Kuno Nasional

2 Tokoh yang Mengabdi Pada VOC, Namun Mati di Tangan VOC

Kedua tokoh ini awalnya mengabdikan hidupnya untuk bekerja pada Perusahaan Dagang Hindia Timur Belanda atau Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), namun justru mereka meninggal karena dibunuh atau dihukum oleh VOC itu sendiri, siapa sajakah kedua tokoh tersebut?

Mereka adalah Kapten Jonker dan Pieter Erberveld. Kapten Jonker pernah bekerja membantu VOC dalam melakukan peperangan melawan musuh-musuh VOC di Nusantara, namun akhir hayatnya Kapten Jonker meninggal karena dibunuh oleh VOC yang khawatir akan pengaruh Kapten Jonker yang semakin besar.

Lain lagi dengan Pieter Erberveld, awalnya ia bekerja pada VOC sebagai pengurus kepemilikan tanah di Batavia, namun kemudian dihukum mati karena dituduh akan melawan VOC.

Kapten Jonker
Kapten Jonker berasal dari keluarga raja Muslim di Maluku. Nama Jonker sendiri diperkirakan bukan nama asli, melainkan padanan gelar yang biasa digunakan di Ambon pada zaman itu. Namanya tertulis dalam sebuah akta tahun 1664 sebagai Joncker Jouwa de Manipa, menunjukkan bahwa ia berasal dari Pulau Manipa, Seram Barat.

Pada awalnya ia bersama pasukan raja Tahalele di Maluku berperang melawan VOC antara tahun 1634 hingga 1643, namun ia kalah sengga pasukannya ditawan oleh VOC.

Baca juga: Belanda Sekarat di Dalam Benteng Rotterdam

Sekitar tahun 1654, Jonker berada dalam pengawasan Arnold de Vlamingh van Oudtshoorn, dan termasuk dalam bagian dari pasukan pimpinan Kapitan Raja Tahalele yang ditempatkan di Batavia. Saat itu ia menjadi wakil Raja Tahalele, dan kemungkinan mulai menggunakan gelar raja muda, yang dipadankan menjadi Jonker dalam bahasa Belanda.

Saat memimpin pasukan Maluku dalam pertempuran VOC di Srilangka, Raja Tahalele mengalami luka parah. Jonker diangkat menjadi pemimpin penggantinya, dan sejak saat itulah gelar kapitan mulai disandangnya. Setelah pertempuran tersebut, ia memimpin pasukan Maluku yang bermarkas di Batavia.

Sejak saat itu karir militer Kapten jonker terus menanjak. Kapitan Jonker terlibat di berbagai medan perang lainnya dalam membantu VOC, antara lain di Timor, pantai barat Sumatra, Sulawesi, pantai timur Jawa, Palembang dan Banten.

Dalam salah satu pertempuran terakhirnya yang berlangsung selama tujuh tahun (1675-1682) melawan Trunojoyo, ia bahkan memimpin pasukan besar yang tidak saja terdiri dari orang-orang Maluku, melainkan juga orang-orang Makassar, Bugis, dan Mardijkers.

Atas jasa-jasanya, ia mendapatkan suatu wilayah di daerah Cilincing, Jakarta Utara. Sampai akhir tahun 1960-an, wilayah tersebut masih dikenal masyarakat dengan sebutan Pejongkoran.

Setelah Gubernur Jendral Cornelis Speelman pada tahun 1684 meninggal dunia, pengaruh Jonker yang terlalu besar menimbulkan rasa tidak suka dari pimpinan VOC di Batavia saat itu, yaitu Isaac de l’Ostale de Saint Martin. Jonker dianggap tidak bisa dikendalikan.

Baca juga: Nasib Malang Pelayaran Pertama Belanda di Bawah Pimpinan Cornelis de Houtman

Kekuasaan Jonker mulai dikurangi, dan seorang Kapitan Buleleng keturunan Bali yang bekas budak Jonker diperintahkan VOC untuk memisahkan kelompok perkampungan dari pasukan Jonker berdasarkan suku-suku mereka. Puncak konflik yang terjadi ialah pada tahun 1689, yaitu Kapten Jonker dituduh akan memberontak dan terjadinya pertempuran antara Jonker dan pengikutnya di Pejongkoran melawan pasukan VOC dan pendukungnya.

Tercatat bahwa seorang Kapitan Melayu bernama Wan Abdul Bagus yang ditugaskan oleh VOC terluka parah dalam pertempuran tersebut. Kapitan Jonker yang semula dianggap berjasa oleh VOC, akhirnya tewas terbunuh.

Pieter Erberveld
Elberfeld adalah orang Indo Jerman-Siam namun kemudian bekerja di Batavia dan mengabdi pada VOC. Nama keluarganya menunjukkan bahwa keluarganya berasal dari Elberfeld, yang sekarang menjadi bagian dari kota Wuppertal, Jerman. Ayahnya datang ke Batavia sebagai penyamak kulit. Setelah ia diangkat sebagai anggota Heemraad untuk mengurusi kepemilikan tanah di daerah Ancol, ia menjadi tuan tanah. Kekayaan ini diwariskan kepada anaknya.

Litografi tugu peringatan Pieter Erberveld, berdasarkan lukisan Josias Cornelis Rappard. Foto: commons.wikimedia.org

Menurut versi VOC, Elberfeld bersekongkol dengan beberapa pejabat Banten di Batavia untuk membunuhi orang Belanda pada suatu perayaan pesta. VOC juga menuduh ia bersekongkol dengan keturunan Surapati di Jawa bagian timur.

Tidak diketahui motivasi Elberfeld sesungguhnya, apakah ia memang ingin membantu orang Banten yang dipimpin Raden Kartadriya untuk menguasai kembali Batavia, atau ia memiliki rencana sendiri apabila Belanda terusir dari sana, karena ia sakit hati atas perlakuan Gubernur Jenderal Johan van Hoorn yang telah menyita tanahnya.

Rencana pembunuhan ini bocor karena ada budak yang melapor ke VOC. Versi lain mengatakan, kalau Sultan Banten lah yang membocorkan rencana Elberfeld karena ia khawatir akan pengaruh Elberfeld dan Kartadriya yang akan merongrong kekuasaannya.

Baca juga: Melihat Nusantara di Masa Lalu Lewat Litografi Karya Josias Cornelis Rappard

Godee Molsbergen, yang menulis tentang peristiwa itu, melihat banyak kejanggalan pada tuduhan yang dialamatkan VOC terhadap Elberfeld.

Pada tanggal 12 April 1722, ia dihukum mati bersama dengan Kartadriya dan 17 orang penduduk asli lainnya di halaman selatan Benteng Batavia, bukan di halaman Balai Kota. Pelaksanaan hukuman mati itu digambarkan sangat sadis, dilakukan dengan mengikat kedua tangan dan kakinya pada empat ekor kuda, kemudian ditarik ke arah yang berlawanan. Akibatnya, tubuhnya terpotong dan tercerai berai. Hal ini dilakukan VOC untuk memberikan efek jera kepada penduduk agar tidak lagi mencoba-coba melakukan perlawanan pada mereka.

Prosesi hukuman mati dengan cara ditarik oleh empat kuda. Foto: botakstm.blogspot.com

Tubuh Elberfeld dimakamkan di suatu sudut di Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta sekarang dan di sana kemudian didirikan suatu tugu peringatan. Di tugu itu dipajang tengkorak Elberfeld yang ditusuk tombak dan di bawahnya terdapat prasasti. Saat kedatangan Jepang 1942, tugu itu dihancurkan namun prasastinya dapat diselamatkan. Replikanya kemudian didirikan kembali.

Tugu peringatan Pieter Erberveld di sekitar tahun 1885, terlihat tengkorak Elberfeld dipajang di atas tugu dengan ditancapkan pada sebuah tombak. Foto: id.wikipedia.org

Sejak tahun 1985 tugu itu kemudian dipindahkan ke Museum Prasasti Jakarta karena tempat tugu itu berdiri dijadikan ruang pamer mobil. Kampung tempat makam ini sekarang dinamakan Kampung Pecah Kulit, konon karena kulit Elberfeld terkelupas akibat hukuman itu.

Tuliskan Komentar