Modern Nasional

Alasan Indonesia Melepaskan Timor Timur

Pagi-pagi sekali, pasukan Indonesia melancarkan invasi besar-besaran terhadap bekas jajahan Portugis di Pulau Timor bagian timur yang terletak di Kepulauan Nusa Tenggara. Invasi besar-besaran ini dikenal dengan nama Operasi Seroja.

Portugis meninggalkan Timor Timur pada bulan Agustus 1975 dan pasukan Indonesia segera mulai menyusup ke perbatasan dari Timor Barat yang masuk wilayah Indonesia. Sementara itu, pada tanggal 28 November, pemerintah Timor Lorosae yang terpilih secara demokratis takut akan invasi Indonesia dan segera memproklamasikan Republik Demokratik Timor Leste.

Pada pagi hari 7 Desember, Indonesia merespons dengan memulai pemboman dari laut di Kota Dili, diikuti dengan pendaratan pasukan penerjun dari udara dan marinir dari pantai. Pada tanggal 10 Desember, pasukan invasi Indonesia berhasil merebut Kota Baucau yang merupakan kota terbesar kedua di Timor Timur.

Baca juga: Indonesia menginvasi Timor Timur

Di tempat lain, perlawanan orang Timor terus berlanjut, tetapi pada tahun 1978 aneksasi Timor Timur oleh Indonesia pada dasarnya selesai dan Timor Timur resmi menjadi provinsi ke-27 Republik Indonesia.

Pada rentang tahun 1997 hingga 1999, terjadi krisis ekonomi, nilai tukar rupiah terjun bebas, pabrik-pabrik tutup, perusahaan-perusahaan gulung tikar, pengangguran melonjak setinggi langit, demonstrasi dengan kerusuhan berlangsung tiap hari.

Akhirnya Mei 1998 terjadi unjuk rasa besar-besaran yang menyebabkan presiden Soeharto memilih untuk turun dari jabatan pemerintahannya. Wakil presiden B.J. Habibie mengambil alih posisi sebagai presiden.

B.J. Habibie masih dipandang sebagai bagian dari Orde Baru. Tugas dia berat, memulihkan keadaan ekonomi dengan pinjaman dari IMF warisan Soeharto, menjalankan reformasi untuk mengantar Republik Indonesia menjadi negara demokratis, serta membeli waktu terhadap tuntutan masyarakat untuk menyeret Soeharto dan keluarganya ke pengadilan.

Baca juga: Kenangan Masa Kecil B.J. Habibie di Barru

Ini bukan kerjaan enak. Dengan kondisi terpuruk seperti itu, aspirasi masyarakat Timor Timur untuk merdeka kembali muncul. Tekanan internasional juga menguat, yang sudah berlangsung sejak pembantaian Santa Cruz beberapa tahun sebelumnya.

Masyarakat Timor Timur yang menuntut refrendum. Foto: yusufabdin.blogspot.com

Dengan posisi begini, Indonesia tidak punya gigi dalam dunia diplomasi untuk mempertahankan Timor Timur. Selain itu, mempertahankan propinsi ke-27 itu juga jadi tidak ada untungnya, malah merugi.

Propinsi itu tidak memberi kekayaan apa-apa kepada Indonesia, malah lebih banyak subsidi yang dialirkan ke sana. Belum lagi biaya operasi militer dan keamanan yang seakan berlangsung permanen di Timor Timur.

Di saat yang sama, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tidak dalam kondisi siap perang, penyebabnya adalah embargo dari Amerika Serikat karena pelanggaran Hak Asasi Manusia membuat Alutsista dalam kondisi memprihatinkan. Selain itu, ABRI harus fokus menjalankan reformasi untuk menjadi tentara dan polisi yang profesional.

Baca juga: Pendidikan di Indonesia Pada Masa Orde Baru

Secara hitung-hitungan di atas, lebih baik Timor Timur secepatnya diselesaikan. Tentu dengan mengorbankan perasaan veteran Seroja yang sudah mengorbankan segala-galanya untuk merebut dan mempertahankan Timor Timur.

Dan yang paling parah tentunya kerusuhan di Kota Dili pasca referendum, di mana milisi-milisi pro integrasi Indonesia binaan pasukan khusus TNI mengamuk dan membakar Dili, tanpa TNI terlihat mencegah.

Pasukan penjaga perdamaian PBB yang dipimpin oleh Australia kemudian datang untuk menghentikan kekerasan yang terjadi di Timor Timur, dan baru pada bulan Agustus 2001, Timor Lorosae mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau pemilihan demokratis pertama untuk membentuk pemerintahan otonom sendiri bagi Timor Timur.

Setelah sempat 23 tahun menjadi bagian dari Indonesia, akhirnya Timor Timur lepas dan menjadi negara tersendiri.

Tuliskan Komentar