Meski fenomena ini telah ada penjelasan ilmiahnya, namun berbeda dengan pandangan masyarakat zaman dulu yang menghubungkan peristiwa gerhana matahari ini dengan berbagai macam mitos.
Berkembangnya berbagai macam mitos seputar gerhana dikarenakan pada masa itu masih terbatasnya ilmu pengetahuan ilmiah dan berkembangnya berbagai kepercayaan magis dan supranatural. Berikut ini beberapa mitos seputar gerhana matahari di berbagai belahan dunia maupun di Nusantara.
Mitos gerhana matahari di berbagai negara
Di berbagai belahan negara, mitos seputar gerhana matahari ini muncul dalam berbagai bentuk kisah, mulai dari dikaitkan dengan monster yang menelan matahari sampai cerita matahari yang kabur meninggalkan bumi.
Baca juga: Qarun Tenggelam ke Dalam Tanah Bersama Hartanya Karena Likuifaksi
Monster menelan matahari
Di Vietnam, orang percaya bahwa gerhana Matahari disebabkan oleh katak raksasa yang melahap Matahari. Sementara warga Tiongkok kuno percaya seekor naga langit dianggap memakan matahari, menyebabkan gerhana tersebut.
Menurut mitologi Hindu kuno, dewa Rahu dipenggal oleh para dewa karena menangkap dan meminum Amrita, nektar para dewa. Kepala Rahu terbang ke langit dan menelan Matahari yang menyebabkan gerhana. Sedangkan mitos di Korea mengatakan bahwa gerhana matahari terjadi karena anjing-anjing mistis berusaha mencuri Matahari.
Kedatangan iblis atau roh jahat
Secara tradisional, orang-orang di beberapa budaya seperti bangsa Tiongkok dan Viking berkumpul untuk menggedor panci dan wajan dengan suara keras selama gerhana Matahari. Hal ini dilakukan untuk mengusir iblis pergi dan agar gerhana cepat berlalu. Disebut-sebut juga, warga Mesir kuno cukup khawatir dengan adanya gerhana matahari karena dipercaya erat dengan hawa jahat.
Tanda akan datangnya bencana
Masyarakat Yunani kuno percaya kalau gerhana Matahari adalah tanda kemarahan dari para dewa dan tanda dari adanya bencana dan kerusakan.
Baca juga: Inilah 11 Nama Lain Dari Pulau Sumatera
Pertengkaran matahari dan bulan
Menurut cerita rakyat Inuit, dewi matahari Malina pergi setelah berkelahi dengan dewa bulan Anningan. Gerhana matahari terjadi ketika Anningan berhasil menyusul saudaranya tersebut.
Sedangkan berdasarkan legenda Batammaliba di Benin dan Togo, konflik Matahari dan Bulan adalah penyebab gerhana Matahari. Mereka mengatakan gerhana Matahari berarti bahwa matahari-bulan tengah berperang dan satu-satunya cara untuk menghentikan konflik adalah orang-orang Bumi harus saling berdamai satu dengan yang lain.
Matahari ‘kabur’
Kepercayaan suku Tewa dari New Mexico di Amerika Serikat, menyebutkan jika gerhana Matahari merupakan pertanda sang surya sedang marah dan telah meninggalkan langit untuk pergi ke rumahnya di dunia bawah.
Mitos gerhana matahari di Nusantara
Mitos seputar gerhana matahari juga ada pada masyarakat Indonesia, namun pada umumnya mitos gerhana matahari ini dihubung-hubungkan dengan adanya Batara Kala, sosok raksasa yang dendam terhadap matahari dan mencoba menelannya.
Baca juga: 4 Tokoh Legenda Asia Tenggara Menjadi Hero di Mobile Legends
Gara-gara Batara Kala
Bagi sebagian orang di Nusantara, Batara Kala adalah biang keladi terjadinya gerhana matahari maupun bulan. Batara Kala disebut juga dengan nama Kala Rahu. Sosok ini dipercaya sebagai putra dewa tetapi berwujud raksasa akibat terkena kutukan.
Dalam mitologi Jawa dikisahkan, Batara Kala menaruh dendam terhadap Batara Surya yang merupakan Dewa Matahari, dan Batara Soma atau Dewi Ratih yang merupakan Dewi Bulan.
Batara Kala, yang menyaru menjadi dewa, ikut meminum tirta amerta alias air abadi bersama para dewa lainnya. Baru minum seteguk, penyamaran Batara Kala diketahui oleh Batara Surya dan Batara Soma, yang segera melaporkannya kepada Dewa Wisnu, salah satu dewa tertinggi.
Akibatnya, Batara Kala murka dan terus berupaya mengejar Batara Surya dan Batara Soma. Setiap kali tertangkap, Batara Kala akan memakan mereka sehingga langit menjadi gelap-gulita karena terjadi gerhana.
Batara Kala menelan matahari. Foto: detik.com |
Batara Kala diwujudkan dalam bentuk raksasa yang hanya memiliki kepala hingga leher saja. Itu karena hukuman Dewa Wisnu yang menebas leher Batara Kala dengan senjata cakra-nya. Maka, gerhana jarang berlangsung lama. Matahari atau bulan yang ditelan Batara Kala akan keluar lagi lewat leher bagian bawah yang sudah terpotong.
Baca juga: Tumanurung Bainea dan Berdirinya Kerajaan Gowa
Dikisahkan pula dalam mitologi Jawa, bagian badan Batara Kala berubah menjadi lesung (tempat menumbuk padi). Maka, ketika terjadi gerhana, orang-orang beramai-ramai memukuli lesung, juga membuat kebisingan dengan berbagai cara, agar Batara Kala memuntahkan matahari atau bulan yang dimakannya.
Hal yang dilakukan masyarakat saat terjadi gerhana
Masih berkaitan dengan Batara Kala, muncul berbagai mitos dalam kepercayaan sebagian orang Jawa seputar gerhana matahari atau bulan. Salah satunya yaitu masyarakat harus segera pulang untuk menyelamatkan sumber penghidupan miliknya.
Sawah atau lahan pertanian, dalam kepercayaan orang Jawa zaman dulu, harus disirami air selama gerhana terjadi agar tidak rusak dan gagal panen. Jika punya kebun yang menghasilkan bahan pangan, seperti pohon-pohon buah, harus dipukul-pukul batangnya supaya selamat dari terjangan murka Batara Kala.
Hewan-hewan ternak juga harus dijaga jangan sampai tertidur selama gerhana berlangsung dengan cara dicambuk-cambuk pelan dengan dahan pohon. Jika tidak, hewan-hewan yang merupakan aset kehidupan itu terancam mati setelah gerhana usai.
Baca juga: Kisah Meong Palo Karellae di Barru
Selain itu, selama langit gelap karena gerhana, setiap orang tidak boleh tidur. Ini mengacu kepada ungkapan Jawa yakni “siapapun yang terlena pasti terkena.” Artinya, setiap orang harus waspada jika tidak ingin terpapar dampak gerhana.
Bagi perempuan yang sedang mengandung, sebagian orang Jawa meyakini gerhana dapat berakibat fatal. Janin dikhawatirkan lahir tidak sempurna. Sang calon ibu bahkan bisa saja meninggal dunia apabila tidak diselamatkan dengan melakukan ritual.
Maka, menurut kepercayaan, wanita hamil harus diungsikan ke tempat yang dianggap aman, misalnya masuk ke kolong tempat tidur. Sementara itu, dilakukan ritual sego rogoh atau tradisi liwetan, yaitu memasak nasi beserta lauknya kemudian disantap beramai-ramai.
Leluhur masyarakat Nusantara justru tidak khawatir dengan terjadinya gerhana
Leluhur masyarakat Nusantara sendiri sejatinya tidak terlalu mencemaskan gerhana. Beberapa kali peristiwa penting dalam sejarah justru kebetulan terjadi bersamaan dengan hadirnya fenomena alam itu dan disikapi dengan wajar tanpa kepanikan yang berlebihan.
Baca juga: 8 Kitab Kuno di Nusantara yang Sering Dijadikan Sumber Penulisan Sejarah
Mpu Sindok, raja pertama Medang dari Dinasti Mataram Kuno, tetap mengesahkan Prasasti Turyan di Malang saat terjadi gerhana matahari pada 24 Juli 929 Masehi. Peresmian ini juga tercatat dalam buku 3 Prasasti Batu Zaman Raja Sindok terbitan Museum Nasional Indonesia.
Sikap serupa ditunjukkan Raja Singasari, Wisnuwardana (memerintah tahun 1248-1268), ketika meresmikan Prasasti Mulamalurung. Prasasti tersebut disahkan tepat ketika gerhana bulan terjadi pada tahun 1254 Masehi.
Masih ada lagi, yakni Prasasti Sucen yang berangka tahun 843 Masehi. Prasati yang ditemukan di Kedu, Jawa Tengah, atau bekas pusat Kerajaan Mataram Kuno ini juga diresmikan saat gerhana bulan. Prasasti Sucen diyakini sebagai catatan tertua tentang gerhana bulan di tanah Jawa.
Negarakertagama, naskah kuno yang kerap menjadi rujukan untuk melacak sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa, terutama Majapahit, selesai ditulis tepat ketika terjadi gerhana bulan. Mpu Prapanca merampungkan kitab ini antara September-Oktober 1365 Masehi.
Rujukan:
– detik.com/inet/science/d-4608068/5-mitos-dari-peradaban-kuno-seputar-gerhana-matahari
– tirto.id/ketika-orang-jawa-takut-gerhana-cEe3
Tuliskan Komentar