Selain itu terdapat pula peninggalan yang tidak ternilai harganya, berupa kitab Kuno Nusantara yang menjadi karya sastra hebat kala itu. Karya sastra ini ada karena peradaban saat itu sangat besar. Budaya baca tulis menjadi sesuatu yang penting hingga karya sastra tak ubahnya harta berharga.
Saat ini sastra di Indonesia bisa terbilang mulai merangkak, kadang mati suri mendadak. Penyebabnya adalah minat baca dan tulis manusia Indonesia zaman sekarang sangat rendah. Atau bisa dibilang tak ada sama sekali.
Di era sekarang, kitab-kitab itu menjadi sumber penulisan sejarah Indonesia yang berkisah mengenai orang-orang hebat serta peradaban-peradaban besar Nusantara. Berikut ini beberapa kitab kuno di Nusantara yang sering dijadikan sebagai sumber dalam penulisan sejarah.
Baca juga: I La Galigo: Menyelami Karya Sastra Terbesar dari Sulawesi
Kitab Negarakretagama
Kitab kuno di Nusantara yang pertama adalah Nagarakretagama. Kitab Nagarakretagama atau juga disebut dengan nama kakawin Desawarnana bisa dikatakan merupakan kakawin Jawa Kuno karya Empu Prapanca yang paling termasyhur. Kakawin ini adalah yang paling banyak diteliti. Kakawin yang ditulis tahun 1365 ini, pertama kali ditemukan kembali pada tahun 1894 oleh J.L.A. Brandes, seorang ilmuwan Belanda yang mengiringi ekspedisi KNIL di Lombok. Ia menyelamatkan isi perpustakaan Raja Lombok di Cakranagara sebelum istana sang raja akan dibakar oleh tentara KNIL.
Naskah ini selesai ditulis pada bulan September – Oktober, tahun 1365 Masehi, penulisnya menggunakan nama samaran Prapanca, berdasarkan hasil analisis kesejarahan yang telah dilakukan diketahui bahwa penulis naskah ini adalah Dang Acarya Nadendra, bekas pembesar urusan agama Buddha di istana Majapahit.
Kakawin ini menguraikan keadaan di keraton Majapahit dalam masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, raja agung di tanah Jawa dan juga Nusantara. Kakawin ini bersifat pujasastra, artinya karya sastra menyanjung dan mengagung-agungkan Raja Majapahit Hayam Wuruk, serta kewibawaan kerajaan Majapahit.
Kitab Pararaton
Kitab kuno di Nusantara yang kedua adalah Serat Pararaton. Kitab atau Serat Pararaton adalah sebuah kitab naskah Sastra Jawa Pertengahan yang digubah dalam bahasa Jawa Kawi. Naskah ini cukup singkat, berupa 32 halaman seukuran folio yang terdiri dari 1126 baris. Isinya adalah sejarah raja-raja Singhasari dan Majapahit di Jawa Timur. Kitab ini juga dikenal dengan nama “Pustaka Raja,” yang dalam bahasa Sanskerta juga berarti “kitab raja-raja.” Tidak terdapat catatan yang menunjukkan siapa penulis Pararaton ini.
Pararaton diawali dengan cerita mengenai inkarnasi Ken Arok, yaitu tokoh pendiri kerajaan Singhasari (1222-1292). Selanjutnya hampir setengah kitab membahas bagaimana Ken Arok meniti perjalanan hidupnya, sampai ia menjadi raja pada tahun 1222. Penggambaran pada naskah bagian ini cenderung bersifat mitologis. Cerita kemudian dilanjutkan dengan bagian-bagian naratif pendek, yang diatur dalam urutan kronologis. Banyak kejadian yang tercatat di sini diberikan penanggalan. Mendekati bagian akhir, penjelasan mengenai sejarah menjadi semakin pendek dan bercampur dengan informasi mengenai silsilah berbagai anggota keluarga kerajaan Majapahit.
Penekanan atas pentingnya kisah Ken Arok bukan saja dinyatakan melalui panjangnya cerita, melainkan juga melalui judul alternatif yang ditawarkan dalam naskah ini, yaitu “Serat Pararaton atawa Katuturanira Ken Angrok,” atau “Kitab Raja-Raja atau Cerita Mengenai Ken Arok.” Mengingat tarikh yang tertua yang terdapat pada lembaran-lembaran naskah adalah 1522 Saka atau 1600 Masehi, diperkirakan bahwa bagian terakhir dari teks naskah telah dituliskan antara tahun 1481 dan 1600, di mana kemungkinan besar lebih mendekati tahun pertama daripada tahun kedua.
Kitab Sutasoma
Kitab kuno di Nusantara yang selanjutnya adalah Kitab Sutasoma. Kitab atau Kakawin Sutasoma adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuno. Kakawin ini termasyhur, sebab setengah bait dari kakawin ini menjadi motto nasional Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika” (Bab 139.5).
Motto atau semboyan Indonesia tidaklah tanpa sebab diambil dari kitab kakawin ini. Kakawin ini bercerita mengenai sebuah epis dengan pangeran Sutasoma sebagai protagonisnya. Amanat kitab ini mengajarkan toleransi antar agama, terutama antar agama Hindu-Siwa dan Buddha.
Kakawin Sutasoma digubah oleh Mpu Tantular pada masa keemasan Majapahit di bawah kekuasaan prabu Rajasanagara atau raja Hayam Wuruk. Tidak diketahui secara pasti kapan karya sastra ini digubah. Oleh para pakar diperkirakan kakawin ini ditulis antara tahun 1365 dan 1389. Kakawin Sutasoma bisa dikatakan unik dalam sejarah sastra Jawa karena bisa dikatakan merupakan satu-satunya kakawin bersifat epis yang bernapaskan agama Buddha.
Kitab Arjunawiwaha
Kitab atau Kakawin Arjunawiwaha adalah kakawin pertama yang berasal dari Jawa Timur. Karya sastra ini ditulis oleh Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Prabu Airlangga dari Kerajaan Kahuripan, yang memerintah di Jawa Timur dari tahun 1019 sampai dengan 1042 Masehi. Sedangkan kakawin ini diperkirakan digubah sekitar tahun 1030.
Kakawin ini menceritakan sang Arjuna ketika ia bertapa di gunung Mahameru. Lalu ia diuji oleh para Dewa, dengan dikirim tujuh bidadari. Bidadari ini diperintahkan untuk menggodanya. Nama bidadari yang terkenal adalah Dewi Supraba dan Tilottama. Para bidadari tidak berhasil menggoda Arjuna, maka Batara Indra datang sendiri menyamar menjadi seorang brahmana tua. Mereka berdiskusi soal agama dan Indra menyatakan jati dirinya dan pergi. Lalu setelah itu ada seekor babi yang datang mengamuk dan Arjuna memanahnya. Tetapi pada saat yang bersamaan ada seorang pemburu tua yang datang dan juga memanahnya. Ternyata pemburu ini adalah batara Siwa. Setelah itu Arjuna diberi tugas untuk membunuh Niwatakawaca, seorang raksasa yang mengganggu kahyangan. Arjuna berhasil dalam tugasnya dan diberi anugerah boleh mengawini tujuh bidadari ini.
Kitab Baratayuda
Istilah Baratayuda berasal dari kata Bharatayuddha atau Perang Bharata, yaitu judul sebuah naskah kakawin berbahasa Jawa Kuno yang ditulis pada tahun 1157 oleh Mpu Sedah atas perintah Maharaja Jayabhaya, raja Kerajaan Kadiri. Sebenarnya Kitab Baratayuda yang ditulis pada masa Kediri itu untuk simbolisme keadaan perang saudara antara Kerajaan Kediri dan Jenggala yang sama-sama merupakan keturunan Raja Airlangga . Keadaan perang saudara itu digambarkan seolah-olah seperti yang tertulis dalam Kitab Mahabarata karya Vyasa yaitu perang antara Pandawa dan Kurawa yang sebenarnya juga keturunan Vyasa sang penulis.
Kisah Kakawin Bharatayuddha kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Jawa Barudengan judul Serat Bratayuda oleh pujangga Yasadipura I pada zaman Kasunanan Surakarta.
Kitab Serat Centini
Kitab atau Serat Centhini, juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, agar tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu. Menurut keterangan R.M.A. Sumahatmaka, juru tulis resmi Istana Mangkunegaran pada masa pemerintahan Mangkunegara VII dan Mangkunegara VIII, Serat Centhini digubah atas kehendak Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, putra Sunan Pakubuwana IV, yang kelak bertakhta sebagai Sunan Pakubuwana V.
Kitab Serat Calon Arang
Naskah lontar yang berisi ceritera Calon Arang ditulis dengan aksara Bali Kuna. Meskipun aksaranya Bali Kuna, tetapi bahasanya Kawi atau Jawa Kuna. Tidak diketahui lagi siapa yang mengarang cerita ini. kisah ini tertulis dalam naskah lontar bertarikh 1540 Masehi. Kitab ini berisi kisah raja Airlangga mengalahkan janda sakti yang bernama Calon Arang.
Kitab I La Galigo
Kitab kuno di Nusantara yang terakhir adalah Kitab I La Galigo. Kitab atau Sureq Galigo adalah sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan yang ditulis di antara abad ke-13 dan ke-15 Masehi dalam bentuk puisi Bahasa Bugis kuno, ditulis dalam huruf Lontara Bugis kuo. Puisi ini terdiri dalam sajak bersuku lima dan selain menceritakan kisah asal usul manusia, juga berfungsi sebagai almanak praktis sehari-hari.
Epik ini dalam masyarakat Bugis berkembang sebagian besar melalui tradisi lisan dan masih dinyanyikan pada upacara-upacara tradisional penting masyarakat Bugis. Versi tertulis hikayat ini yang paling awal diawetkan adalah pada abad ke-18, di mana versi-versi yang sebelumnya telah hilang akibat serangga, iklim atau perusakan. Akibatnya, tidak ada versi Galigo yang pasti atau lengkap, namun bagian-bagian yang telah diawetkan berjumlah 6.000 halaman atau 300.000 baris teks, membuatnya menjadi salah satu karya sastra terbesar. Lebih panjang dari Kitab Mahabarata dan Ramayana.
Tuliskan Komentar