Sulsel

Konsep Kepemimpinan To Manurung Pada Masyarakat Sulawesi Selatan

Proses awal keberadaan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan pada umumnya selalu diawali dengan kemunculan berbagai mitos. Mitos itulah yang melahirkan sosok To Manurung yang mewarisi raja-raja berikutnya.

Prof. Dr. Mattulada dalam disertasinya Latoa: Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis menjelaskan bahwa konsep To Manurung di Sulawesi Selatan yang diceriterakan dalam Lontara Attoriolong sebagai orang yang dipercaya berasal atau turun dari langit/tidak diketahui asal-usulnya, kemunculannya selalu bertepatan dengan adanya konflik-konflik internal kerajaan yang bersangkutan, dan tokoh inilah yang dianggap sebagai juru selamat yang membawa keamanan, ketentraman dan kemakmuran kerajaan dan terbukti memang demikian.

To Manurung di kebanyakan kerajaan di Sulawesi Selatan banyak di beritakan muncul sekitar abad ke-13 dan 14.

Dalam Kitab I La Galigo, dikisahkan bahwa ketika para pemimpin keturunan Langit dan Pertiwi (dunia bawah) yang diperani oleh tokoh Legendaris Sawerigading bersama keluarganya kembali ke asalnya di Dunia Bawah, maka bumi ketiadaan penguasa. pada saat itu, kelompok-kelompok masyarakat bebas untuk saling menyerang, dalam istilah pada Kitab I La Galigo keadaan kehidupan kaum bagaikan “sianre bale taue” (ikan yang saling memakan/hukum rimba yang berlaku, di mana yang kuat yang akan berkuasa).

Baca juga: Tumanurung Bainea dan Berdirinya Kerajaan Gowa

dalam keadaan ini mengakibatkan keadaan mencekam dan menakutkan, lahirlah konsep To Manurung (dalam Bahasa Bugis) atau Tu Manurung (dalam Bahasa Makassar). konsep ini seolah-olah menjadi kunci yang membuka peradaban baru bagi masyarakat yang terpecah-pecah pada saat itu, menuju tatanan yang baru.

Ilustrasi To Manurung

Konsepsi kepemimpinan To Manurung juga disusul oleh terbentuknya konsepsi kenegaraan dengan wilayah teritorial yang lebih luas dan meliputi sejumlah kelompok kaum yang mengikat perdamaian dan menyepakati dengan menerima kepemimpinan To Manurung yang menjadi pemimpin tertinggi untuk mereka.

Pada konsep ini masyarakat Sulawesi Selatan memahaminya bahwa To Manurung merupakan manusia yang kirim dan turun dari langit dan ditugaskan untuk memerintah atau memimpin. Kedatangan To Manurung digambarkan oleh masyarakat sebuah peristiwa yang luar biasa, di mana sebelum datangnya To Manurung diawali dengan tiupan angin dan gemuru petir yang memgelegar. Dan pada saat kedatangannya To Manurung, ia berpakaian serba putih dan kekuningan dan duduk di atas batu besar dengan dikawal oleh beberapa orang yang memayunginya, mengipas-ngipasnya, dan memegang tempat sirih. itulah penggambaran msyarakat Sulawesi Selatan.

Baca juga: Siapakah Sebenarnya Sosok To Sangiang?

Pada zaman kepemimpinan To Manurung inilah Sulawesi Selatan mengalami perubahan perkembangan kemasyarakatan, kenegaraan, dan kepemimpinan bidang kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang mulai cenderung dengan fungsi dan peranannya.

Dalam buku Sejarah, Masyarakat, dan kebudayaan Sulawesi Selatan yang ditulis oleh Prof. Dr. Mattulada, pada zaman itulah strata/pelapisan masyarakat terbentuk. Yang pertama, lapisan Kaum bangsawan keturunan To Manurung yang disebut Arung/Anakarung. Kedua, lapisan orang kebanyakan/kelompok masyarakat pada umumnya yang disebut To Deceng atau Maradeka. Dan yang ketiga yaitu lapisan tambahan yang terdiri atas mereka yang kalah perang, melanggar aturan adat dan menjual diri yang disebut Ata.

Dalam sistem sosial Sulawesi Selatan, pelapisan msyarakat itu menunjukkan status yang erat dengan tanah (lahan). Arung dan Anakarung (bangsawan) keturunan To Manurung ditempatkan pada status mulia, dihormati dan taati dalam batasan tertentu. Arung atau Anakarung sebagai lapisan yang dimuliakan dan dihormati, kepada mereka diberikan tanah/sawah/lahan untuk menghidupinya. Itulah disebut tana kalompoang, atau tana arajang.

Adapun lapisan To Deceng atau Maradeka, berasal dari kaum Anang yaitu warga asli. Mereka merupakan kelompok pemilik tanah/lahan, dan pemilik Ade‘, yang memelihara hubungan-hubungan fungsional yang terdapat dalam masyarakat. Status sosial, terlepas dari peranan-peranan fungsioanal masyarakat terdiri atas Ade’ To Mapparenta (pemimpin pemerintahan), To Panrita (pemimpin kerohanian), To Acca (cendikiawan), To Sugi‘ (orang kaya, pengusaha), dan To Warani (pemberani, pahlawan).

Baca juga: Sosok Petta Barang Dari Sulawesi Selatan

Pada zaman ini masyarakat Sulawesi Selatan sudah dapat menata kenegaraan mereka baik pada bidang politik, sosial, dan ekonomi mereka dengan mengacu pada konsep To Manurung dalam menyelesaikan permasalahan pada masa Pra To Manurung. To Manurung di Tanah Sulawesi Selatan ada beberapa, yang nantinya merupakan terbentuknya beberapa kerajaan besar di Sulawesi Selatan seperti, Tumanurung Tana Luwu, To Manurung Butta Gowa, To Manurung Tana Bone, dan beberapa di kerajaan Sulawesi Selatan.

Tuliskan Komentar