peperangan, serangan besar-besaran itu mengakibatkan kekalahan kerajaan Gowa. Raja Gowa, Sultan Hasanuddin kemudian terpaksa menandatangani Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667.
Nasib Akhir Arung Palakka dan Kapten Jonker
Setelah kekalahan Kerajaan Gowa pada Perang Makassar, pada tahun 1672 Arung Palakka dinobatkan sebagai Sultan Bone. Impiannya menjadi kenyataan. Ia memang hanya menuntut haknya kembali sebagai pewaris takhta Bone, sekaligus membebaskan Bone dari penguasaan Gowa dan membalaskan dendamnya.
Arung Palakka meninggal pada usia 61 tahun di Bontoala, Gowa, pada tanggal 6 April 1696 dan dimakamkan di Bontobiraeng, Gowa.
Baca juga: Ketika Arung Palakka Bersembunyi di Tanete
Berbeda dengan nasib yang dialami oleh Arung Palakka. Nasib Kapten Jonker betakhir tragis. Setelah berhasil membantu VOC dan Arung Palakka berperang melawan Gowa, Kapten Jonker masih sering membantu VOC berperang.
Setelah Gubernur Jendral VOC Cornelis Speelman pada tahun 1684 meninggal dunia, pengaruh Jonker yang terlalu besar menimbulkan rasa tidak suka dari pimpinan VOC yang baru di Batavia saat itu, yaitu Isaac de l’Ostale de Saint Martin. Jonker dianggap tidak bisa dikendalikan.
Kekuasaan Kapten Jonker mulai dikurangi, puncaknya terjadi pada tahun 1689, yaitu Kapten Jonker dituduh akan memberontak dan terjadinya pertempuran antara Jonker dan pengikutnya di Batavia melawan pasukan VOC dan pendukungnya. Akhirnya Kapten Jonker terbunuh dalam pertempuran itu.
Tuliskan Komentar