Pada awalnya ada satu benda kecil yang diburu oleh seluruh dunia, bukan berlian maupun permata. Tetapi bangsa Eropa rela menyebrangi samudra untuk mendapatkan nya, lalu menjualnya setara emas. Benda itu bernama pala.
Buah berwarna kekuningan dengan biji hitam yang dilapisi selaput merah itu menjadi tujuan pendatang dari berbagai bangsa menjejakkan kaki mereka di Kepulauan Banda, Maluku, ratusan tahun lalu.
Harum buah Pala di Kepulauan Banda, Maluku, memikat bangsa asing untuk berdagang dan meraup untung di pasar dunia pada abad ke-17. Buah pala pada zaman itu digunakan sebagai bumbu sekaligus pengawet makanan serta sebagai obat berbagai penyakit seperti wabah pes. Harganya bersaing dengan emas.
Saat itu, pala hanya tumbuh di Kepulauan Banda. Kombinasi antara lokasi yang terpencil dan iklim yang spesifik membuat harga pala luar biasa mahal. Sekedar informasi, pala hanya tumbuh dalam kondisi yang spesifik seperti tanah subur dan lumayan kering di tengah iklim tropis serta kerap diguyur hujan. Kalaupun cuaca dan tanahnya bagus, pohon pala baru berbuah setelah tujuh hingga sembilan tahun.
Baca juga: Sejarah Perdagangan Biji Pala, Rempah-Rempah yang Mengubah Dunia
Untuk memanennya pun perlu banyak pekerja, memetik buah satu per satu dan melepaskan lapisan terluar. Setelah mengupas buahnya yang lunak secara hati-hati, bijinya harus dikeringkan dan cangkangnya mesti diretakkan.
Selama berabad lamanya, Kepulauan Banda satu-satunya tempat di dunia yang menghasilkan buah Pala, dan dikirim jauh sekali ke berbagai belahan dunia.
Namun siapa sangka harumnya buah pala tercium mencapai negeri sebrang. Dimulai dari menjelang abad ke-6, rempah-rempah ini harumnya sudah mencapai Kekaisaran Byzantium, 12 ribu kilometer jauhnya dari Banda. Pada tahun 1000 M, seorang dokter dari Persia, Ibnu Sina menulis tentang buah pala dengan nama jansi ban atau Kacang dari Banda.
Para pedagang Arab sudah begitu lama memperdagangkannya dan mengirimnya ke Venesia untuk kemudian dikirim dan dihidangkan di meja-meja para bangsawan Eropa. Harganya fantastis. Pada abad ke-14, di Jerman disebutkan bahwa 1 pon pala, dihargai setara dengan tujuh sapi jantan dewasa yang gemuk. Kesaktian pala pun berlanjut, sampai perburuan akan asal-usul pala ikut mendorong terbentuknya dunia perdagangan modern.
Buah pala. Foto: muslimobsession.com |
Pada tahun 1453, Kekaisaran Turki Usmani menyerang dan menaklukkan Konstantinopel (kini Istanbul), sera mengembargo perdagangan yang melewati daerah baru kekuasaannya dimana selama ratusan tahun sebelumya, para pedagang Arab melewatinya untuk mengirim Pala ke Venesia. Embargo ini kemudian menghentikan suplai Pala ke Eropa.
Inilah yang membuat para pedagang dan pengembara lautan Eropa mencari sendiri asal-usul buah Pala yang selama ini sering disebut sebagai Fabled Land, atau negeri dongeng, melalui rute ke timur.
Baca juga: Sejarah Pedas Kayu Manis
Masyarakat Banda yang ramah menyambut datangnya bangsa Arab, China, India, dan Eropa yang datang membeli pala. Kala itu, cengkeh dan pala teramat mahal dan para pedagang Eropa ingin memangkas keuntungan para pedagang Arab dan Asia yang merahasiakan lokasi Banda.
Pada abad ke 17, Pulau Run, salah satu pulau di kepulauan Banda dengan panjang hanya 3,2 km dan lebar tidak lebih dari 1 km, menjadi pulau yang paling berharga dari kepulauan rempah-rempah lainnya. Bersama Portugis, Inggris, dan Spanyol, Belanda terlibat persaingan menemukan Pulau Run guna menguasai perdagangan rempah.
Hal ini mendorong perebutan sengit dan berdarah-darah antara maskapai dagang Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan sekelompok tentara Inggris yang dipimpin oleh Nathaniel Courthope.
Peta kuno Kepulauan Banda. Foto: raremaps.com |
Pihak Belanda dengan persenjataan yang lebih modern untuk ukuran masa itu, akhirnya menguasai hampir semua pulau-pulau di Maluku. Namun untuk Pulau Run yang terpencil dan sulit dijangkau karena dikelilingi karang, akhirnya jatuh ke tangan Inggris.
Dengan pendekatan yang santun kepada pemimpin adat setempat, Inggris mendapat hak memonopoli pembelian rempah-rempah. Hal ini sangat berbeda dengan pendekatan Belanda yang menimbulkan kebencian dari masyarakat di pulau-pulau yang didudukinya.
Baca juga: Sejarah Teh: Dari Asal-usul hingga Dibudidayakan di Indonesia
Pada tahun 1620, Courthope sebagai pemimpin Inggris di Run berlayar ke Banda Besar, pulau terdekat dari Run karena ingin membantu penduduk lokal yang memberontak pada Belanda.
Naasnya seorang Belanda yang menjadi tahanan Inggris di Run membuat pesan tertulis yang membocorkan rencana perjalanan Courthope, sehingga Belanda bisa menghadang dan membunuh Courthope.
Setelah itu, Belanda dengan mudah menguasai Run. Orang Inggris di Run disiksa secara keji sebelum dibantai secara masal. Banyak pula yang dihukum gantung melalui persidangan sesat dengan tuduhan orang Inggris mau memberontak.
Kota New York sekarang. Foto: curbed.com |
Jadi, Belanda yang sebelumnya menilai orang lokal tidak beradab karena punya budaya memenggal kepala musuh, justru diterapkan oleh Belanda kepada Inggris.
Tak hanya itu, Belanda juga membantai masyarakat Banda asli. Buat Belanda apapun dilakukan demi pala. Termasuk membunuh sekutu sendiri dari Eropa, yakni bangsa Inggris.
Baca juga: Sejarah Kopi: Dari Asal-usul hingga Dibudidayakan di Indonesia
Ketika berita pembantaian itu sampai ke Inggris, mereka tentu merasa terhina dan bertekad membuat perhitungan dengan Belanda. Tapi kekuatan Belanda di Nusantara terlalu kokoh untuk dilawan. Proses perundingan untuk minta kerugian juga tidak digubris oleh Belanda.
Pada 1664, sebagai aksi balas dendam, empat kapal fregat Inggris dikirim melintasi Samudera Atlantik untuk merebut wilayah yang disebut Belanda sebagai New Amsterdam. Wilayah berpenduduk 2.000 orang di ujung selatan Pulau Manhattan itu dapat direbut dengan cepat.
Kemudian pendudukan Inggris di New Amsterdam tersebutlah yang nantinya oleh Belanda diusulkan sebagai pengganti Run, agar Inggris tidak menuntut ganti rugi lagi. Tapi perlu waktu lama sampai Inggris sepakat dalam perundingan di Breda.
Isi Traktat Breda itu adalah Belanda dan Inggris sepakat melakukan tukar guling. Belanda bersedia melepas New Amsterdam di Benau Amerika dan menyerahkan kepada Inggris, sedangkan Inggris menyerahkan Pulau Run kepada Belanda.
Penguasa Inggris kemudian mengubah nama New Amsterdam menjadi Manhattan dan bersama empat daerah di sekitarnya, kawasan itu dinamai New York.
Baca juga: Siapa Orang Pertama yang Berhasil Mengelilingi Dunia?
Menariknya pada Traktat Breda, Inggris juga sempat menawarkan untuk menukar New Amsterdam dengan pabrik gula mereka di Suriname yang direbut oleh Belanda. Namun Belanda bersikukuh menukar New Amsterdam.
Selang tiga setengah abad kemudian, New Amsterdam yang kini menjadi Manhattan berkembang menjadi kota bisnis terbesar di dunia. Sedangkan kehidupan Pulau Run berjalan sangat pelan, sejalan dengan harum buah pala yang tak lagi tercium oleh bangsa asing bahkan bangsanya sendiri.
Seiring waktu, tukar guling Manhattan dan Pulau Run itu dianggap sebagai kesepakatan pertukaran terburuk dalam sejarah, utamanya bagi Belanda. Sebab Belanda tak lama kemudian kehilangan dominasi monopoli rempah-rempahnya di Maluku, sementara Manhattan di New York berkembang pesat menjadi pusat ekonomi dunia di abad modern.
Orang serakah memang tidak akan mendapatkan apa-apa. 🙂
Tuliskan Komentar