Dalam sejarah kerajaan di Nusantara, banyak sekali pemimpin yang memiliki pusaka atau mustika. Benda ini akan membantu mereka dalam memerintah hingga berperang. Sayangnya, benda itu banyak sekali yang hilang sehingga selalu dicari oleh banyak orang di Indonesia. Mendapatkan pusaka ini akan membuat mereka jadi sakti dan tidak terkalahkan.
Di Sulawesi Selatan sendiri, benda pusaka kerajaan disebut sebagai Arajang bagi masyarakat Bugis, dan Kalompoang bagi masyarakat Makassar. Arajang atau kalompoang ini jenisnya bermacam-macam, bisa berupa atribut kerajaan seperti bendera, mahkota, payung, ataupun selempang. Arajang juga bisa berupa senjata seperti keris, badik, tombak, ataupun berbagai jenis senjata lainnya.
Baca juga: Arti Penting Payung Sebagai Simbol Kerajaan di Barru
Esensi dari kalompoang atau arajang ini merupakan salah satu alat legitimasi bagi seorang bangsawan dalam memerintah di suatu kerajaan di Sulawesi Selatan. Posisi dari arajang atau kalompoang ini begitu penting lantaran dapat memberikan pengaruh besar bagi si pemegang benda pusaka ini.
Arajang juga mampu meningkatkan semangat juang dan kepercayaan diri seorang bangsawan beserta para pengikutnya ketika sedang dalam peperangan. Seperti yang pernah terjadi di wilayah Barru, Sulawesi Selatan, di mana seorang bangsawan mampu merepotkan Belanda saat berperenga berkat pusaka kerisnya yang bernama Lamba Belo. Bangsawan itu adalah Andi Muhammad Saleh atau yang bergelar Petta Sulle Datue.
Keris Lamba Belo. Foto: Abdul Azis. |
Petta Sulle Datue merupakan bangsawan di daerah Balusu. Selain itu ia juga menjabat sebagai Sullewatang (pemegang jabatan ketika raja keluar) di Kerajaan Soppeng. Pada tahun 1905, terjadi peperangan antara Belanda dengan Kerajaan Soppeng, Belanda kemudian menyerang kerajaan Soppeng.
Atas serangan itu, secara tidak langsung kerajaan Balusu juga turut terlibat karena merupakan sekutu terdekat kerajaan Soppeng. Hanya dalam beberapa hari saja kerajaan Soppeng dapat dikuasai oleh Belanda. Melihat situasi itu, Petta Sulle Datue mempersiapkan diri beserta pengikutnya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Baca juga: Sejarah Kerajaan Balusu (Soppeng Riaja) dan Perlawanannya Terhadap Imperialisme
Belanda kemudian memulai serangan terhadap Balusu menggunakan perahu, mereka mendarat di pinggir laut antara Takkalasi dan Bawa Saloe. Sementara itu pasukan Balusu dan kerajaan sekitarnya telah bersiap untuk menghadang pasukan Belanda.
Petta Sulle Datue melakukan perlawanan menggunakan pusakanya, sebuah pistol Belanda yang bernama Bolong Ringgi dan sebuah keris yang bernama Lamba Belo. Pertempuran terjadi selama dua hari dua malam, akhirnya pasukan Belanda dapat dipukul mundur. Hanya tersisa sepuluh orang saja dari pihak Belanda yang berhasil melarikan diri dengan perahunya.
Lamba Belo. Foto: Abdul Azis. |
Karena banyaknya korban dari kedua belah pihak pada pertempuran itu menyebabkan rakyat menguburkan mayat korban perang selama dua hari. Sedangkan mayat pasukan Belanda dipisahkan dan dikuburkan di Lapasu, sementara yang tidak sempat dikuburkan mayatnya dibuang saja ke Sungai Lampoko sehingga air sungai berubah menjadi merah karenanya.
Berselang satu bulan kemudian, Belanda melakukan serangan untuk kedua kalinya dengan jumlah pasukan yang jauh lebih besar melalui laut dan darat. Kedatangan pasukan Belanda itu kembali mendapat perlawanan dari rakyat Balusu. Beberapa raja dari kerajaan lainnya satu per satu mulai menyerah kepada Belanda.
Baca juga: Koleksi Foto Bersejarah di Barru Pada Masa Perang Kemerdekaan
Selain itu juga terjadi penghianatan salah seorang anggota kerajaan Soppeng yang bernama Jennang Mangiri, ia menunjukkan jalan kepada Belanda untuk menyerang Balusu di bagian Timur dari arah Soppeng. Melihat keadaannya semakin terdesak, diserang dari arah Barat dan Timur, Petta Sulle Datue bersama sisa pasukannya terpaksa mundur masuk ke pegunungan.
Gudang persenjataan kerajaan Balusus yang berada di Larokko kemudian dibakar oleh Belanda yang mengakibatkan kekalahan total bagi kerajaan Balusu. Saoraja Lamattanru yang merupakan salah satu istana kerajaan Balusu diambil alih oleb Belanda dan dijadikan sebagai kantor serta basis komando di wilayah Zelfbestuur Soppeng Riaja.
Petta Sulle Datue kemudian kembali ke Balusu dan menyerahkan diri kepada Belanda, ia kemudian diangkat kembali menjadi raja di Balusu namun seluruh alat perang dan benda pusakanya disita oleh Belanda. Hanya keris Lamba Belo saja yang tidak disita oleh Belanda karena sebelumnya Petta Sulle Datue telah menggantinya dengan keris yang serupa.
Sumber:
Kallupa Bahru. DKK. 1985. Laporan Pengumpulan Data Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Kabupaten Barru. Ujung Pandang: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan Tahun Anggaran 1984/1985.
https://kalaliterasi.com/arajang-kalompoang-pengertian-dan-esensi/
https://www.boombastis.com/pusaka-raja/79009
Lamba Belo tidak bisa dipisahkan dari peristiwa Musu Belo (Perang Belo), perang saudara antara Arung Ganra dan Datu Mari- Mari di Soppeng pada tahun 1885 M. Dalam peperangan tersebut Petta Sulle DatuE membantu Datu Mari-Mari melawan Arung Ganra. karena atas Jasanya dalam peperangan tersebut ia dihadiahkan Pusaka nya Kerajaan Belo yaitu Lamba Belo.