Barru Raya Modern Tokoh

Kisah Lucu Saat Jenderal M. Jusuf Berkunjung Ke Barru

Jenderal M. Jusuf dikenal sebagai panglima yang perhatian kepada prajurit. Hari-harinya selama menjabat sebagai Menhankam/Pangab di kabinet Pembangunan III lebih banyak dihabiskan di lapangan untuk meninjau langsung kesiapan pasukan dan persenjataan atau kondisi kehidupan para prajurit beserta keluarga mereka. Kebiasaan itu telah dilakukan Jusuf jauh sebelum dia menduduki kursi nomor satu ABRI.

Namun selain hobi memperhatikan prajurit, Jusuf juga hobi ngebut menggunakan jip. Kebiasaannya sejak masih perwira pertama itu dilakukannya untuk inspeksi mendadak ke lapangan. Ketika sudah menjabat sebagai Pangdam Hasanuddin, kebiasaan itu tetap dilanjutkannya.

Brigjen Andi Mattalatta dalam biografinya menceritakan legenda Jusuf mengendarai mobil. Pada tahun 1951, ketika Andi Mattalatta mengadakan resepsi pernikahannya di Kota Barru, Kapten Jusuf juga diundang. Karena baru datang dari Jakarta, Jusuf mencari mobil sendiri untuk pergi ke Barru yang jaraknya 100 kilometer dari Kota Makassar.

Seorang ibu yang bernama Nyonya Alimbachri yang juga baru datang, meminta kepada Jusuf untuk ikut menumpang mobilnya. Dengan senang hati ibu itu depersilahkan naik ke jip dan duduk di bagian belakang. Jusuf sendiri kemudian menyetir jipnya hingga ke Barru dengan kecepatan tinggi.

Baca juga: Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi dan Konferensi Paccekke

Sesampainya di lokasi, Jusuf menengok ke belakang mencari penumpangnya. ternyata kosong! ia heran dan melihat lebih teliti ke belakang. Ternyata Nyonya Alimbachri telah pingsan dan jatuh di lantai mobil. Maklum, jarak antara ibukota Sulawesi Selatan dan Barru ditempuh hanya dalam satu jam saja.

Sekian puluh tahun kemudian, pada tahun 1983, Sebagai Menhamkam/Pangab, Jusuf mampir ke Ujungpandang. begitu mendarat di Bandara Hasanuddin, ia melihat Kolonel Inf. Sintong Panjaitan turut menyambutnya. Waktu itu ada satu grup Kopassandha yang ditempatkan di Ujungpandang, dan Sintong adalah komandannya.

“Hei, Sintong! Besok aku mau pigi ke Barru. Tolong Siapkan oto!” kata Jusuf setengah berteriak kepada Sintong.

“Siap, Pak!” jawab Sintong. Malam harinya Sintong menyiapkan mobil dinasnya sendiri untuk Pangab. Semua ban diganti yang baru, rem diperiksa, dan juga kondisi mesinnya. Dia tahu betul, kalau Jusuf mau “oto” berarti dia tidak ingin sekedar menyetir santai di tengah kota.

Keesokna harinya Jusuf mendatangi mobil jip CJ-7 yang sudah dipasangi bintang empat. “Pak Tanto ikut saya!” perintah Jusuf kepada Kepala Staf Umum (Kasum) ABRI Letjen TNI Himawan Soetanto.

“Siap!” Jawab Himawan Soetanto.

Baca juga: Kisah di Balik Pembangunan Tiga Monumen Bersejarah di Barru

Jadilah Menhamkam/Pangab yang berbintang empat menjadi supir seorang jenderal bintang tiga. Iring-iringan sudah diatur oleh Pangdam XIV/Hasanuddin yang tahu betul sifat panglimanya. Di depan ada mobil pembuka jalan dari POM-ABRI, setelah itu sebuah sedan patroli Volvo terbaik dan terbagus mesinnya, dan tepat di belakangnya mobil jip yang dikendarai Jusuf. tepat di belakang itu, sebuah jip yang berisi prajurit baret merah yang dipilih sendiri oleh Sintong. baru setelah itu sejumlah bus yang akan diisi oleh anggota rombongan yang lain.

Jenderal M. Jusuf saat ke Barru
Jenderal M. Jusuf bersama Letjen Himawan Soetanto saat mengunjungi Barru. Foto: Buku dari Atmadji Sumarkidjo, “Jenderal M. Jusuf: Panglima Para Prajurit.”

Mula-mula iring-iringan berjalan dengan kecepatan “normal” yaitu sekitar 60 km/jam. tetapi begitu lewat simpangan ke bandara, dan jalan mulai sepi, Jusuf segera menambah kecepatan. Mula-mula 80 km/jam, kemudian 90 km, sampai 100 km. pada kecepatan itu, mobil pembuka jalan dari POM sudah disalip, dan Volvo masih menjadi pembuka. Duapuluh menit kemudian, Jusuf sudah mulai menyalakan lampu besar mobil, seolah-olah memerintahkan mobil polisi untuk lebih kencang lagi.

“Wah, payah mobil si Awaluddin ini,” kata Jusuf sambil menggeleng-gelengkan kepala. Yang ia maksud adalah mobil Volvo yang disetir oleh polisi, karena waktu itu Kapolrinya adalah Jenderal Polisi Awaluddin Djamin.

Baca juga: Kisah Tiga ‘Jusuf’ Dari Sulawesi Selatan

Setelah sekitar 40 menit setelah meninggalkan seluruh rombongan di belakang, Jusuf sampai di Kota Barru. Sewaktu ia telah selesai minum dan ngobrol-ngobrol dengan pejabat setempat, barulah rombongan resmi yang lain sampai di lokasi.

Perjalanan pulang ke Bandar Udara Hasanuddin lebih gila lagi. Mobil dipacu dengan kecepatan rata-rata 140 km/jam, padahal jalanan yang melalui pinggir pantai di beberapa tempat agak berliku. Sempat pula Jusuf berkomentar, “Nah, dulu di sini biasanya gerombolan sering mencegat tentara!” Yang diajak bicara, Letjen Himawan pasti tidak bisa berkonsentrasi mendengar cerita Jusuf. kedua tangannya memegang erat pegangan mobil, dan kaki tertancap dalam-dalam ke depan seolah-olah ia ingin ikut membantu mengerem mobil.

Sesampainya di Bandar Udara Hasanuddin, Himawan yang dua puluh tahun sebelumnya adalah seorang komandan pasukan yang ditakuti di Sulawesi Selatan, mengeluh kepada sejumlah perwira yang menunggu di sana. “Wah, Pak Jusuf itu gila betul menyetirnya. Kalau terbalik gimana ya?!”

Kolonel Sintong tertawa-tawa senang, bos bintang empat tidak mengajukan keluhan atas performa jipnya. Artinya mobil benar-benar performa prima. Brigjen TNI Bachtiar, yang lama menjadi kepala staf Kodam Hasanuddin di bawah Jusuf juga ketawa. “Ya begitulah beliau itu. Dulu jalannya belum sebagus sekarang, tapi ngebutnya sama juga.”

Rujukan:
– Sumarkidjo, Atmadji. 2006. Jenderal M. Jusuf: Panglima Para Prajurit. Jakarta: Kata Hasta Pustaka.
historia.id

Tuliskan Komentar