Kisah dibalik pembangunan ketiga monumen tersebut memang memiliki keterkaitan satu sama lain. Ketiganya dibangun untuk memperingati rentetan peristiwa yang tetjadi di Barru selama masa perjuangan Bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan dari Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia.
Nopember 1946, satu tahun setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, terdengar berita Dr.H.J. Van Mook dari Belanda hendak membentuk negara boneka di Indonesia bagian Timur. Sebelum siasat tersebut terlaksana, pihak militer Indonesia telah merencanakan mengirim pasukan ke Sulawesi. Gagasan tersebut disetujui oleh Markas Besar Tentara (MBT) di bawah panglima besar Jenderal Sudirman, dan dijadikan bagian dari rencana kerja.
Pada tanggal 16 April 1946 dikeluarkan surat keputusan Panglima Besar yang menugaskan kepada tiga perwira asal Sulawesi yaitu Andi Mattalatta, Kahar Muzakkar, dan M. Saleh Lahade untuk melaksanakan rencana kerja MBT, merake bertiga merupakan pemegang mandat dari MBT.
Baca juga: Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi dan Konferensi Paccekke
Tugas yang diberikan MBT kepada pemegang mandat yaitu, melakukan persiapan pembentukan pasukan yang akan dikirim ke Sulawesi, membentuk satu kekuatan divisi Tentara Republik Indonesia (TRI) di Sulawesi, dan menyampaikan laporan hasil tugas tersebut kepada Panglima Besar. Plaksanaan tugas tersebut dilakukan dengan membentuk Staf Komando Resimen TRI Persiapan Sulawesi (TRIPS) yang dinamakan Resimen Hasanuddin.
Berdasarkan Surat Keputusan Panglima Besar tanggal 16 April 1946, para pewira Asal Sulawesi di yang berada Jawa ini diberi tugas menyusup ke Sulawesi Selatan. Tugas pasukan ekspedisi ini sangat berbahaya karena harus menembus blokade laut dari tentara Belanda (KNIL). Pasukan pejuang yang membawa senjata api itu harus membuat penyamaran sebagai nelayan, kemudian harus mewaspadai sergapan musuh ketika mendarat di Sulawesi.
Ekspedisi TRIPS yang pertama baru dapat dilaksanakan pada tanggal 27 Juni 1946 di bawah pimpinan Kapten Muhammadong bersama anggotanya. Mereka berangkat dari Situbondo menggunakan perahu Pinisi, namun rombongan tersebut disergap oleh patroli Belanda di perairan Bali, kemudian ditangkap dan dipenjarakan di Surabaya.
Ekspedisi TRIPS yang kedua dilakukan pada awal bulan 1946 di bawah pimpinan M. Tahir Daeng Tompo. Pasukan ini berhasil mendarat di Suppa Pinrang.
Ekspedisi TRIPS yang ketiga dibawah pimpinan Letnan Abdul Latif berhasil mendarat di Sulawesi pada awal bulan Desember 1946. Namun, Abdul Latif tertangkap oleh pasukan Westerling ketika sedang berobat di Makassar.
Baca juga: Koleksi Foto Pembantaian Westerling di Barru
Bersamaan dengan datangnya ekspedisi ketiga, rombongan Andi Manyulei mendarat di Suppa, kemudian terus ke Maiwa Enrekang. Beberapa pasukan Andi Manyulei kemudian bergabung ke dalam Laskar Hariamu Indonesia di bawah pimpinan Andi Sose.
Monumen Garongkong (kiri), Monumen Paccekke (tengah), dan Monumen Pasar Baru (kanan). |
Pasukan ekspedisi Kelompok Komando yang di bawah pimpinan Mayor Andi Mattalatta mendarat di pulau Panikiang pada tanggal 26 Desember 1946, keesokan harinya rombongan Andi Mattalatta baru menyeberang ke Garongkong Barru, selanjutnya menuju markas TRIPS di Salessoe Soppeng Riaja.
Untuk mengenang peristiwa bersejarah pendaratan pimpinan TRIPS Andi Mattalatta dari Jawa ke Sulawesi, maka dibangun sebuah monumen di Garongkong, Barru, tempat dimana Andi Mattalatta dan pasukannya mendarat. Monumen itu diknal dengan nama Monumen Garongkong.
Rombongan Komando kedua di bawah pimpinan Kapten Andi Sarifin mendarat di Wiringtasi. Pada tanggal 7 Januari 1947, KNIL berhasil menemukan markas TRIPS di Salessoe sehingga terjadi baku tembak antara pejuang dan KNIL. Pada pertempuran tersebut Andi Sarifin gugur, karena pimpinan rombongan gugur, maka jabatan dipegang oleh Andi Sapada.
Baca juga: Riwayat Perjuangan Laskar Gerakan Pemuda Tanete
Rombongan Komando yang ketiga di bawah pimpinan Mayor M. Saleh Lahade tiba di Suppa pada pertengahan bulan Januari 1947. Dengan segera direncanakanlah pertemuan semua badan perjuangan di daerah Sulawesi Selatan, berdasarkan isi mandat yang diberikan Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Diadakanlah konferensi di Paccekke, pertemuan dilangsungkan dari tanggal 20-22 Januari 1947. Pimpinan utama Konferensi Paccekke ialah Andi Mattalatta, dibantu oleh M. Saleh Lahade, dan dihadiri oleh beberapa badan perjuangan atau kelaskaran. Konferensi dilaksanakan di salah satu rumah panggung yang cukup besar. Jumlah peserta Konferensi Paccekke sebanyak 43 orang, pasukan yang tiba di Paccekke dan di sekitar tempat dilaksanakannya konferensi ada sekitar 700 orang.
Pada tanggal 21 Januari 1947, disepakati untuk membentuk kekuatan satu divisi (Divisi Hasanuddin) dengan dislokasi masing-masing satu resimen di sekitar Makassar, Pare-pare, Palopo, dan satu resimen lagi dipersiapkan di Sulawesi Tenggara.
Dengan terlaksananya Konferensi Paccekke ini nantinya sangat berpengaruh besar dalam perkembangan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang lebih terorganisir.
Untuk mengenag peristiwa bersejarah Konferensi Paccekke yang dilaksanakan di Desa Paccekke, Barru, maka dibangun sebuah monumen besar di Paccekke yang kini dikenal dengan nama Monumen Paccekke.
Sementara para Tentara Republik Indonesia dan pejuang sedang mengorganisir arah perjuangan, di saat yang bersamaan pula Kapten Raymond Westetling melakukan pembantaian terhadap penduduk di Sulawesi Selatan.
Baca juga: 48 Korban Pembantaian Westerling Di Lisu Pasa Baru, Tanete Riaja, Barru
Kekejaman Westerling pada tahun 1946-1947 di Sulawesi Selatan memang tidak tanggung-tanggung, tercatat sekitar 40.000 jiwa yang turut menjadi korban pembantaian Westerling, tidak terkecuali di Barru. Pembantaian terus dilakukan Westerling, sebagaimana di desa kecil Lisu dan Pasar Baru, Tanete Riaja, pada saat hari pasar tanggak 7 Februari 1947. Mereka membunuh 48 orang antara lain La Esa Daeng Sitaba yang ditembak dahinya dari jarak tiga meter.
Korban lainnya yaitu Pasolongi Arung Kading di Pasar Pekkae Tanete Rilau dan La Emmang Ambo Masuara di penjara Barru. Penembakan di Lisu Pasar Baru berakhir setelah seorang anggota pasukan Belanda yang berjaga di luar pasar melepaskan tembakan di udara mungkin karena sudah tidak tega melihat pembantaian. Para algojo menghentikan penembakan mungkin karena menyangka ada pasukan gerilya tiba.
Untuk mengenag peristiwa pembantaian itu, sebuah monumen dibangun di Pasar Baru, Tanete Riaja. Naman korban tertulis di Monumen Pasa Baru, 47 orang dikenal dan seorang lagi sebagai Pahlawan Tidak Dikenal Identitasnya.
Tuliskan Komentar