Sebelum perjanjian ini bermula, pada masa pemerintahan raja Bone ke-VII, La Tenri Rawe Bongkange yang naik takhta menggantikan ayahnya La Uliyo Bote’e, telah terjadi beberapa kali serangan dari Kerajaan Gowa yang pada mulanya disebabkan karena penggabungan Tellulimpoe (tiga wilayah) memasukkan Bone sebagai anggota yakni Luwu, Gowa dan Bone.
Ketika terjadi pertempuran antara Gowa dan Bone, Wajo sebagai sekutu Gowa ikut serta dalam pertempuran melawan Bone, setelah tiga hari lamanya pertempuran itu berlangsung pasukan Bone terdesak, namun semangat pasukan Bone bangkit mengadakan penyerangan dan akhirnya pasukan Kerajaan Gowa dan Wajo terpukul mundur.
Baca juga: Raja Bone yang Dilengserkan Karena Memeluk Islam
Setelah itu Gowa kembali melakukan penyerangan, bersama dengan Raja Gowa Tonibata yang sebelumnya sakit, akan tetapi ia tewas setelah kepalanya dipancung oleh pasukan Bone. Lalu, Kajao Laliddo mewakili Bone dan Karaeng Tallo mewakili Gowa mengaddakan pertemuan yang menghasilkan perjanjian Ceppae ri Caleppa (Perjanjian Caleppa) berisi tentang batas wilayah kedua kerajaan di Selatan Bone dengan Sungai Tangka sebagai batasnya.
Raja Gowa, Karaeng Bonto Langkasa memeberi perintah kepada Arung Matoa Wajo sebagai Abdi Gowa untuk mengangkut kayu dari pegunungan Barru ke pinggir laut untuk dipergunakan mendirikan istanan di Tamalate sebagai ibukota Kerajaan Gowa.
Namun Arung Matoa Wajo merasa tidak senang karena diperlakukan sewenang-wenang, maka hal tersebut disampaikan kepada Raja Bone. Setelah mengetahui hal tersebut, Raja Bone merasa tidak senang, dan ia pun mengajak Arung Matoa dan Datu Soppeng untuk bersama-sama ke Barru.
Baca juga: Perang Makassar dan Kerugian Besar Kesultanan Makassar
Sesampainya di sana, Raja Gowa heran karena yang ia panggil hanya Raja Wajo, akan tetapi Raja Bone dan Raja Soppeng juga ikut. Tetapi, Raja Bone menjawab bahwa orang Wajo takut melewati daerah yang tidak didiami manusia. Kemudian Raja Bone, Soppeng dan Wajo sama-sama memotong tali pengikat kayu-kayu itu secara bergantian dengan menyanyikan lagu yang intinya sesama kerajaan yang terintimidasi menginginkan adanya perlawanan dengan menyatukan kekuatan.
Setelah kejadian itu, mereka bermusyawarah untuk menyerang Cenrana tujuh hari akan datang. Pada hari yang ditentukan mereka pun menyerang dan membakar Cendrana yang mana merupakan wilayah kekuasaan Gowa pada waktu itu. Lalu mereka sepakat kembali ke Timurung untuk mempererat persaudaraan mereka dalam menghadapi serangan-serangan dari Kerajaan Gowa.
Pada tahun 1582, Raja Bone, Soppeng, dan Wajo bertemu kembali di Timurung Bone dan mengadakan perjanjian persaudraan yang kemudian disebut dengan Perjanjian Persekutuan Tellumpoccoe (tiga puncak), ditandai dengan masing-masing raja bersama-sama menanamkan batu sebagai simbol persaudaraan di Timurung, daerah tempat dilaksanakan perjanjian tersebut dikenal dengan nama Lamumpatue ri Timurung.
Lamumpatue ri Timurung di Bone, tempat dilaksanakannya perjanjian Persekutuan Tellumpoccoe serta penanaman batu secara simbolis oleh masing-masing raja dari Bone, Soppeng dan Wajo. Foto: Erik Hariansah. |
Di era modern sekarang, di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan muncul kata atau akronim Bosowa. Selain itu kata Bosowa juga mengacu pada nama perusahaan semen yang berpusat di Sulawesi Selatan. Banyak masyarakat percaya bahwa kata Bosowa merupakan akronim dari tiga kerajaan dalam persekutuan Tellumppoccoe, yaitu Bone, Soppeng, dan Wajo.
Dalam proses perjalanannya, Raja Gowa yang mengetahui hal ini marah dan selalu melancarkan serangan terhdapa sekutunya Wajo yang berkhianat. Dua tahun setelah perjanjian Tellumpoccoe diadakan, La tenri Rawe meninggal karena penyakit yang dideritanya. Sebagai penggantinya ialah saudaranya La Inca, yang ditunjuk sebagai Raja Bone ke-VIII.
Pada tahun 1585, terjadilah perang antara Bone dan Gowa dalam memperebutkan kekuasaan. Kepemimpina La Inca, tidak sebaik saudaranya, pemberontakan terjadi dimana-mana hingga ia akhirnya mati diatas tangga istana setelah menjabat selama 11 tahun lamanya. Sesuai anjuran Arung Majang, maka ditunjuklah La Pattawettu menggantikan La Inca sebagai raja Bone.
Baca juga: Masuknya Agama Islam di Kerajaan Luwu
Pada masa La Pattawettu tidak terlalu banyak disebut pemerintahannya, juga tidak diberitakan adanya serangan militer Gowa ke Bone. Hanya dikatakan bahwa setelah tujuh tahun menjadi raja di Bone, ia pergi ke Bulukumba dan di sana pula ia menderita sakit pada tahun 1602. Takhta raja pun diserahkan pada puterinya, We Tenri Tuppu (1602-1611) yang mengendalikan kerajaan Bone selama 9 tahun lamanya.
Konflik antara kerajaan Gowa dan Persekutuan Telumpoccoe memuncak ketika Kerajaan Gowa menerima Agama Islam sebagai Agama kerajaan pada tahun 1605. Kerajaan Gowa kemudian menyerukan agar Persekutuan Tellumpoccoe juga menerima Agama Islam.
Seruan Kerajaan Gowa tersebut ternyata ditolak oleh Persekutuan Tellumpoccoe, mereka beralasan bahwa Islam hanyalah alasan Gowa untuk menguasai kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi. Menanggapi penolakan tersebut, Gowa melancarkan serangan terhadap Persekutuan Tellumpoccoe, dan terjadilah Musu Assellengngeng atau perang pengislaman.
Pada perang tersebut, satu per satu anggota dari Persekutuan Tellumpoccoe dapat ditaklukkan oleh Gowa. Soppeng ditaklukkan dan menerima Islam pada tahun 1609, Wajo ditaklukkan dan menerima Islam pada tahun 1610, dan terakhir Bone ditaklukkan dan menerima Islam pada tahun 1611.
Tuliskan Komentar