Barru Raya Modern Tokoh

Swapraja Tanete-Barru Pada Masa Pemerintahan Andi Iskandar Unru

Andi Iskandar Unru merupakan anak dari La Unru Sullewatang Tanete dengan Andi Puttiri. Andi Iskandar Unru lebih sering dikenal dengan nama Bau Kanda, ia memiliki beberapa saudara, diantaranya Andi Usman Unru dan Andi Amir Unru. Namanya kini diabadikan menjadi nama sebuah jalan di Kota Barru.

Sebelum Andi Iskandar Unru menjadi pejabat pemerintah di Tanete, sebelumnya ia menjabat sebagai wakil dari Andi Baso Paddipung yang merupakan pejabat pemerintah Tanete sebelumnya. Selain itu, di masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, ia banyak merangkap sebagai jajaran pemimpin pada berbagai organisasi perjuangan.

Ketika Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya, Belanda bersama pasukan sekutu kebali untuk menguasai wilayah Indonesia, sehingga terjadi pertempuran di berbagai wilayah Indonesia, pertempuran-pertempuran semacam itu terjadi tidak terkecuali di Tanete.

Oleh karena itu, untuk menggalang persatuan dan kesatuan dalam rangka perjuangan menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, diadakanlah pertemuan di Mesjid tua Lailatul Qaderi Lalabatapada tanggal 2 November 1945.

Pertemuan yang dipimpin oleh Andi Abdul Muis tersebut dihadiri oleh sekitar seratus orang yang terdiri semua unsur sosial di masyarakat, yaitu dari pihak pemerintah, tokoh masyarakat, ulama, pendidik, pemuda, kaum bangsawan, dan bahkan ada wakil dari Pangkajene. Pada pertemuan tersebut, Andi Iskandar Unru turut hadir sebagai wakil atau unsur pemerintah.

Baca juga: Andi Abdul Muis Tenridolong, Pemimpin Gerakan Pemuda Tanete

Pada pertemuan tersebut, akhirnya berhasil mengambil keputusan, bahwa seluru rakyat Tanete menyatakan kebulatan Tekad berdiri di belakang Republik Indonesia dan pemerintah Tanete memisahkan diri dari Onderafdeling Barru serta mengadakan hubungan langsung dengan pemerintah Republik Indonesia. Di Samping itu juga menetapkan Andi Abdul Muis sebagai ketua KNI Tanete. Sementara Andi Iskandar Unru menjabat sebagai pembantu khusus atau pelaksana harian untuk urusan pemerintahan.

Pada tahu 1950, Andi Baso melepaskan jabatannya sebagai pemerintah di Tanete. Untuk menjaga wilayah Tanete dari kekosongan pemerintahan, Pemerintah Darurat Sulawesi Selatan menunjuk Andi Iskandar Unru sebagai pejabat di Tanete. Pada masa ini, kerajaan Tanete yang sebelumnya berstatus Zelfbestuur Tanete kini berubah nama menjadi Swapraja Tanete.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, pasal 133dinyatakan bahwa “sambil menunggu ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 132, maka peraturan yang ada tetap berlaku dengan pengertian bahwa pejabat-pejabat daerah bagian dahulu yang disebut dalam peraturan-peraturan diganti dengan pejabat-pejabat yang demikian pada Republik Indonesia.”

Penaturan pemerintah di daerah sejak diumumkan kembali NKRI pada 17 Agustus 1950 dan dengan berlakunya UUDS 1950 yang membuat ketentuan seperti yang dipaparkan diatas itu menunjukkan bahwa penataan pemerintahan di daerah ini tetap berdsarkan pada peraturan pemerintah No. 22 tahun 1948, dan Undang-Undang NIT No. 44 tahun 1950.

Pada dasarnya peraturan pemerintahan maupun undang-undang tentang penataan pemerintahan di Sulawesi Selatan tidak merubah dasar struktur pemerintahan yang telah berlaku sejak periode kolonial. Hal itu tidak dapat diterima baik karena masih menggunakan pengistilahan kolonial. Oleh karena itu, ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1952, pada tanggal 12 Agustus 1952 (Lembaran Negara tahun 1952 No. 236) tentang pembubaran daerah Sulawesi Selatan dan pembagian dalam daerah-daerah swatantra.

Baca juga: Perjuangan Abdul Karim di Barru Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia

Namun demikian, perubahan yang terjadi hanya menyangkut penyebutan saja, di mana residentie diubah menjadi Daerah Swatantra yang sering disebut sebagai daerah pemerintahan, Afdeling menjadi Daerah, onderafdeling menjadi Kewedanaan, dan Zelfbestuur menjadi Swapraja. Perubahan juga terjadi pada pejabat pemerintahan tingkat swantara (resident) dan daerah (afdeling).

Jika dahulu dijabat oleh pejabat Belanda maka kini dijabat oleh pejabat bumiputera. Residen Sulawesi Selatan menjadi Swatantra Sulawesi Selatan terbagi atas 7 daerah, 29 kewedanaan, 30 swapraja, dan 9 neo-swapraja. Swapraja Tanete, bersama Swapraja Soppeng Riaja dan Swapraja Mallusetasi tergabung ke dalam Kewedanaan Barru.

Sementara Kewedanaan Barru bersama Kewedanaan Parepare, Sidenreng-Rappang, Pinrang, dan Enrekang tergabung ke dalam Daerah Parepare. Meskipun Tanete tetap berstatus Swapraja, namu tidak lagi dipimpin oleh seorang raja, tetapi oleh satu Dewan Pemerintahan Swapraja yang dikepalai oleh Andi Iskandar Unru dan didampingi oleh Manessa Daeng Masalle sebagai wakilnya serta Andi Abdulsyukur sebagai anggotanya.

Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda pada Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1950, dan kembali membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pemerintah mulai menata administrasi pemerintahan.

Ternyata kembali muncul berbagai pergolakan di berbagai wilayah NKRI, beberapa pergolakan itu diantaranya gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di berbagai wilayah Indonesia, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera, dan Perjuangan rakyat Semesta (Permesta) serta Gerakan Andi Azis di Sulawesi. Terkhusus di Sulawesi Selatan, gerakan-gerakan yang mengancam keamanan kebanyakan dilakukan oleh kelompok dari Kahar Muzakkar yang tergabung ke dalam  DI/TII yang berawal dari tahun 1953.

Baca juga: Riwayat Perjuangan Laskar Gerakan Pemuda Tanete

Gerakan DI/TII di bawah pimpinan Kahar Muzakkar terjadi hampir di Sulawesi Selatan dan Tenggara, tidak terkecuali di daerah Tanete. Dalam laporan pemerintah setempat, kelompok gerakan DI/TII sering disebut gerakan gerombolan, bahkan penduduk Sulawesi Selatan punya penyebutan sendiri, kelompok gerombolan ini disebut Gorilla dan masa berlangsungnya kekacauan ini akibat DI/TII disebut dengan Tempo Gorilla.

JL. A. Iskandar Unru di Kota Barru. Foto: Erik Hariansah

Pada tahun 1956, sekitar 400 rumah penduduk Tanete dibakar oleh gerombolan, bangunan makam Petta Pallase-Lase’e juga dirusak karena dianggapnya sebagai tempat berhala. Tindakan itu menyebabkan Andi Iskandar Unru menulis surat permohonan kepada residen Koordinator Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Februari 1956 untuk tidak mengikuti penataran pamong praja.

Selain itu juga, Andi Iskandar Unru membatalkan niatnya untuk menunaikan ibadah Haji. Sikap itu dilaksanakannya karena memandang bertanggungjawab sebagai putra daerah untuk melindungi rakyatnya dari ancaman gerombolan dan tindakan sejumlah perorangan yang memanfaatkan kesempatan itu untuk mendapatkan keuntungan.

Ketakutan dan penderitaan rakyat sesungguhnya tidak seluruhnya akibat gerakan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar, tetapi juga oleh aktivitas organisasi bersenjatayang dibentuk untuk melindungi rakyat dari gerombolan. Hal ini tampak dalam laporan rahasia Ketua Dewan Pemerintah Swapraja Tanete, Andi Iskandar Unru tahun 1957 kepada penguasa militer c.q Komandan Kompi RI. XXIII.

Dalam laporan itu diungkapkan bahwa di Tanete telah bergiat empat organisasi bersenjata yaitu OPD/TBD Tanete, OPD/TBD Pancana, Combat Troepen Haji Muh. Jaharuddin, dan Combat Troepen Andi Sede. Oganisasi bersenjata tersebut dibentuk dengan tujuan dapat melindungi rakyat dari ancaman gerombolan, namun pada kenyataan menimbulkan banyak persoalan.

Baca juga: Kisah di Balik Pembangunan Tiga Monumen Bersejarah di Barru

Walaupun Andi Iskandar Unru telah memimpin pemerintahan di Tanete selama sepuluh tahun sebelum Swapraja Tanete dihapuskan, tetapi situasi politik dan keamanan yang kacau di seluruh Sulawesi Selatan pada masa itu tidak banyak memberikan peluang baginya untuk melakukan sesuatu yang berarti. Ia hanya memindahkan ibu kota Tanete dari Pancana ke Pekkae.

Foto bersama H. Andi Iskandar Unru. Foto: Facebook (Andi Unru Mappa).

Beberapa kewedanaan di Sulawesi Selatan menghendaki perubahan status menjadi daerah atau Kabupaten. Karena itu langkah pemulihan dilaksanankan dengan mengelurkan Undang-Undang Darurat No. 2, No. 3, dan No. 4 tahun 1957 yang isi pokoknya yaitu, Nomor 2 tentang pembubaran Daerah Makassar dan dibagi menjadi Kabupaten Gowa, Makassar, dan Jeneponto-Takalar. Nomor 3 tentang pembubaran Daerah Luwu dan dibagi menjadi Kabupaten Luwu, dan Tana Toraja. Nomor 4 tentang pembubaran Daerah Bone dan dibagi menjadi Kabupaten Bone, Soppeng, dan Wajo.

Pemerintah Swapraja Tanete dan Swapraja Barru tidak mempersoalkan latar kesejarahannya masing-masing sebagai satu kerajaan yang otonom untuk mendapatkan status sebagai daerah sendiri-sendiri seperti halnya beberapa bekas kerajaan lainya. Hal itu disebabkan perhatian pemerintah lebih tercurah pada usaha untuk melindungi rakyat dari ancaman gerombolan. Selain itu dua kerajaan ini memiliki latar persekutuan yang eratsebagai satu kesatuan yang ditandai dengan pertukatan bendera kerajaan dimasa terdahulu.

Itulah sebabnya ketika pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 29 tahun 1959 tentang pembentukan Daerah Tingkat II di Provinsi Sulawesi, yang menetapkan wilayah Swapraja Tanete, Barru, Mallusetasi, dan Soppeng Riaja menjadi satu daerah tingkat II Barru yang terdir dari lima kecamatan, diantaranya Kecamatan Barru, Kecamatan Soppeng Riaja, Kecamatan Mallusetasi, serta Swapraja Tanete dipecah menjadi dua kecamatan yaitu Kecamatan Tanete Riaja dan Kecamatan Tanete Rilau. Keputusan ini disambut dengan senang hati. Penerimaan itu menjadi dasar keutuhan Kabupaten Daerah Tingkat II ini tetap dipertahankan.

Baca juga: Sejarah Kecamatan Mallusetasi, Kabupaten Barru

Dalam Undang-Undang itu ditetapkan bahwa pusat Pemerintahan di Sumpangminangae. Sementara penetapan jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk Daerah Tingkat II Barru sebanyak 18 orang. Yang diangkat menjadi kepala daerah Kabupaten Barru berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No U.P.7/2/39-372 tanggal 28 Januari 1960 adalah Kapten Infantri La Nakka.

Pelantikannya menjadi kepala daerah berlangsung di Balai pemerintahan Swapraja Barru pada tanggal 20 Februari 1960. Tanggal pelantikannya ini kemudian ditetapkan sebagai momentum peringatan hari jadi Kabupaten Barru.

Dengan terbentuknya Kabupatena Barru, maka berakhir lah masa pemerintahan dari Andi Iskandar Unru pada tahun 1960. Penghapusan Swapraja Tanete dan dilebur menjadi Kabupaten Barru mengakhiri masa yang cukup panjang dari perjalanan sejarah Kerajaan Tanete yang telah berdiri selama kurang lebih 400 tahun.

Kepustakaan:
                    Amir, Muhammad. 2011. Andi Abdul Muis Tenridolong, Patriot yang Konsekuen Hingga Tetes Darah Terakhir. Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan.
                    Asba, Rasyid. 2010. Gerakan Sosial Di Tanah Bugis, Raja Tanete Lapatau Menentang Belanda. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
                    Pawiloy, Sarita. 1987. Arus Revolusi 45 di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Provinsi Sulawesi Selatan Masa Bakti 1985-1989.
                    Rasyid, Darwas. 1990. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Daerah TK. II Kabupaten Barru. Ujung Pandang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Ujung Pandang.
                    Usman, Asriyani. 2005. Swapraja Tanete-Barru Pada Masa Pemerintahan Andi Iskandar Oenroe (1950-1960). Skripsi. Makassar: Universitas Negeri Makassar.
                    Walinono, Hasan. 1979. Tanete, Suatu Studi Sosiologi Politik. Disertasi. Makassar: UNHAS.
                    Yusuf. 2000. Perjuangan Abdul Karim Mempertahankan Kemerdekaan di Tanete Barru (1945-1946). Skripsi. Makassar: Universitas Negeri Makassar.

Tuliskan Komentar