Colliq Pujie atau Ratna Kencana (Tjollie Poejie, ada pula yang melafalkannya Colli Pujie) lahir pada tahun 1812. Setelah ia terjun dalam arena politik maka ia digelar Arung Pancana Toa Datu Lamuru. Bila ditelusuri asal-usulnya Ratna Kencana adalah nama yang diambil dari Melayu. Colliq Pujie lahir dari perkawinan Colli Pakue Daeng Tarappe Arung Rappang yang berdarah Melayu dengan La Rumpang Megga Dulung Lamuru Sultan Ibrahim Datu Tanete Matinroe ri Mutiara yang berdarah Bugis.
Sejarah singkat riwayat hidup Colliq Pujie
Tidak diketahui kapan sebenarnya Colli Pujie lahir, hanya menurut catatan harian lontarak Tanete koleksi Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara diperkirakan pada tahun 1812. Colliq Pujie menikah dengan To Appotase Arung Ujung. Dalam pernikahannya itu melahirkan tiga orang anak yaitu Siti Aisyah We Tenriolle Datu Tanete, I Gading Arung Atakka dan Lamakkawaru Arung Ujung.
Dalam makalah “Tjollie Poejie Pendobrak Zaman, Bangsawan Bugis Berdarah Melayu” yang disusun oleh Rasyid Asba pada Seminar Nasional Tjollie Poejie Sebagai Pahlawan Nasional yang diadakan di Bone tahun 2004, dijelaskan bahwa nama Ratna Kencana diambil dari pemberian kakek buyutnya yang bernama Ince Muhammad Ali Abdullah Datu Pabean. Ince Muhammad Ali yang bergelar Datu Pabean adalah keturunan Melayu. Ia adalah kepala syahbandar Makassar yang tersohor pada pase awal abad ke-19.
Baca juga: Colliq Pujie: Sastrawan Bugis Berdarah Melayu
La Rumpang Megga Datu Tanete yang merupakan ayah dari Colliq Pujie terkenal sebagai pemberani yang langkah politiknya sulit ditebak. Ia memerintah di Kerajaan Tanete sekitar tahun 1840. Ia tampil menjadi raja Tanete dengan menggantikan pamannya La Patau yang juga terkenal melawan Belanda. Pada awalnya La Rumpang banyak diintimidasi oleh Belanda sehingga ia jarang tinggal di istananya. Urusan kerajaan Tanete lebih banyak dikendalikan oleh Colli’ Pujie meskipun juga kedudukannya sebagai arung di Pancana. Dengan alasan itu pula maka Colliq Pujie sering mendapat nama kehormatan Datu Tanete.
Di masa ini, Kerajaan Tanete bukan lagi berstatus kerajaan yang berdaulat penuh, melainkan statusnya sebagai leensvotendom atau kerajaan pinjaman, artinya segalasesuatu yang terjadi di Tanete harus seizing dari pemerintah Belanda. Jiwa keberanin dan keintelektulannya yang diperoleh dari Bugis-Melayu membuat pola Colli Pujie mengubah taktik perjuangan yaitu dari non cooperatif menjadi coopertif terhadap Pemerintah Belanda. Colliq Pujie wafat pada tanggal 11 November 1876 di usia 64 tahun. Ia dimakamkan di Tucae, Lamuru, Kabupaten Bone, sehingga mendapat nama gelar anumerta Matinroe ri Tucae.
Colliq Pujie dan Sastra
Sebagai wanita yang berdarah Bugis dan Melayu, Colliq Pujie dikenal sebagai orang yang pintar dan berani. Ia terkenal dengan karya-karya sastranya yang cemerlang sejajar dengan penulis-penulis Barat. Tipologi etnis tersebut membuat Colliq Pujie disegani dianggap sebagai tokoh kesusastraan dari Timur yang kala itu sulit dicari samanya di wilayah Hindia Belanda. “Keberaniannya” mengandung tipologi orang yang berdarah Bugis dan “kepintarannya” mengandung tipologi yang berdarah Melayu. Perpaduan dua tipologi etnis itu tampaknya sudah sulit ditemukan.
Baca juga: MasugiMaraja: Makassar, Bugis, Mandar, dan Toraja
Kakek Colliq Pujie, Muhammad Ali Abdullah Datu Pabean dalam kedudukannya sebagai syahbandar, terkenal sebagai tokoh intelektual dan menguasai berbagai bahasa asing seperti bahasa Belanda, Inggris dan Portugis. Roh keintelektualan Datu Paben mengalir pula pada diri Colliq Pujie.
Di tengah zaman yang bergolak, Colliq Pujie lebih banyak mengasa keintelektualannya karena politik adudomba Belanda di Kerajaan Tanete semakin gencar. Sebagai Sastrawan, Collik Pujie bekerja dan belajar di Makassar melalui perpustakaan kakenya di Makassar. Ia tinggal di Makassar dengan mengasa keintelektualannya menulis banyak buku. Keberadaannya di Makassar hanya untuk belajar karena sekolah di Tanete belum ada.
Collik Pujie mengasa keinteletualannya yang dibuktikan dengan berbagai tulisannya dan karyanya seperti beberapa Elong Sejarah Tanete, Syair Sarea Baweng, dan Hikayat Bayan Budiman. Karya-karya tersebut berbicara menuurt zamannya yang banyak mengisahkan kisah perjalanan Kerajaan tanete Tanate. Dan salah satu karyanya yang dianggap paling monumental yaitu ketika ia mengumpulkan dan menyalin kembali kisah-kisah I La Galigo.
Baca juga: I La Galigo: Menyelami Karya Sastra Terbesar dari Sulawesi
Munculnya banyak naskah di Kabupaten Barru tidak lepas dari Usaha Colliq Pujie bersama seorang misionaris Belanda yang bernama Benjamin Frederick Matthes mengumpulkan naskah dan kisah-kisah, bahkan menyaling ulang kembali. Salah satu karyanya adalah membuat salinan sebanyak 12 jilid naskah I La Galigo yang bertebaran di beberapa daerah. Tebaran naskah itu dikumpulkan bersama B.F. Matthes. Matthess menganjurkan kepada Colliq Pujie untuk menyalin dan menyusunnya. Ada dugaan bahwa naskah I La Galigo yang disalin Colliq Pujie inilah yang sekarang dianggap sebagai karya sastra terpanjang di dunia sekitar 300.000 bait.
Sebagai sastrawan, maka pada tahun 1853 Colliq Pujie banyak berkenalan dengan sastrawan dunia lainnya, diantaranya Ida Laura Pfeiffer seorang etnolog dari Austria yang mengadakan penelitian di Sulawesi Selatan. Dalam tahun 1870 Collik Pujie juga membantu A. Lighvoed untuk menyusun catatan-catatan peristiwa kesejarahan Sulawesi Selatan. Karya-karya yang dihasilkan oleh Colliq Pujie kini tersimpan di beberapa museum dan perpustakaan di Leiden, Belanda. Termasuk naskah-naskah yang masih tersimpan di Yayasan Matthes Makassar.
Barru, Bumi Colliq Pujie
Kabupaten Barru terkenal akan keberagaman adat, tradisi dan budayanya. Terutama adat tradisi yang berkaitan dengan literasi. Adat tradisi di Kabupaten Barru tidak terlepas dari unsur literasi, sebut saja ritus-ritus dalam tradisi pertanian. Banyak upacara-upacara adat pertanian seperti Maddoja bine, mabbissa lobo, sampai pesta panen Mappadendang di Barru yang tidak terlepas dari unsur literasi seperti pembacaan naskah-naskah kuno yang dikenal dengan istilah massureq. Selain itu, di Barru juga terkenal sebagai tempat lahirnya berbagai naskah-naskah kuno seperti lontara serta rumah dari banyaknya cerita-cerita rakyak yang berkembang.
Baca juga: Mappadendang dan Sere Api
Melihat latar budaya Barru yang erat kaitannya dengan budaya literasi, maka telah bermunculan berbagai upaya yang bertujuan menanamkan budaya litersi itu kepada generasi-generasi muda agar tidak hilang tergerus zaman. Muara dari berbagai upaya pelestarian dan pengembangan ini akan mengarah pada munculnya Barru sebagai kota literasi. Tentunya kita membutuhkan sosok teladan yang bisa dijadikan contoh oleh generasi muda sebagai perangsang tumbuhnya budaya literasi itu, dan pilihan yang tepat adalah sosok Colliq Pujie. Untuk lebih menggaungkan litersi melalui sosok Colliq Pujie di Barru, tentunya bisa dengan menyematkan julukan Barru sebagai Bumi Colliq Pujie.
Lalu, mengapa harus Bumi Colliq Pujie? Di berbagai kota dan daerah di Sulawesi Selatan, tentu kita sering mendengar berbagai julukan yang disematkan kepada beberapa kota atau kabupaten mengguanak nama-nama tokoh legendaris dari masing-masing kota itu. Kita sebut saja beberapa di antaranya seperti Soppeng yang dikenal sebagai Bumi Latemmamala, Bone yang dikenal sebagai Bumi Arung Palakka, dan Pinrang yang dikenal sebagai Bumi Lasinrang,
Tentunya nama-nama tokoh legendaris itu tidak disematkan begitu saja, melainkan ada jasa besar yang telah diberikan untuk negerinya. Sebut saja Soppeng yang dijuluki Bumi Latemmamala, karena La Temmamala adalah sosok raja pertama yang mendirikan kerajaan Soppeng. Bone yang dijuluki Bumi Arung Palakka, karena sosok Arung Palakka dianggap sebagai tokoh sang pembebas kerajaan Bone dari penindasan. Serta Pinrang yang dijuluki sebagai Bumi Lasinrang, karena sosok La Sinrang merupakan seorang pahlawan yang memperjuangkan kebebasan rakyat Pinrang dari penjajahan Belanda.
Baca juga: Ketika Arung Palakka Bersembunyi di Tanete
Nah, Colliq Pujie ini memiliki jasa besar di Barru, terutama dalam memajukan bidang literasi dan sastra. Kita tidak perlu lagi menjelaskannya kembali mengenai kehandalannya sebagai seorang sastrawan. Colliq Pujie telah banyak menyelamatkan karya-karya serta naskah-naskah penting di Barru. Terutama naskah-naskah yang banyak digunakan dalam ritus upacara adat di Barru.
Upaya untuk memperkenalkan kembali Colliq Pujie sebenarnya telah dimulai sejak masa kepemimpinan Bupati Barru H.A. Muhammad Rum. Nama Bumi Colliq Pujie telah tertanam dalam hati masyarakat Barru pada umumnya, jadi tidak sulit untuk menggaungkannya kembali. Colliq Pujie telah dianggap sebagai ikon di Kota Barru, terutama setelah dibangunnya Alun-alun serta Monumen Colliq Pujie di Kota Barru, dan tidak lama lagi juga akan dirampungkan pembangunan Museum Colliq Pujie. Colliq Pujie adalah sosok sastrawan hebat yang pernah dimiliki negeri ini, dan semangatnya diharapkan mengalir juga dalam diri generasi muda sekarang untuk terus berkarya.
Tuliskan Komentar