Modern Sulsel Tokoh

Ungkapan Kebesaran Hati Ho Eng Djie Melalui Lagu Daerah Makassar

Satu lagi film karya sineas Makassar menembus nasional, yakni film Ati Raja. Film layar lebar yang disutradarai oleh Shaifuddin Bahrum itu mulai tayang perdana di sejumlah bioskop tanah air pada hari Kamis, 7 November 2019.

Film ini menceritakan kisah hidup Ho Eng Djie, seorang seniman keturunan Tionghoa pencipta lagu-lagu daerah di Sulawesi Selatan, lagu ciptaannya yang populer saat ini adalah Ati Raja, Sailong, Dendang-dendang, Amma Ciang.

Salah satu lagunya yang populer yaitu Ati Raja. Ternyata lagu Ati Raja ini memiliki makna yang begitu dalam, yaitu sebagai seorang hamba kita harus mampu mengakui, menerima, atau mengikhlaskan kenyataan dengan lapang dada tentang segala sesuatu yang telah ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Latar belakang Ho Eng Djie menyatu dalam seni musik daerah Makassar di awali oleh rasa prihatinnya melihat persoalan diskriminasi di Makassar tentang perlakuan sikap buruk warga pribumi pada umumnya terhadap warga peranakan Tionghoa.

Baca juga: Lirik Lagu Makassar Ati Raja

Ho Eng Djie lahir pada tahun 1906. Ia terjun langsung ke dalam budaya Makassar dan ia dikenal sebagai sosok Tionghoa yang mampu beradaptasi, bahkan melebur dalam budaya setempat.

Shaifuddin Bahrum dalam bukunya Bunga Sibollo: Kumpulan Sajak (Kelong) Makassar yang menuliskan karya-karya populer Ho Eng Djie pada tahun 1940 hingga 1960, menjelaskan bahwa bakat seni Ho Eng Djie sudah muncul ketika berusia 20 tahun.

Walau pendidikannya rendah karena hanya mampu menamatkan dirinya sampai kelas IV di sekolah swasta (partikelir) Incek Bau Sandi di kampung Melayu Makassar. Tetapi justeru di sekolah tersebut Ho Eng Djie bisa belajar Bahasa Melayu dan Bahasa Makassar hingga penulisan Lontara.

Di usia yang cukup muda, Ho Eng Djie bersama kawan melayunya, A Haris Bintang dan M Idrus membentuk perkumpulan opera dan berkeliling hingga pedalaman dan berakhir di kota Sengkang, Wajo. “Perkumpulan tersebut tidak lama berdirinya, karena banyak kawan Melayunya melanjutkan perjalanan ke Malaysia,” tulis Shaifuddin Bahrum.

Baca juga: Colliq Pujie: Sastrawan Bugis Berdarah Melayu

Sebuah perusahaan rekaman piringan hitam di Surabaya tahun 1938 mengajak Ho Eng Djie bersama kelompoknya Orkes Sinar Sedjati yang dipimpin oleh Ho Eng Djie sendiri dan anggotanya Maliang Daeg Rapi sebaga pemain violin, Ahmad Atjeh sebagai peniup klarinet, Ince Daming sebagai penabuh rebana, Bani sebagai pemukul gong, serta Soepoe sebagai pemain gendang panjang.

Bersama kelompok itulah Ho Eng Djie mempersiapkan lagu-lagunya yang berirama Melayu-Makassar-Mandar, seperti Dendang-Dendang, Ati Raja, Pat Siang Teng, Sio Sayang, Angko Baba dan beberapa lagu lainnya.

Sukses dengan lagu Makassar, Hoo Soen pemimpin firma studio rekaman Canari kembali meminta Ho Eng Djie bersama kelompoknya untuk melakukan rekaman lagu-lagu Bugis.

Karena permintaan Hoo Soen, Ho Eng Djie pergi ke Kajuara, Bone, untuk mempersiapkan materinya dan bertemu rekan-rekannya antara lain Abdullah, Tala, dan Hawang sebagai vokalis. Mereka kemudian diboyong ke Makassar untuk berlatih bersama. Lagu yang dipersiapkan direkam tahun 1939 pada piringan hitam produksi studio rekaman Canari.

Baca juga: Lagu-Lagu Dari Koes Plus Bergema Sepanjang Masa

Pada rekaman lagu Bugis dan Mandar tersebut Ho Eng Djie didampingi kelompok Orkes Wari-Wiria yang beranggotakan M Tayyeb sebagai vokalis, Ahmad Atjeh sebagai peniup clarine, Ruheng sebagai pemain violin, Syahban sebagai pemain cello, Tan Leang Sieo sebagai pemian gitar, Tala sebagai pemain suling, dan Sitti Soebaedah sebagai pemain kecapi, Abdullah dan Hawang sebagai vokalis.

Poster Film Ati Raja. Foto: teraskata.id

Keadaan sosial-politik di seputar tahun 1939-1940 mengubah segalanya. Pemerintahan Belanda menangkapi orang-orang Jepang dan melakukan terror di mana-mana. “Semua penerangan di kota Makassar dimatikan semua, lampu ditutup dengan kain hitam/biru atau dicat,” tulis Shaifuddin Bahrum.

Akibat situasi tersebut, Ho Eng Djie bersama Orkes Persatuan Kita tidak lagi melakukan aktivitas terutama dalam hal rekaman. Meski demikian, Ho Eng Djie masih terus menulis syair-syair yang dibuat lagu.

Aktivitas seni Ho Eng Djie tidak berakhir ketika semua kelompk orkesnya bubar saat tentara Jepang mendarat di Makassar. Bersama Lie Seng Gie, Ho Eng Djie kemudian membentuk kelompok rombongan sandiwara yang diberi nama Sinar Matahari yang diambil dari julukan Jepang.

Dalam kelompok tersebut Ho Eng Djie bertindak sebagai penyusun cerita, sutradara, komposer musik dan dekorasi. Sementara Lie Seng Gie sebagai manager dan Nio Boen Tjae sebagai wakilnya.

Baca juga: Mengapa Jepang Menyerang Pearl Harbor?

Dalam waktu singkat kelompok Sinar Matahri mendapat penggemar yang banyak dari berbagai kalangan, seperti Tionghoa atau Peranakan, orang Makassar, Bugis, Jepang, dan orang-orang India yang banyak mendiami Kota Makassar.

Bahkan para tentara Jepang dan orang-orang sipilnya meluangkan waktu menyimak pertunjukkan Ho Eng Djie bersama kelompok Sinar Matahari yang diadakan setiap malam. Salah satu daya tarik rombongan sandiwara Ho Eng Djie, karena dirinya selalu membuat selingan dengan menyanyikan beberapa lagu ciptaannya seperti Ati raja dan Dendang-Dendang.

Sayangnya suasana perang yang semakin berkecamuk serta tentara sekutu kerap melakukan serangan dan pengeboman membuat rombongan sandiwara Sinar Matahari bubar.

Ho Eng Djie kemudian bersama keluarganya mengungsi ke daerah Pangkep. Setelah Jepang menyerah dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, Ho Eng Djie kembali ke Makasssar bersama keluarganya, menumpang di rumah Ruheng yang merupakan kawannya, di Pannampu jalan Beruanging, selama kurang lebih setahun.

Baca juga: 15 Fakta Sejarah Saat Awal Kemerdekaan Indonesia yang Jarang Diketahui

Di tahun 1950-an, Ho Eng Djie bersama Orkes Singara Kullu-Kullua yang kemudian berganti nama menjadi Orkes Sawerigading, banyak mengudara di Radio Republik Indonesia (RRI) Makassar. Karena perjuangannya dalam bidang kesenian di Sulawesi Selatan, Presiden Sukarno berkenan mengundangnya ke Istana Negara pada 11 September 1953.

Ho Eng Djie diundang untuk membicarakan berbagai hal perkembangan kesenian di Sulawesi Selatan, terutama mengenai sajak-sajak dan lagu-lagu daerah Bugis, Makassar, dan Mandar. Pada pertemuan itu juga, Presiden Sukarno membicarakan masalah hubungan kemasyrakatan antara orang Tionghoa dan pribumi (Indonesia) yang ketika itu sudah ada dampak keretakan.

Ho Eng Djie pada waktu itu sangat mengharapakan kepada pemerintah agar ditemukan jalan untuk menjalin kembali hubungan mesrah antara keduanya, karena sebelumnya dalam waktu yang cukup lama sudah terjalin dengan baik.

Ho Eng Djie meninggal pada tanggal 7 Maret 1960, di Makassar. Sehari sebelum ia wafat, Ho Eng Djie masih sempat menuliskan syair dan oleh keluargnya syair itu dituliskan di nisan makam Ho Eng Djie yang dimakamkan di pekuburan Tionghoa Bontojangang.

Tuliskan Komentar