Pokok Kepercayaan tradisional Sulawesi Selatan merupakan apa saja adat hidup yang mereka peroleh dari warisan nenek moyangnya. Kepercayaan asli tersebut umumnya bersifat Animisme dan Dinamisme. Kepercayaan Animisme menyembah kepada roh-roh nenek moyang yang mereka anggap masih bersemayam di batu besar, pohon yang rindang daunnya dan tempat-tempat yang dianggap keramat.
Sementara kepercayaan Dinamisme menyebab kepada kekuatan alam atau benda-benda seperti gunung, batu, dan keris. Kekuatan benda-benda tersebut dapat dijadikan sebagai penangkal datangnya bahaya atau berfungsi sebagai alat untuk memperoleh kekebalan.
Baca juga: Animisme dan Dinamisme: Bentuk Kepercayaan Asli Masyarakat Nusantara
Warisan inilah yang dianggap oleh mereka sebagai agama dan kepercayaan yang benar dan yang dikenal dengan berbagai nama seperti Toani Tolotang, Patuntung, dan Aluk Todolo.
1. Kepercayaan Aluk Todolo
Kepercayaan tradisional masyarakat Sulawesi Selatan yang pertama adalah Aluk Tudolo. Kepercayaan Aluk Tudolo mengajarkan bahwa diluar diri manusia terdapat tiga unsur kekuasaan yang wajib dipercayai akan kebenaran dan kebesarannya, yaitu Puang Matua, Deata-deata, dan To Mebali Puang. Kepercayaan ini umumnya dianut oleh Masyarakat Toraja. Puang Matua sebagai penguasa langit merupakan unsur kekuatan yang paling tinggi.
Setelah manusia yang pertama yaitu La Ukku diciptakan oleh Puang Matua di langit, maka manusia pertama ini segera membuat aturan-aturan yang disebut Sukaran Aluk, yang kemudian memerintahkan kepada keturunannya yaitu Poang Mula Tau turun ke bumi membawa ajaran tersebut untuk dilaksanakan oleh ummat manusia.
Inti dari ajaran itu adalah bahwa Puang Matua memberikan kesenangan dan kebahagiaan bagi pemuja yang setia, dan jika ummat manusia lalai mengadakan pemujaan terhadapnya maka akan mendapat kutukan.
Baca juga: Stratifikasi atau Pelapisan Sosial Pada Masyarakat Toraja
Setelah Sukaran Aluk diturunkan kepada ummat manusia di bumi, Puang Matua pun memberikan kekuasaan kepada Deata-deata untuk memelihara dan menguasai alam raya. Dari sekian banyak Deata-deata yang menguasai benda-benda alam raya. terdapat tiga deata yang paling populer yang masing-masing menguasai wilayah tertentu yaitu:
- Deata tangngana langi yang bertugas mengawasi angkasa.
- Dea ta kapadanganna yang menguasai permukaan bumi (daratan,sungai dan lautan).
- Deata tanggana padang yang menguasai isi perut bumi.
Oleh karena para deata ini perlu dimintai berkahnya untuk keselamatan dan kebahagiaan hidup di bumi, maka ummat manusia selain mengadakan upacara pemujaan kepada Puang Matua, juga ada penyembahan terhadap Deata-deata.
Upacara Rambu Solo di Toraja. Foto: deathandthebody.wordpress.com |
Kekuasaan yang ketiga adalah arwah para leluhur yang telah menjelma menjadi dewa yang dikenal dengan sebutan Tomembali Puang. Kekuasaan Tomembali Puang ini juga merupakan pemberian dari Puang Matua, dalam hal mengawasi perbuatan dan perilaku keturunannya termasuk memberikan berkah kepadanya.
Untuk itulah maka manusia selain memuja dan menyembah kepada Tuang Matua dan Deata-deata juga ada pemujaan kepada Tomembali Puang sebagai tanda bakti ketaatan terhadap leluhurnya. Ketaatan itu terwujud dalam bentuk kebaktian dan persembahan berupa sesajian.
Ketiga kekuasan tersebut merupakan kekuatan gaib yang dipercaya dan disembah oleh manusia dengan cara mempersembahkan kurban-kurban yang terdiri dari hewan-hewan seperti kerbau, babi, dan ayam. Biasanya persembahan itu dilakukan secara terpisah, dalam waktu dan cara yang berbeda pula sesuai dengan struktur kekuasaan itu.
2. Kepercayaan Toani Tolotang
Kepercayaan tradisional masyarakat Sulawesi Selatan yang kedua adalah Toani Tolotang. Sama seperti kepercayaan Aluk Todolo, kepercayaan Toani Tolotang juga mempercayai adanya Dewa-dewa di samping Dewa utama (Dewata Seuwae). Kepercayaan ini umumnya dianut oleh Masyarakat Tolotang di Sidenreng Rappang. Adapun nama-nama dewa itu sesuai dengan wilayah kekuasaannya yaitu: Dewata Langie, Dewata Mallinoe, dan Dewata Uwae.
Baca juga: Masuknya Agama Islam di Kerajaan Luwu
Dewata Langie yaitu suatu dewa yang menghuni langit. Dewa ini diharapkan mendatangkan hujan yang sekaligus membawa kemakmuran. Di samping itu Dewata Langie juga dapat membawa kerusakan kepada ummat manusia dengan jalan menurunkan petir atau mendatangkan kemarau yang panjang.
Dalam persembahan sajian, manusia harus menyediakan empat warna makanan yang ditempatkan pada sebuah tempat khusus yang diletakan di bagian atas rakkeyang (loteng) rumah.
Dewata Mallinoe yaitu suatu dewa yang banyak menempati tempattempat tertentu di dunia seperti di belokan jalan, pohon besar dan tempattempat keramat. Manusia sering memberikan saji-sajian dengan meletakan atau menggantung beberapa macam buah-buahan, makanan, lauk pauk dan binatang sebagai persembahan agar tidak mengganggu ketentraman manusia.
Ini bukan perkelahian ya, ini adalah permainan Massempe (saling beradu tendangan) pada masyarakat Tolotang. Foto: radarbone.fajar.co.id |
Dewata Uwae yaitu dewa air yang bertempat tinggal di lautan, sungai dan danau. Untuk memberikan saji-sajian kepada dewa air ini, penduduk sering membuat sebuah rumah miniatur yang di dalamnya berisi daundaunan, makanan dan beras warna-warni kemudian dilabuhkan.
Asal mula kepercayaan ini ketika seorang laki-laki bernama La Paunangi mendengar suara Dewata Sauwae yang yang tidak diketahui entah dari mana datangnya. Suara itu menyerukan agar La Paunangi menghentikan kepercayaan yang dianutnya karena tidak dapat memberikan di dunia dan hari kemudian, kemudian menggantinya dengan kepercayaan baru yang lebih mulia dan suci.
Baca juga: Asal Usul Nama serta Sejarah Kemunculan Kerajaan Sidenreng dan Rappang
Setelah La Paunangi bersedia menerima ajaran itu, maka ia diangkat menjadi Nabi dan diperintahkan menyebarkan ajaran itu turun temurun sampai keanak cucunya. Secara garis besar kepercayaan itu meliputi kenyakinan terhadap Dewata Sauwae, aturan-aturan perkawinan, Tarekat yang dilalaui, nasehat-nasehat serta larangan.
3. Kepercayaan Patuntung
Kepercayaan tradisional masyarakat Sulawesi Selatan yang ketiga adalah Patuntun. Berbeda dengan dua kepercayaan yang disebutkan diatas, kepercayaan Patuntung rupanya dapat dianggap sebagai sinkritisme antara kepercayaan asli dengan agama samawi. Kepercayaan ini umumnya dianut oleh Masyarakat Kajang di Bulukumba.
Dikatakan sinkritisme karena selain memiliki beberapa persyaratan yang biasanya harus dimiliki suatu agama langit yaitu mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta alam semesta, mempercayai adanya kenabian, kitab suci, dan hari pembalasan, juga masih mempercayai adanya kekuatan-kekuatan seperti dalam kepercayaan Animisme dan Dinamisme.
Nabi bagi kepercayaan Patuntung adalah Amma Toa yaitu seorang pemimpin pertama kepercayaan itu, yang dengan kepandaiannya pula dapat menciptakan “kitab suci”. Kitab suci yang mereka namakan Patuntung (tuntunan) itu merupakan pedoman bagi setiap pengikutnya dalam menjalankan kaidah-kaidah kerohanian. Selain ajaran kaidah kerohanian, kitab ini juga berisi mantera-mantera yang dapat dipergunakan untuk pengobatan, berbagai macam aturan berpakaian, mandi dan kawin mawin.
Masyarakat kajang yang mudah ditandai dengan pakaiannya yang serba hitam. Foto: koran.tempo.co |
Apabila kitab suci Ptuntung diarak disuatu tempat itu berarti di tempat itu terjadi suatu malapetaka yang luar biasa seperti adanya wabah penyakit menular, yang hanya bisa ditanggulangi oleh kesaktian kitab itu.
Baca juga: Dari Mana Asal-usul Nama Bulukumba?
Setiap pemeluk Patuntung wajib menerima semacam azimat yang berfungsi sebagai penolak bala dan penjaga keselamantannya. Azimat ini harus dijaga dengan berbagai macan kelakuan yang irrasional seperti tidak diperkenankan mandi kecuali di hari-hari tertentu yang diatur dalam kitab. Jika larangan itu dilanggar maka hilanglah kekebalan badan yang dimilikinya.
Selain itu diwajibkan pula memakai pakaian dan ikat kepala yang warna hitam pekat kemanapun mereka bepergian. Salah satu hal yang dianggap penting bagi mereka yang bermaksud mengunjungi daerah atau pusat dari kepercayaan Patuntung di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan yaitu salam Patuntung.
Jika pendatang salah menerima atau mengucap salam Patuntung, maka yang bersangkutan akan menerima akibat yang fatal. Apabila mereka bertemu dengan seseorang yang asing dan belum dikenalnya, mereka memberi salam penghormatan dengan mengucap “Assalamu Alepu” yang maksudnya selamat bersatu. Adapun jawaban dari salam ini ialah “Alepu Tallasa” yang berarti bersatu pasti hidup.
Sumber: Mukhlis P.,Eward Poelinggomang, Dkk. 1995. Sejarah Kebudayaan Sulawesi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
Tuliskan Komentar