Strategi ini dilakukan dengan cara menciptakan perpecahan dalam masyarakat untuk mencegah aliansi yang bisa menentang kekuasaan berdaulat, membantu mereka yang bersedia untuk bekerja sama dengan kekuasaan yang berdaulat, mendorong ketidakpercayaan dan permusuhan antar masyarakat, serta mendorong konsumerisme yang berkemampuan untuk melemahkan biaya politik dan militer.
Awalnya, devide et impera merupakan strategi perang yang diterapkan oleh bangsa-bangsa kolonialis mulai pada abad ke-15. Terkhusus di Nusantara, Politik Adu Domba banyak dilakukan oleh Belanda atau VOC untuk memecah belah antara kerajaan yang bertetangga, memecah belah seorang raja dengan putra-putranya, memecah belah kerajaan yang berdaulat menjadi beberapa kerajaan, memecah belah kelompok atau golongan, serta memecah belah antara orang yang bersaing memperebutkan kekuasaan.
Ilustrasi politik adu domba |
Berikut ini lima strategi Politik Adu Domba Belanda yang berhasil memecah belah kerajaan, penguasa, serta masyarakat di Nusantara.
1. Kesultanan Gowa dan Kerajaan Bone
Dalam kurun waktu yang cukup lama, Kesultanan Makassar atau Gowa (Gowa-Tallo) telah terlibat persaingan dengan Kerajaan Bone, persaingan tersebut sudah berlangsung semenjak awal abad ke-17. Persaingan antara kedua kerajaan tersebut terus berlangsung hingga akhirnya Kerajaan Bone takluk pada tahun 1610 dan beradah di bawah hegemoni Kesultanan Gowa.
Sekitar setengah abad kemudian, muncul salah seorang pangeran dari Kerajaan Bone yang Bernama Arung Palakka bertekat untuk membebaskan Kerajaan Bone dari hegemoni Kesultanan Gowa. Usahanya untuk membebaskan Kerajaan Bone dimulai dengan membebaskan seluruh orang Bone yang ditahan dan dipekerja paksakan di Gowa, tindakannya tersebut membuat Raja Gowa yang saat itu dijabat oleh Sultan Hasanuddin marah dan mengejar Arung Palakka.
Sementara itu Arung Palakka melarikan diri ke Jawa. Di Batavia, Arung Palakka meminta bantuan Belanda (VOC) untuk membebaskan kerajaan Bone dari kekuasaan Gowa. VOC sendiri memiliki keinginan untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Timur Nusantara, namun terhalang oleh Kesultanan Gowa sebagai pesaingnya. Tentunya VOC tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk bisa menaklukkan Kesultanan Gowa, apa lagi telah mendapat bantuan dari kerajaan Bone.
VOC kemudian mengirim armada perang di bawah pimpinan Cornelis Janzoon Speelman bersama dengan Arung Palakka berangkat ke Makassar pada tanggal 24 November 1666, dan tiba di perairan Makassar pada tanggal 19 Desember 1666.
Pada pagi hari, tanggal 21 Desember 1666, dimulailah Perang Makassar, VOC mulai memuntahkan meriam dari kapal yang diarahkan ke benteng pertahanan Gowa, sementara Arung Palakka dan pasukan Bone menyerang dari arah darat. Sedangkan pasukan Makassar di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin melakukan perlawanan dengan gigih. Selama setahun peperangan, dalam keadaan terdesak, Sultan Hasanuddin kemudian dipaksa oleh VOC untuk menandatangai Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667 sebagai tanda takluk kepada VOC. Stelah kekalahan Kesultanan Gowa, Hegemoni kekuasaan di Sulawesi berpindah ke Kerajaan Bone, sementara VOC dengan bebas memonopoli perdagangan di Timur.
2. Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji di Kesultanan Banten
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651-1683. Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Banten mencapai puncak kejayaannya. Namun disaat yang sama, pengaruh Belanda (VOC) sudah semakin kuat di Nusantara, terutama setelah berhasil mengalahkan Kesultanan Gowa di Timur.
Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Tentu saja Sultan Ageng Tirtayasa menolak perjanjian itu. Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Ia kemudian banyak memimpin perlawanan-perlawanan terhadap VOC.
Namun, di akhir masa pemerntahan Sultan Ageng Tirtayasa. Terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya untuk menjadi penerus raja menggantikan Sultan Ageng Tirtayasa. Putranya yang bernama Sultan Haji begitu berambisi untuk segera menjadi Raja, namun tahta itu tidak kunjung diberikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Haji kemudian meminta bantuan kepada VOC agar dirinya bisa segera dinobatkan menjadi raja, sebagi balasannya, VOC diberi kebebasan untuk memonopoli perdagangan di Banten. VOC yang menganggap Sultan Ageng Tirtayasa sebagai penghalang dengan senang hati menerima tawaran dari Sultan Haji.
Saat mengetahui perilaku Sultan Haji, Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengepung Sultan Haji di Sorosowan (Banten), VOC kemudian membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint-Martin. Sulatan Ageng Tirtayasa mundur dan terus melakuan perlawanan, sementara Sultan Haji dinobatkan menjadi Raja di Kesultanan Banten di bawah pengaruh VOC.
Pada tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap dan dipenjarakan di Batavia. Ia meninggal dunia dalam penjara dan dimakamkan di Komplek Pemakaman Raja-raja Banten, di sebelah utara Masjid Agung Banten, Banten Lama.
3. Membagi Kesultanan Mataram
Pada masa pemerintahan Mas Rangsang atau yang lebih dikenal dengan gelar Sultan Agung, Kesultanan Mataram mencapai puncak kejayaan dan menjadi saingan utama VOC pada penguasaan perdagangan. Akibat terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon, serta terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah Sultan Agung wafat, ia dimakamkan di Imogiri kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat (Amangkurat I).
Pada masa pemerintahan Amangkurat I, Kesultanan Mataram mengalami kekacauan dan kurang stabil karena banyak ketidakpuasan serta pemberontakan. Pada masa ini, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya. Untuk memadamkan pemberontakan ini, Amangkurat I terpaksa menjalin persekutuan dengan VOC yang awalnya merupakan pesaingnya. Dengan terjalinnya persekutuan ini, VOC bisa dengan bebas mencampuri urusan pemerintahan di Kesultanan Mataram.
Amangkurat I kemudian wafat pada tahun 1677 di Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pengganti Amangkurat II ialah Amangkurat III, namun VOC tidak menyukai Amangkurat III karena menentang VOC, sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi king in exile hingga tertangkap di Batavia ialalu dibuang ke Ceylon. Amangkurat III kemudian digantikan oleh Amangkurat IV, sementara Pakubuwana I digantikan oleh Pakubuwana II.
Untuk mengakhiri kekacauan politik yang terjadi di Kiesultanan Mataram, maka pada masa pemerintahan Pakubuwana III diadakanlah Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755. Isi perjanjian itu adalah membagi wilayah Kesultanan Mataram menjadi dua, yaitu Kesultanan Ngayogyakarta (selanjutnya berubah menjadi Kesultanan Yogyakarta) dan Kasunanan Surakarta. Kesultanan Ngayogyakarta dipimpin oleh Hamangkubuwana I yang merupakan putra Amangkurat IV, sementara Kasunanan Surakarta dipimpin oleh Pakubuwana III. Berakhirlah era Kesultanan Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah.
4. Kaum Ulama dan Kaum Adat pada Perang Padri di Minangkabau
Berawal dari beberapa ulama yang baru saja pulang dari Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji, kembali dengan membawa pemahaman Wahabi atau reformis agama Islam yang ingin memurnikan ajaran Islam. Dengan munculnya sekelompok ulama yang dijuluki sebagai Kaum Padri itu tentu bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang dijuluki Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam.
Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.
Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara. Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat yang mulai terdesak, meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821. Belanda yang melihat keadaan masyarakat Minangkabau yang mulai terpecah menjadikan ini sebagai kesempatan untuk menguasai wilayah Sumatra Barat. Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan.
Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang dan berlangsung sekitar 16 tahun. Perang Padri berakhir setelah beberapa pemimpin kaum Ulama berhasil ditangkap oleh Belanda, salah satunya yaitu Tuanku Imam Bonjol yang tertangkap pada tanggal 28 Oktober 1837. Denagn demikian, Perang Padri berakhir dan Belanda dapat menguasai wilayah Sumatra Barat.
5. Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Tamjidilla di Kesultanan Banjar
Bermula ketika putra mahkota Sultan Adam Alwasikh yang bernama Abdul Rakhman meninggal pada tahun 1852, sehingga terjadi konflik di dalam Kesultanan Banjar, di mana Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Tamjidillah berebut untuk mendudki tahta Kesultanan Banjar. Pangeran Hidayatullah didukung oleh kalangan istana, sementara Pangeran Tamjidillah mendapat dukungan dari Belanda.
Pada tahun 1857, Sultan Adam Alwasikh akhirnya wafat, dengan segera Belanda melantik Pangeran Tamjidillah menjadi sebagai Sultan Banjar, sementara Pangeran Hidayatullah diangkat sebagai Mangkubumi.
Rakyat Banjar ternyata tidak menyukai adanya turut campur tangan Belanda dalam urusan pemerintahan di Kerajaan Banjar sehingga timbul berbagai gerakan untuk menentang pemerintahan Tamjidillah. Salah satu gerakan itu dipelopori oleh seorang tokoh yang bernama Panembahan Aling. Pangeran Antasari yang juga merupakan sepupu dari Pangeran Hidayatullah ikut bergabung sehinggah pecah lah Perang Banjar pada tanggal 28 april 1859.
Karena keadaan yang semakin kacau dan tidak bisa dikendalikan, Sultan Tamjidillah mengundurkan diri dan menyerahkan kerajaan banjar kepada Belanda pada tanggal 25 juni 1859. Perang Banjar terus berlangsung antara Belanda dengan masyarakat Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari. Perang ini kemudian berakhir setelah wafatnya Pangeran Antasari pada tanggal 11 Oktober 1862 karena penyakit paru-paru dan cacar. Dengan demikian, pengaruh Belanda semakin kuat di wilayah Kesultanan Banjar di Kalimantan.
Tuliskan Komentar