Modern Nasional

Sukarno Bertanya Kepada Josip Broz Tito Tentang Nasib Bangsa

Gerakan Non-Blok (GNB) adalah suatu organisasi internasional yang terdiri dari lebih dari 100 negara. Gerakan negara ini tidak menganggap beraliansi dengan atau terhadap blok kekuatan besar apapun. Tujuan dari organisasi ini, seperti yang tercantum dalam Deklarasi Havana tahun 1979, adalah menjamin kemerdekaan, kedaulatan, integritas teritorial, dan keamanan dari negara-negara nonblok.

Anggota-anggota penting di antaranya Yugoslavia, India, Mesir, Indonesia, Pakistan, Kuba, Kolombia, Venezuela, Afrika Selatan, Iran, Malaysia, dan pernah Republik Rakyat Cina masuk menjadi anggota.

Meskipun organisasi ini dimaksudkan untuk menjadi aliansi yang dekat seperti NATO atau Pakta Warsawa, negara-negara anggotanya tidak pernah mempunyai kedekatan yang diinginkan dan banyak anggotanya yang akhirnya diajak beraliansi salah satu negara-negara adidaya tersebut.

Baca juga: 11 Fakta Tentang Haji Agus Salim, Tokoh Islam asal Minangkabau

Misalnya, Kuba mempunyai hubungan yang dekat dengan Uni Soviet pada masa Perang Dingin. Atau India yang bersekutu dengan Uni Soviet untuk melawan Tiongkok selama beberapa tahun.

Lebih buruk lagi, beberapa anggota bahkan terlibat konflik dengan anggota lainnya, seperti misalnya konflik antara India dengan Pakistan, Iran dengan Irak. Gerakan ini sempat terpecah pada saat Uni Soviet menginvasi Afganistan pada tahun 1979.

Ketika itu, seluruh sekutu Soviet mendukung invasi sementara anggota GNB, terutama negara dengan mayoritas muslim, tidak mungkin melakukan hal yang sama untuk Afghanistan akibat adanya perjanjian nonintervensi.

Kata “Non-Blok” diperkenalkan pertama kali oleh Perdana Menteri India Nehru dalam pidatonya tahun 1954 di Colombo, Sri Lanka. Gerakan Non-Blok bermula dari sebuah Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika sebuah konferensi yang diadakan di Bandung, Indonesia, pada tahun 1955.

Baca juga: Indonesia menginvasi Timor Timur

Di sana, negara-negara yang tidak berpihak pada blok tertentu mendeklarasikan keinginan mereka untuk tidak terlibat dalam konfrontasi ideologi Barat-Timur. Pendiri dari gerakan ini adalah lima pemimpin dunia: Josip Broz Tito presiden Yugoslavia, Soekarno presiden Indonesia, Gamal Abdul Nasser presiden Mesir, Pandit Jawaharlal Nehru perdana menteri India, dan Kwame Nkrumah dari Ghana.

Pertemuan pertama GNB terjadi di kota Beograd, Yugoslavia, pada tahun 1961 dan dihadiri oleh 25 anggota, masing-masing 11 dari Asia dan Afrika bersama dengan Yugoslavia, Kuba dan Siprus. Kelompok ini mendedikasikan dirinya untuk melawan kolonialisme, imperialisme dan neo-kolonialisme.

Sukarno dan Josip Broz Tito
Presiden Yugoslavia, Josip Broz Tito (kiri) sedang mendengarkan Sukarno (kana) bercerita. Foto: ruanghobby.com

Namun, disamping pelaksanaan KTT GNB di Yugoslavia ini, terselip sebuah kisah antara Presiden Indonesi, Sukarno, dengan presiden Yugoslavia, Josip Broz Tito. Dikisahkan bahwa di sela-sela pertemuan, Sukarno pernah bertanya kepada Presiden Yugoslavia, Josip Broz Tito, kurang lebih sebagai berikut:

Tuan Tito, jika Anda meninggal nanti, bagaimana nasib bangsa Anda?” Dengan bangga, Josip berkata, “Aku memiliki tentara-tentara yang berani dan tangguh untuk melindungi bangsa kami.

Setelah menjawab pertanyaan ini, Josip ternyata gantian bertanya, “Lalu bagaimana dengan negara Anda, Sahabatku?

Dengan tenang Sukarno berkata, “Aku tidak khawatir, karena aku telah meninggali bangsaku dengan sebuah ‘way of life,’ yaitu PANCASILA.

Baca juga: Mencoba Membunuh Jenderal A.H. Nasution

Menurut para ahli sejarah di Serbia, antara Indonesia dan Yugoslavia, yang paling berkemungkinan pecah atau mengalami disintegrasi seharusnya Indonesia.

Alasannya, Yugoslavia lebih beruntung dibandingkan Indonesia, karena wilayahnya tidak terpisah-pisah dan tidak beretnis sebanyak Indonesia. Namun, ternyata bangsa Yugoslavia pecah menjadi negara-negara kecil seperti Serbia, Kroasia, Bosnia, dan lain-lain.

Sekarang menurut mereka, bangsa Indonesia ternyata lebih beruntung karena memiliki pegangan hidup Pancasila yang menyatukan penduduknya yang terdiri atas berbagai suku/golongan dan memeluk berbagai agama dan kepercayaan.

Pada suatu kesempatan Bung Karno pernah mengatakan, “Aku tidak mengatakan aku yang menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami tradisi-tradisi kami sendiri dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah!

Tuliskan Komentar