Pada 1856, Sekertaris Umum atas nama pemerintah Belanda mengirimkan kepada La Sangaji Datu Bakke sebuah akte (17 Februari 1856) yang menerangkan bahwa ia diberi kuasa untuk mendukung dan bekerja sama dengan istrinya We Tenriolle dengan syarat bahwa jaminan ini berlaku apa bila ia telah menunjukkan sikap yang baik terhadap pemerintah.
Jaminan yang diberikan itu ternyata hanya berlansung satu tahun saja karen pada Maret 1857, pemerintah memperoleh bukti bahwa La Sangaji Datu Bakke telah melakukan perdagangan budak ke Kalimantan, karena itu gubernur mengusulkan agar jaminan yang telah diberikan tidak berlaku lagi dan diberikan tempat di luar Tanete namun masih dalam wilayah pemerintahan Belanda.
Ususl dari gubernur tidak mendapat tanggapan dari pemerintah di Batavia. Walaupun demikian sikap pemerintah di Makassar itu berpengaruh terhadap perilaku La Sangaji. Hal ini juga tentunya berkaitan dengan sikap isterinya We Tenriolle yang selalu berpihak kepada Gubernur Makassar.
Dalam tahun 1858, La Sangaji Datu Bakke berkonflik dengan Baso Batu Pute, Datu Mario Riwawo. Konflik itu terjadi karena utusan yang dikirim oleh Baso Batu Pute, yaitu Daeng Silassa dan Aji Saliha untuk menagih pajak kepada La Sangaji, namun La Sangaji tidak mau membayarnya, bahkan menganiaya Daeng Silassa. Konflik itu akhirnya ditangani oleh Gubernur Makassar Van Der Schap dengan memerintahkan kepada Kapitan Pajo untuk membawakan uang perdamaian kepada Datu Mario ri Wawo, namun Datu Mario Riwawo menolak pemberian tersebut. Sementara La Sangaji diharuskan membayar denda sebanyak 80 Gulden.
Namun demikian, La Sangaji tidak membayar denda yang dikenakan kepadanya, bahkan ia bertindak memaksa patteke yang melewati Allejjang dan Berru ke Tanete untuk membayar pajak dua kali lipat dari yang biasa. Selain itu membuat keonaran dalam wilayah Tanete, sehingga isterinya memohon bantuan kepada pemerintah Hindia Belanda. Sehubungan dengan itu dikirim sekretaris gubernur untuk menyelesaikan persoalan itu. Dalam pembicaraan itu diputuskan bahwa La Sangaji harus meninggalkan Tanete.
Sejak itu tidak terdengar lagi berita tindakan kejahatannya. Namun tiba-tiba dalam tahun 1858 ia muncul kembali dengan sekelompok orang bersenjata menyerang Berru, membakar rumah dan merusak kebun rakyat yang tinggal dekat dengan daerah Allejjang, daerah itu termasuk daerah yang berada dalam kekuasaan Datu Mario ri Wawo.
La Sangaji juga menjalin hubungan dengan bangsawan Tanete yang tidak puas dengan pengangkatan We Tenriolle, seperti La Combong, menyerang perkampungan penduduk Tanete yang berada di bagian utara pada bulan Juli 1858 dan setelah itu melarikan diri ke arah pegunungan. Hal itu menyebabkan para pemerintah daerah dalam Kerajaan Tanete mengajukan gugatan kepada pemerintah menyangkut perilaku La Sangaji.
Hal itu mendorong Dewan Komisi untuk Urusan Bone (Commissarissen voor de Bonischen zaken) memberikan jaminan kepada ratu Tanete, sehingga ia menceraikan La Sangaji pada bulan Juli 1859. Sejak itu La Sangaji dipaksa meninggalkan Tanete dan pergi ke Soppeng. Sejak itu pula pemerintah mengirim utusan untuk membantu ratu Tanete dalam urusan pemerintahan dan menempatkan beberapa personil militer di pusat Pemerintahan Tanete.
Ratu Tanete We Tenriolle bersama para anggota keluarga Kerajaan Tanete. Foto: flickr.com |
Kedekatan hubungan politik dan bantuan yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda itu merupakan alasan dari pemerintah untuk lebih mempertegas kedudukan Kerajaan Tanete. Karena itu disepakati menandatangani kontrak yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda pada 29 Februari 1868. Pada dasarnya perjanjian ini tetap mengkukuhkan kedudukan Kerajaan Tanete sebagai kerajaan pinjaman (leenvorst) sehingga ratu dan aparat pemerintahnya wajib tunduk dan setia kepada pemerintah Hindia Belanda.
Kebijakan itu dipandang dapat mencegah kembalinya La Sangaji Datu Bakke. Namun demikian ternyata tidak menggetarkan hatinya. Itulah sebabnya pada akhir bulan Juli 1858, La Sangaji kembali dengan sekelompok orang bersenjata menyerang, merusak, dan membakar pemukiman penduduk di Lompo Riaja dan Lompo Ritengnga, kemudian meninggalkan daerah itu ke tempat persembunyiannya di Gunung Pacciro.
Sehubungan dengan itu pemerintah mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Kapten J. Van Leijden, dengan didukung oleh pasukan Tanete yang dipimpin oleh J.A. Bakker menyerang daerah persembunyiannya di Pacciro. La Sangaji dapat meloloskan diri. Sejak itu, hingga Februari 1860 tidak terdengar lagi tindak kejahatan di Tanete sehingga pasukan militer ditarik kembali ke Makassar.
pada bulan Agustus 1860, La Sangaji Datang ke Makassar menyerahkan diri dan memohon pengampunan. Pemerintah menyatakan akan memberikan pengampunan dengan syarat La Sangaji tidak boleh memasuki wilayah Kerajaan Tanete tanpa jaminan dari pemerintah, ia berjanji tidak akan melakukan tindakan kejahatan terhadap ratu Tanete, semua anaknya tetap tinggal bersama ibunya, dan tidak memiliki hak perwalian terhadap anak-anaknya.
La Sangaji bersedia memenuhinya dan akan mentaati serta setia kepada Pemerintah Belanda. Dengan demikian dibuatkan akte dan ditandatangani pada 23 Oktober 1860. Sejak dicapainya kesepakatan itu, tidak terjadi lagi keonaran di Kerajaan Tanete. Karena itu, ratu Tanete dapat membantu tim pemetaan topografi dari pemerintah Belanda untuk bergiat menyelesaikan tugas mereka di Tanete dan Berru. Atas jasa itu We Tenriolle dianugerahkan penghargaan berupa satu medali emas pada bulan Juli 1862.
Dalam tahun 1868, ratu Tanete We Tenriolle bersama Pemerintah Belanda memperbaruhi kontrak kerajaan pinjaman. Ketentraman dan ketertiban yang mulai dibangun di Tanete itu ternyata tidak dapat terus dipertahankan. Ketika terjadi pemberontakan Karaeng Bontobonto di Noorder Distrikten dalam tahun 1868, ratu Tanete mengirim pasukan bantuan untuk menyerang pertahanan dan tempat persembunyian tokoh gerakan itu di Pegunungan Turukapaya dan Bulubulu.
Peristiwa tersebut ternyata telah mendorong La Sangaji untuk menjalin kerja sama dengan Karaeng Bontobonto. Dengan demikian ketika pasukan sedang mengejar Karaeng Bontobonto, La Sangaji dengan sekelompok orang bersenjata mengambil kesempatan menyerang masuk ke Tanete dan menduduki Lompo Riaja kemudian menjadikannya daerah pertahanan.
Sehubungan dengan itu Belanda mengirim tentara untuk melindungi ratu Tanete. Setelah berhasil menghalau Karaeng Bontobonto, gubernur mengirim surat kepada La Sangaji yang isinya mengingatkan dia pada akte yang telah ditandatangani pada tahun 1860. Akhirnya, ia meninggalkan Lompo Riaja.
Pada bulan Oktober 1872, La Sangaji bersama Karaeng Bontobonto merencanakan serangan ke Tanete dan Noorder Distrcten. Namun rencana itu tidak dilakukan karena pasukan Belanda segera dikirim ke sana. Karena itu, setelah pasukan itu kembali, ia melancarkan serangan pada bulan November 1872 dan menguasai basis pertahanan yang dibangun di Watuwatu. Hal itu mendorong ratu ke Makassar untuk memohon bantuan pemerintah Belanda.
Kepergian ratu dimanfaatkan untuk memasuki pusat pemerintahan, Padaelo, namun hanya ditempati satu hari saja, karena pemerintah mengirim satu kapal perang ke Tanete. Karena itu La Sangaji Datu Bakke meninggalkan tempat itu dan pergi ke tempat persembunyiannya. Tidak lama kemudian, ia bersekongkol dengan arung Ganra yang merupakan seorang bangsawan Soppeng dan kembali menyerang Tanete pada bulan Maret 1873. Sejumlah rumah penduduk dirusak dan harta mereka dirampok, bahkan melakukan pembunuhan.
Belanda kemudian mengirimkan pasukan untuk mengusir dan menangkap mereka, namun berhasil meloloskan diri. Setelah upaya penangkapan La Sangaji dengan arung Ganra oleh Belanda, tidak pernah terdengar dan terjadi lagi kekacauan di daerah Tanete. Mungkin peristiwa persekongkolannya dengan arung Ganra merupakan teror terakhir yang dilakukan La Sangaji di Kerajaan Tanete. [Erik Hariansah. 2017. Pemberontakan La Sangaji Datu Bakke di Kerajaan Tanete (1856-1873). Skripsi. Makassar: Universitas Negeri Makassar].
Tuliskan Komentar