Kuno Nasional

Bermaksud Mempertahankan Diri, 2 Kerajaan Ini Malah Dicap Sebagai Pengkhianat

Kedua kerajan ini hanya ingin mempertahankan diri dari serangan kerajaan-kerajaan tetangganya, namun karena kurangnya kekuatan dan persenjataan untuk bertahan dari serangan musuh, mereka terpaksa meminta bantuan bangsa-bangsa asing yang sering dianggap sebagai bangsa penjajah.

Keputusannya meminta bantuan kepada bangsa asing ini untuk mempertahankan keberlangsungan kerajaanya justru memunculkan stigma masyarakat Indonesia sekarang bahwa kerajaan tersebut adalah pengkhianat. Berikut ini adalah dua kerajaan yang bermaksud mempertahankan diri, namun malah dicap sebagai pengkhianat.

1. Kerajaan Sunda
Kerajaan yang dianggap pengkhianat yang pertama adalah Kerajaan Sunda. Kerajaan Sunda atau Kerajaan Pasundan adalah kerajaan yang pernah berdiri antara tahun 932 dan 1579 Masehi di bagian Barat pulau Jawa. Kerajaan ini bahkan pernah menguasai wilayah bagian selatan Pulau Sumatra, kerajaan ini bercorak Hindu dan Buddha. Sekitar abad ke-14, kerajaan ini berpusat di Pakuan Pajajaran serta memiliki dua kawasan pelabuhan utama, yaitu di Kalapa atau Sunda Kelapa (sekarang Jakarta) dan Banten.

Pada awal abad ke-16, pelabuhan-pelabuhan perdagangan penting di pantai utara Pulau Jawa sudah dikuasai oleh Kesultanan Demak, termasuk Banten dan Cirebon. Kerajaan ini dicap sebagai pengkhianat karena meminta bantuan kepada Portugis. Khawatir peran pelabuhan Sunda Kelapa semakin lemah, raja Sunda, Sri Baduga (Prabu Siliwangi) mencari bantuan untuk menjamin kelangsungan pelabuhan utama kerajaannya itu.

Baca juga: Dari Sunda Kelapa Hingga ke Jakarta, Inilah Sejarah Kota Jakarta

Pilihan jatuh ke Portugis, penguasa Malaka. Dengan demikian, pada tahun 1512 dan 1521, Sri Baduga mengutus putra mahkota, Surawisesa, ke Malaka untuk meminta Portugis menandatangani perjanjian dagang, terutama lada, serta memberi hak membangun benteng di Sunda Kelapa.

Pada tahun 1522, pihak Portugis siap membentuk koalisi dengan Sunda untuk memperoleh akses perdagangan lada yang menguntungkan. Komandan benteng Malaka pada saat itu adalah Jorge de Albuquerque. Tahun itu pula dia mengirim sebuah kapal, Sao Sebastiao, di bawah komandan Kapten Enrique Leme ke Sunda Kalapa disertai dengan barang-barang berharga untuk dipersembahkan kepada raja Sunda.

Dua sumber tertulis menggambarkan akhir dari perjanjian tersebut secara terperinci. Yang pertama adalah dokumen asli Portugis yang berasal dari tahun 1522 yang berisi naskah perjanjian dan tanda tangan para saksi, dan yang kedua adalah laporan kejadian yang disampaikan oleh Joao de Barros dalam bukunya Da Asia, yang dicetak tidak lama sebelum tahun 1777/1778.

Menurut sumber-sumber sejarah ini, raja Sunda menyambut hangat kedatangan orang Portugis. Saat itu Prabu Surawisesa telah naik tahta menggantikan ayahandanya dan Barros memanggilnya “raja Samio.” Raja Sunda sepakat dengan perjanjian persahabatan dengan raja Portugal dan memutuskan untuk memberikan tanah di muara sungai Ciliwung sebagai tempat berlabuh kapal-kapal Portugis.

Baca juga: Masuknya Bangsa Portugis di Sulawesi

Selain itu, raja Sunda berjanji jika pembangunan benteng sudah dimulai maka dia akan menyumbangkan seribu karung lada kepada Portugis. Dokumen kontrak tersebut dibuat rangkap dua, satu salinan untuk raja Sunda dan satu lagi untuk raja Portugal, keduanya ditandatangani pada tanggal 21 Agustus 1522.

Sebuah lukisan yang dibuat tahun 1725 dengan judul menyebut “Iacatra” (Jayakarta) nama sebelum Batavia, nama Jayakarta merupakan pemberian Fatahillah setelah berhasil merebut Sunda Kelapa dari Kerajaan Sunda dan Portugis, serta mengubah namanya jadi Jayakarta. Foto: testing-akalsejarah.blogspot.com

Pada dokumen perjanjian, saksi dari Kerajaan Sunda adalah Padam Tumungo, Samgydepaty, e outre Benegar e easy o xabandar, maksudnya adalah “Yang Dipertuan Tumenggung, Sang Adipati, Bendahara dan Syahbandar” Sunda Kelapa. Saksi dari pihak Portugis, seperti dilaporkan sejarawan Porto bernama Joao de Barros, ada delapan orang.

Saksi dari Kerajaan Sunda tidak menandatangani dokumen, mereka melegalisasinya dengan adat istiadat melalui “selamatan.” Pada hari penandatangan perjanjian tersebut, beberapa bangsawan Kerajaan Sunda bersama Enrique Leme dan rombongannya pergi ke tanah yang akan menjadi tempat benteng pertahanan di muara sungai Ciliwung.

Mereka mendirikan prasasti, yang disebut padrao, di daerah yang sekarang menjadi sudut Jalan Cengkih dan Jalan Kali Besar Timur I, Jakarta Barat. Pendirian tugu padrao ini merupakan kebiasaan bangsa Portugis saat mereka menemukan tanah baru.

Portugis gagal untuk memenuhi janjinya untuk kembali ke Sunda Kalapa pada tahun berikutnya untuk membangun benteng dikarenakan adanya masalah di pusat pemerintahannya di Goa, India.

Baca juga: 5 Perkara Penyebab Runtuhnya Sebuah Negara Menurut Karaeng Pattingalloang

Perjanjian inilah yang memicu serangan tentara Kesultanan Demak ke Sunda Kelapa pada tahun 1527 dan berhasil mengusir orang Portugis dari Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527. Tanggal ini di kemudian hari dijadikan hari berdirinya Jakarta. Akibat serangan Demak ini juga menyebabkan keruntuhan kerajaan Sunda.

2. Kerajaan Bone
Sekitar akhir abad ke-16, beberapa kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan terlibat peperangan untuk memperebutkan hegemoni kekuasaan, diantara konflik-konflik itu, yang paling menonjol yaitu antara kerajaan Gowa dengan Kerajaan Bone.

Puncak pertikaian terjadi saat Gowa resmi menjadi kerajaan Islam pada 1605. Seperti dicatat dalam Sejarah Nasional Indonesia, Volume 3 (2008), Kerajaan Gowa yang sudah berganti corak menjadi kesultanan mulai memaksa kerajaan lainnya untuk menganut agama yang sama sekaligus meluaskan pengaruh politiknya (hlm. 83).

Bone yang berpuluh-puluh tahun sebelumnya cukup merepotkan Gowa akhirnya harus menyerah pada tahun 1611. Sejak saat itu, Bone ikut menganut ajaran Islam dan menjadi taklukan Gowa. Meskipun begitu, kedudukan raja Bone masih diakui dan sempat dimerdekakan kendati rangkaian konflik masih saja terjadi di era-era setelahnya.

Baca juga: Sederet Gelar Arung Palakka

Tahun 1643, Bone benar-benar jatuh dan wilayahnya diperintah langsung oleh Sultan Gowa. Peristiwa tersebut terjadi ketika Bone dipimpin oleh La Maddaremmeng. Takluknya Bone kepada Gowa membuat anggota kerajaan Bone dijadikan tawanan, tidak terkecuali salah seorang Putra La Maddaremmeng yang bernama Arung Palakka.

Arung Palakka inilah nantinya yang menjadi sosok kontroversi bagi masyarakat Sulawesi Selatan, antara pahlawan atau penghianat. Menurut Palloge Petta Nabba dalam Sejarah Kerajaan Tanah Bone (2006), Arung Palakka dan keluarganya dijadikan pelayan di kediaman Perdana Menteri Gowa, Karaeng Pattinggaloang.

Lukisan perang Makassar, terlihat potret Cornelis Janzon Speelman (sudut kiri atas) dan Arung Palakka (sudut kanan atas). Foto: mbojoklopedia.com

Namun Karaeng Pattinggaloang tetap menaruh kasihan kepada keluarga Arung Palakka, dan Arung Palakka pun tumbuh di bawah bimbingan Karaeng Pattingalloang (hlm. 124). Hingga suatu ketika, Arung Palakka akhirnya bisa terbebas dari cengkeraman Gowa setelah terjadi aksi pemberontakan orang-orang Bone yang dipimpin Tobala yang merupakan salah satu petinggi kerajaan Bone.

Dibantu beberapa mantan petinggi Bone yang masih setia, Arung Palakka berhasil membebaskan orang-orang Bone yang dipekerjakan secara paksa. Sayangnya, Tobala tewas dalam peperangan tersebut. Untuk meraih kemenangan, Arung Palakka belum sanggup melawan kerajaan Gowa lantaran armada militer Gowa masih terlalu kuat, bahkan membuatnya kian terdesak.

Arung Palakka pun terpaksa melarikan diri karena menjadi target utama pasukan Gowa yang mencarinya sampai ke Buton. Di saat yang sama, VOC datang menawarkan bantuan. Kondisi ini sebenarnya dilematis bagi Arung Palakka. Di satu sisi, ia muak dengan ambisi VOC. Namun di sisi lain, ia memerlukan dukungan kaum penjajah itu jika ingin menuntaskan dendamnya sekaligus menjadikan Bone sebagai pemerintahan yang berdaulat lagi.

Akhirnya, pada 1663, Arung Palakka dan para pengikutnya berlayar ke Batavia untuk menemui pimpinan VOC. Karena keputusannya meminta bantuan kepada VOC inilah yang menyebabkan kerajaan ini dicap sebagai pengkhianat. Selain untuk menyelamatkan diri dari kejaran Gowa, Arung Palakka ternyata harus membuktikan terlebih dulu bahwa ia memang benar-benar butuh bantuan VOC.

Baca juga: 5 Bangsawan Makassar yang Menolak Menyerah Pada Perang Makassar

VOC mengizinkan Arung Palakka dan orang-orangnya menetap di Batavia, namun mereka harus membantu VOC sekaligus sebagai pembuktian diri bahwa mereka adalah orang-orang yang tangguh dan dapat diandalkan. Kehadiran Arung Palakka sangat menguntungkan VOC.

Seperti dicatat Anthony Reid dalam Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia (2000), ia menjadi salah satu kunci keberhasilan VOC dalam menaklukkan berbagai wilayah di Nusantara, bersama Cornelis Janzon Speelman yang asli Belanda dan Kapten Jonker, pemimpin kelompok bersenjata dari Maluku.

Setelah 3 tahun membantu VOC, saatnya tiba bagi Arung Palakka untuk menuntaskan dendam sekaligus merebut kembali wilayah Bone yang dikuasai Gowa. Pada 24 November 1666 armada besar bertolak dari pesisir utara Batavia menuju Makassar, terdiri dari 21 kapal perang yang mengangkut 1.000 prajurit. Pasukan Arung Palakka yang beranggotakan 400 orang semakin percaya diri berkat bantuan VOC yang menyumbangkan 600 orang tentaranya dari Eropa yang paling terlatih.

Mereka berangkat dengan tujuan mengalahkan Gowa yang saat itu dipimpin oleh Sultan Hasanuddin. Dan terjadilah pertempuran legendaris itu yang dikenal dengan nama Perang Makassar. Gowa pada akhirnya menyerah, dan tanggal 18 November 1667 Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya yang menandai kemenangan VOC dan Arung Palakka, walaupun selama beberapa tahun berikutnya serpihan pasukan Gowa masih melakukan perlawanan.

Tuliskan Komentar